Beberapa hari lalu, beberapa orang melayat ke keluarga. Mereka adalah mantan murid dan teman almarhum kakak saya dari Lekok, Pasuruan. Jauh-jauh mereka datang mencari kakak untuk melanjutkan silaturrahmi dan mengajaknya kembali ke Lekok, namun yang didapat adalah berita duka.
Mereka bercerita bahwa kakak saya dulu adalah salah satu pendiri sekolah Muhammadiyah di Lekok. Di sana, masyarakatnya berprofesi sebagai nelayan. Banyak murid yang perlu bantuan biaya pendidikan. Kakak saya membantu sejumlah siswa, sehingga mereka bisa lulus tanpa membayar sepeser pun. Selain itu, ia juga mengajar bela diri kepada murid-murid di sekolah itu.

Kini sekolah itu berkembang pesat. Banyak alumninya yang sukses. Setiap kali pulang, mereka menyempatkan diri menemui kakak saya. Hingga kemudian mereka kehilangan jejak, ketika kakak ikut orangtua pindah ke rumah leluhur di Situbondo.
Mereka kaget ketika mendengar banyak cerita negatif mengenai almarhum kakak. Sebab dulu, yang mereka tahu, kakak saya tidak demikian. Mereka mengenal kakak saya sebagai orang yang tulus dan total. Jika membantu orang, maka itu benar-benar dia lakukan hingga selesai. Jika berinisiatif membangun sesuatu, maka itu dilakukannya sampai tuntas. Jadi, mereka tidak mengerti mengapa cerita yang didapat di kampung halaman justru sangat bertolak belakang. Kemudian ketika berbincang, barulah mereka paham titik persoalannya, yang sebenarnya simple. Yakni, hanya gara-gara menuruti tarikan dari masa lalu.
Saya juga melihat hal yang sama.
Dulu, almarhum kakak saya sebenarnya juga biasa-biasa saja. Kalaupun ia bandel, ya semua anak juga pernah bandel, pernah berselisih paham dengan orangtua, pernah berantem dengan saudara. Tidak ada yang berbeda dengan kebanyakan orang. Dia tulus, itu benar. Karena dia sering mengalah pada saya, dan mempersilahkan saya maju duluan untuk soal pendidikan. Dia sama sekali tidak keberatan meskipun untuk itu, dia harus mengubur dalam-dalam keinginannya untuk melanjutkan pendidikan.
Namun semua berubah drastis ketika ia memutuskan ikut pindah ke kampung halaman, mengikuti orangtua yang sudah pensiun. Di tempat itulah, everything started spiraling down.
Kami bukan keluarga yang sempurna. Juga bukan keluarga yang berada. Saya merasakan langsung bagaimana rasanya menjadi orang susah. Bagaimana rasanya berada dalam level sosial bawah. Akar rumput. Lengkap dengan semua konflik yang terjadi akibat minimnya sumber daya dan aset. I experienced it all. I got hurt a lot. I fought a lot. Until finally I survived and content.
Kami tahu persis rasanya lapar yang sesungguhnya. Bukan sengaja lapar agar langsing atau lapar untuk menyucikan diri ala orang-orang yang ingin naik derajat di mata Tuhan. Sama sekali bukan. Ini lapar yang sesungguhnya. Literally.
Tidak ada yang benar-benar tahu bagaimana rasanya berada di lapisan sosial bawah, jika mereka tidak pernah mengalaminya sendiri. Kami tahu persis bagaimana rasanya menelan harga diri hanya agar bisa bertahan hidup. Menyaksikan sendiri bagaimana orangtua kami di tengah malam mengendap-endap keluar untuk pergi ke pinggir sawah di sekitar perumahan. Mereka memetik pucuk-pucuk daun labu yang tumbuh liar di sana, dan memasaknya untuk lauk kami. Kadang beberapa hari mereka puasa. Kadang terpaksa meminjam sepiring nasi dari tetangga. Berulangkali mereka berbohong jika ada yang bertanya kenapa tidak ada aroma makanan yang dimasak dari arah dapur kami. Ibu selalu punya jawaban standar, “Oh iya, emang enggak masak. Soalnya masih banyak makanan dari kemarin. Sayang jika tidak dihabiskan.” — Padahal sebenarnya memang tidak ada apa-apa di dapur.
Ada yang menuduh saya dan orangtua begini dan begitu (panjang amat kalau mau diceritakan). Intinya, dianggap tidak peduli pada keluarga sendiri. Ya saya maklum saja. Mereka dulu hanya datang ketika orangtua saya punya uang. Tapi ketika susah, mereka pergi. Mereka tidak tahu dan tidak pernah mengalami rasa lapar bersama kami. Yang mereka tahu cuma selalu ada makanan tiap kali mereka datang, ada tempat tinggal yang kelihatannya nyaman, anak-anak terlihat sehat dan bahagia. Gitu doang. Lalu mereka menatap dengan dengki, dan melontarkan kata-kata kasar dan tajam yang melukai hati.

Karena kata-kata tajam itulah, saya tidak betah berada di kampung halaman. Sewaktu kecil, itu memang tempat yang menyenangkan. Namun semakin saya tumbuh besar dan dewasa, semakin sering saya mendengar dan melihat sendiri bagaimana orang-orang di situ gemar sekali menjatuhkan orang lain lewat perkataan yang tajam dan pedas. Seolah-olah mereka merasa sah-sah saja melakukan itu, karena status sosial yang tinggi. Merasa lebih mulia karena berasal dari keturunan ningrat.
Kebanyakan orang tidak sadar, betapa verbal abuse itu dampaknya bisa tersimpan cukup lama dalam memori manusia. Meskipun saya tinggal jauh, berhasil meniti karir hingga tinggi, berhasil menjadi penopang ekonomi keluarga, berhasil menempuh pendidikan tinggi dan bergaul dengan orang-orang yang mindsetnya super positif, tetap saja saya enggan kembali ke kampung halaman.
Saya terus saja terbang, makin jauh dan makin jauh, agar semakin kecil kemungkinan untuk ke sana. Agar saya selalu punya alasan untuk menghindar. Tinggal di Jakarta, Bangkok, Amerika… adalah surga yang sebenarnya. Sibuk dengan pekerjaan juga surga bagi saya. Karena dengan jarak yang jauh, kesibukan yang menyita waktu, dan tanggung jawab besar, saya punya alasan yang super sempurna untuk tidak berlama-lama mudik. Setiap kali tiba jadwal mudik tiba, saya selalu memesan tiket paling akhir dan kembali paling cepat. Kadang saking cepatnya, belum lagi ayam sempat berkokok, saya sudah mendaratkan kaki kembali di kota tempat saya bekerja.
Kesalahan terbesar kakak saya adalah karena dia memutuskan kembali ke kampung halaman. Padahal verbal abuse ke dia sudah dimulai sejak dia lahir. Sejak dia dipertanyakan oleh almarhum Nenek, apakah benar dia cucunya. Itu bibit pertama. Selanjutnya seperti avalanche saja. Seperti bola salju yang bergulir dari bukit, dan makin lama makin besar. Apalagi ketika dia kembali ke sana. Ya makin parah, tentunya. Luka awal saja belum berhasil dia proses, malah nyemplung dan bertahan di tempat pencetus luka.
Saya dan adik saya masih selamat, karena dulu lahir dan tumbuh besar di kota berbeda. Kehadiran kami diterima dengan suka cita. Yang pertama kali didengar oleh telinga mungil kami adalah kalimat cinta, syukur, dan kegembiraan. Bukan verbal abuse yang merendahkan. Kami juga dirawat langsung oleh kedua orangtua, sehingga meskipun kondisi ekonomi pas-pasan, kami tetap bahagia karena orangtua kami utuh. Sementara kakak saya lain. Sejak lahir sudah menerima verbal abuse, kemudian dia dipisahkan dari Ibu dan dibesarkan oleh kakek dan nenek dengan alasan bahwa Ibu saya saat itu belum becus mengurus anak.
Pada usia emas antara 0 – 12 tahun, idealnya seorang anak dirawat oleh ayah dan ibu kandungnya. Bukan dipisahkan. Saya melihat sendiri beberapa kenalan yang terpisah dari ibunya di masa kecil. Mereka mengalami luka psikologis yang tidak terkatakan beratnya. Jangan dikira bahwa orang yang selalu ceria, bersemangat, sukses, dan lain-lain, tidak menyimpan luka. Luka akibat perpisahan dengan orangtua itu sangat parah, sangat berat dan menyakitkan. Apalagi perpisahan dengan sosok Ibu.

Itu sebabnya, saya berusaha untuk menyambung komunikasi dengan mantan istri kakak saya. Dia sebenarnya sudah putus asa, karena upayanya untuk dekat dan mengasuh anaknya terus dihalangi oleh banyak orang. Namun ketika saya mengontaknya dan memberinya kabar mengenai perkembangan pendidikan anaknya, dia seperti rumpun mawar yang bertunas kembali. Harapan dan kegembiraan terpancar lewat mata dan suaranya.
Pasca kakak saya wafat, saya mengembalikan tanggung jawab pengasuhan anak kepadanya. Beberapa orang seolah-olah ingin menjadi malaikat penyelamat keponakan saya. Tapi saya tahu, mereka tidak akan sanggup melimpahkan cinta yang tak bersyarat kepada keponakan saya itu. Mereka hanya merasa iba sesaat. Saya sudah mengetes mereka dengan cara saya sendiri, dan saya tahu bahwa satu-satunya orang yang bisa tulus mencintai dan menerima keponakan saya adalah ibu kandungnya sendiri.
Orang boleh bicara bahwa ibu kandungnya tidak becus mengasuh anak, temperamental, dan sebagainya. Orang lain boleh bicara apa saja tentang dia. Boleh menganggap dia monster. Tapi saya sudah lama mengenalnya. Luka yang dialaminya akibat pernikahan yang tak sempurna, membuatnya mengalami trauma berat hingga keguguran dua kali dan tidak bisa hamil lagi. Trauma itu kadang tercetus keluar, lewat kemarahan dan teriakan terhadap almarhum kakak saya. Saya tidak menyalahkannya. Saya justru mendukungnya agar bangkit lagi, dan bisa bersama anaknya kembali. Saya tahu, yang dialaminya sangat berat. Verbal abuse, physical abuse, bercerai, terpisah dari anak selama 13 tahun, keguguran dua kali, divonis tidak bisa punya anak lagi, ketakutan akan dihajar lagi oleh mantan suaminya. Do you think any woman can handle those? Nope. Belum tentu. Perempuan lain belum tentu sanggup menanggung beban sebesar itu.
Banyak orang melihat sesuatu dari permukaan saja. Hanya berdasarkan pengalaman sesaat. Cuma dua bulan mengamati keponakan saya dan bapaknya, lalu seketika memvonis ibunya salah ini, salah itu. Merasa lebih tahu. Kalau kata orang Madura itu istilahnya metaoh, sok tahu. Padahal sang ibu kandung juga baru berkesempatan mengasuh anaknya sendiri kurang dari dua bulan setelah 13 tahun terpisah, dan orang lain sudah menuntut dia untuk langsung tampil sempurna seperti malaikat. Padahal bagaimana seorang ibu bisa berfungsi penuh sebagai ibu dalam waktu sesingkat itu? Apalagi dalam bayang-bayang trauma akibat abuse?
Mereka merasa tidak penting untuk mendengar cerita dari saya, dari ibu kandungnya, atau dari orang lain yang selama ini sudah berkutat mengurus segala problem dalam keluarga besar kami. Merasa tidak perlu mendengar bahwa saya dulu bertikai besar dengan almarhum kakak, bahkan menyeretnya ke kantor polisi supaya dia berhenti menumpahkan kepahitan hidupnya dengan memukul anak. Merasa tidak perlu untuk mendengar keseluruhan cerita sebelum menyimpulkan. Yang mereka inginkan cuma bagaimana menyelamatkan seorang bocah dari cengkeraman monster bernama ibu kandung. Padahal tidak mungkin menyelamatkan seorang anak tanpa memperhatikan akar masalah yang sebenarnya.
Saya lega ketika mengatakan kepada ipar saya itu, “Tidak perlu lagi menengok ke belakang. Semua itu sudah menjadi masa lalu. Sekarang, mari kita sama-sama membuka lembaran baru.”
Hidup memang tidak pernah sempurna. Tapi kita selalu bisa membuatnya menjadi lebih baik.
Posted on Februari 16, 2023
0