Jagung, dan Kita yang Sehat Karenanya

Posted on November 25, 2020

2


Jagung asli Amerika.
Evolusi jagung dari rumput bernama Teosinte ke bentuk jagung modern.

Di musim gugur, jagung adalah komoditi yang mudah didapat di toko, termasuk jagung asli Amerika. Jagung ini punya warna macam-macam, mulai dari kuning, oranye, merah, hingga ungu atau kebiruan. Cantik sekali dan bergizi tinggi.

Sayangnya, sekarang ini jagung asli Amerika hanya dikonsumsi di wilayah Meksiko dan sekitarnya. Sementara di bagian lain, ia hanya digunakan sebatas keperluan dekorasi Halloween atau Thanksgiving. Jarang yang bisa mengolah jagung tersebut menjadi makanan utama seperti jaman lampau.

Jagung adalah tanaman asli benua Amerika, tepatnya di Meksiko. Awalnya, ia berasal dari rumput liar bernama teosinte, yang kemudian dibudidayakan dan berevolusi selama kurang lebih 7-10 ribu tahun lalu. Teosinte hanya memiliki beberapa bulir biji saja di tangkainya, dan sama sekali tak cukup untuk dimakan. Suku asli benua Amerika yang bermukim di Meksiko kala itu, memilih benih rumput teosinte yang bijinya bagus, kemudian menanamnya lagi dan lagi, sampai kemudian benih itu menjelma menjadi jagung seperti yang kita kenal sekarang. Tapi beda ya dengan evolusi jagung versi dongeng anak-anak. Kalau versi dongeng yang kita kenal, konon jagung awalnya tak bertongkol. Bijinya bertumpuk saja dalam kulitnya. Sampai kemudian ia menertawai nasib sial tanaman lain (entah tanaman apa itu, saya lupa), dan tanaman itu marah kemudian melempar tombak ke arah si jagung. Jadilah kemudian si jagung bertongkol sampai sekarang, wkwkwkwk…. nasibbb…

Di kalangan suku asli Amerika, jagung ditanam dalam sistem pertanian yang bernama milpa. Di milpa, jagung selalu ditanam bersama dengan labu dan kacang-kacangan.

Sistem milpa ini ada legendanya juga, loh. Namanya Three Sisters. Ada beberapa versi tentangnya, salah satunya berupa tiga perempuan bersaudara yang hidup rukun dan saling membantu. Ini legenda dari suku Haudenosaunee. Begini ceritanya:

Sistem tumpangsari ala Meksiko yang disebut Milpa. Ia gabungan dari tanaman jagung, labu, dan kacang-kacangan. Dalam legenda, ketiga tanaman ini disebut dengan Tiga Perempuan Bersaudara.

Konon, ada tiga perempuan bersaudara yang tinggal di ladang. Yang tertua bertubuh jangkung, yang kedua kerjaannya hilir mudik ke sana kemari, dan yang paling muda masih kecil dan baru bisa merangkak. Jika ia hendak berdiri, maka ia berpegangan pada kakak tertuanya.Suatu saat, seorang pemuda yang sangat tampan datang ke ladang itu. Ketiga perempuan bersaudara itu terpesona padanya. Kemudian, secara bergilir mereka lenyap. Yang pertama kali lenyap adalah yang paling muda. Entah ke mana dia. Kedua kakaknya jadi sering menangis memikirkannya. Kemudian pemuda itu datang lagi, dan esoknya giliran perempuan kedua yang lenyap. Tinggallah sang kakak seorang diri, menangisi kedua saudaranya. Ketika pemuda itu datang lagi, ia mendengar tangisan sang kakak. Ia merasa kasihan dan memboyongnya ke gubuknya. Tak disangka, sang kakak menemukan kedua saudaranya di gubuk pemuda tersebut. Rupanya, saking kesengsemnya, mereka mengikuti si pemuda, lalu tidak bisa kembali karena cuaca terlanjur dingin. Akhirnya, ketiga bersaudara itu tinggal menetap bersama si pemuda, dan menyediakan banyak makanan. Sampai kemudian, mereka masing-masing mengubah diri menjadi makanan, agar tidak ada yang kelaparan di dusun itu. Itulah asal mula mengapa tiga tanaman ini (jagung, labu, dan kacang-kacangan) selalu ditanam bersama di ladang, yang kemudian dikenal dengan sistem milpa. Suku asli Amerika percaya, bahwa ketiga tanaman itu tidak boleh dipisahkan. Mereka harus ditanam bersama-sama.

Namun sebenarnya, ini lebih dari sekedar legenda. Sebab sistem milpa ternyata sangat ramah terhadap ekosistem, termasuk perut manusia. Jika jagung dimakan begitu saja, maka ia tidak bisa memenuhi semua unsur gizi yang diperlukan oleh tubuh. Bahkan bisa jadi ia menjelma menjadi sumber penyakit, salah satunya penyakit bernama Chron’s Disease, karena kadar cellulose-nya yang tinggi dan sukar dicerna. Namun jika jagung disantap dengan kacang-kacangan dan labu, maka unsur gizinya jadi lengkap. Gizi dalam kacang-kacangan dan labu, mengisi kekosongan gizi dalam jagung. Sehingga, mereka yang menyantapnya menjadi sehat.

Bagi tanah, ketiga tanaman ini juga berpengaruh bagus. Kacang-kacangan menyediakan unsur nitrogen bagi tanah, dan jagung menjadi tempat penyangga kacang-kacangan. Sedangkan labu menjaga kelembaban tanah dengan daunnya yang lebar-lebar. Tanah pun terjaga dengan baik.

Sekarang, sistem milpa jarang dipakai. Lahan pertanian diganti dengan jagung GMO yang berbuah banyak dan cepat panen, demi memenuhi kebutuhan pasar yang tak ada habisnya. Hanya sedikit yang masih mempertahankan sistem milpa dan tetap mengkonsumsi jagung asli Amerika yang beraneka warna itu.

Chef Enrique Olvera, dengan salah satu menu kreasinya yang terbuat dari jagung muda dengan balutan saus yang eksotik.

Untungnya, masih ada yang peduli untuk menyelamatkan benih-benih asli dan ekosistem. Salah satunya adalah chef kenamaan dunia asal Meksiko, bernama Enrique Olvera. Ia terobsesi dengan bahan makanan lokal, termasuk jagung yang berasal dari benih asli, bukan benih hasil rekayasa genetika yang dipaksakan.

Di restorannya, Pujol, yang terletak di kota Mexico City, Olvera menyediakan satu set menu yang bahan bakunya berasal dari pertanian lokal. Roti tipis bernama tortilla, dibuat dari beraneka jagung lokal, sehingga menghasilkan lembaran roti yang berwarna-warni. Ada yang kuning, ungu, atau kehijauan. Saus gurih dan sedikit pedas bernama mole dengan campuran cokelat, wijen, cabai kering, biji labu, aneka rempah serta biji-bijian lokal, diolahnya sendiri dan menjadi favorit pengunjung. Semua hidangannya diolah dengan cermat dan cantik, serta konsisten menggunakan bahan-bahan lokal. Tak heran, Olvera menyabet penghargaan sebagai salah satu chef terbaik di dunia. Saya sempat cek daftar menunya. Ada sekitar 7-9 jenis menu dalam satu set, yang berharga sekitar 100 dollar lebih per orang. Lumayan juga. Tapi sebenarnya itu terbilang murah untuk ukuran kreatifitas dan komitmen yang ditunjukkan oleh Olvera.

Sepertinya kita butuh banyak sekali orang jenius semacam Olvera, yang bisa memberi perspektif baru tentang kesinambungan dalam ekosistem, tentang hubungan antara manusia dan alam, dan membuat kita mau menoleh lagi ke kearifan lama.