Sesi meditasi yang saya ikuti tempo hari membahas topik yang menarik, yakni Love and Relationships. Banyak poin-poin mencerahkan yang saya dapat, di antaranya yang super menarik adalah tentang kaitan antara cinta dengan pertumbuhan jiwa seseorang.

Jiwa manusia selalu bertumbuh. Ia menghendaki setiap ruang yang diinginkan agar bisa terus berkembang. Karenanya, Jiwa tidak mengenal aturan, norma, hukum, moral, adat, dan sebagainya. Ia hanya mencari ruang untuk bertumbuh.
Karenanya, seseorang bisa jatuh cinta pada siapa saja. Tidak peduli IQ-nya berapa, penghasilannya berapa, dari ras apa, dari negara mana, dari bangsa apa, bahasanya apa, latar belakang orangtuanya apa, agamanya apa, laki atau perempuan, tua atau muda, single atau married…. semua tidak penting bagi Jiwa. Yang penting adalah, ia menemukan apa yang dicarinya pada orang lain tersebut.
Jadi, cinta itu ya cinta aja. Tidak selalu harus dikait-kaitkan dengan soal beda umur, beda level pendidikan, beda ras, beda level sosial, beda agama, atau apapun… karena semua itu sebenarnya tidak relevan.
Bahkan, mencintai lebih dari satu orang pun juga manusiawi. Kita bisa mencintai lebih dari dua orang pada saat bersamaan, kalau jiwa kita pada saat itu menemukan apa yang dicarinya pada orang-orang tersebut.
Cinta juga tidak selalu harus berakhir dengan pernikahan atau hubungan fisik. Saya setuju banget dengan ini. Dari dulu saya selalu mengatakan itu, karena memang itulah yang saya rasakan. Saat saya menyukai seseorang, bukan berarti saya akan menikahinya. Juga bukan berarti saya harus meninggalkan pasangan saya yang sekarang ini demi agar bisa bersama dengan orang lain yang saya cintai.
Kita juga bisa jatuh cinta berkali-kali dengan pasangan sendiri, karena Jiwa kita menemukan hal-hal yang dicarinya dalam diri pasangan kita.
Kita pun bisa mencintai seseorang, namun kemudian di belakang hari memutuskan menikah dengan orang yang berbeda.
Love makes everything possible.
Mengapa Jiwa kita selalu mencari ruang untuk bertumbuh?
Tidak lain karena kita membutuhkannya. Diri kita memerlukan pelajaran hidup yang berbeda-beda di setiap tahapan perkembangan usia dan kematangan pribadi. Di usia tertentu, kita tidak lagi cukup dengan apa yang diberikan alam kepada kita. Misalnya bayi, tumbuh besar, dan tentu memerlukan baju baru yang muat dengan tubuhnya. Kemudian nanti ia tumbuh jadi remaja dan perlu kamar sendiri, perlu kendaraan sendiri, dan sebagainya.
Demikian pula dengan jiwa kita. Saat bayi, ia cukup dengan limpahan perhatian dan cinta dari orangtua. Semakin besar, kebutuhannya bertambah. Jiwa kita akan belajar tentang apa itu kesetiaan, pengorbanan, penghargaan, kerjasama, dan lain-lain. Jika itu tak didapatkan dari orang atau lingkungan terdekatnya, maka ia akan mencarinya pada orang lain.
Begitu terus yang dilakukan oleh Jiwa. Dari satu ruang ke ruang lainnya, dari satu Jiwa ke Jiwa lainnya. Ia baru akan berhenti jika semua kebutuhannya terpenuhi. Pada saat itu, kita sudah berada dalam kondisi yang waskita, istilahnya. Kita menjadi lebih bijak, tidak lagi terlalu judgmental atau meributkan perbedaan, merasa cukup dengan diri sendiri, merasa nyaman dan bisa mengekspresikan cinta dengan lebih baik. Kita menjadi pribadi yang bisa menerima siapapun, lengkap dengan kekurangan dan kelebihan mereka. Pendek kata, kita sudah menjadi manusia yang utuh.
Saat kita berada di state tertinggi ini, kita bisa memancarkan daya tarik dan cinta yang lebih luas kepada lingkungan sekitar. Sebab hanya Jiwa yang sudah penuh terisi, yang bisa mengisi bejana lain yang kosong.
Terus-terang, ketika mendapatkan materi ini, saya jadi lega bukan main. Sebab, saya menemukan jawaban atas sesuatu yang tadinya saya kira sebagai “problem”.
Sudah sejak lama saya berusaha mengontrol pikiran dan hati saya, karena entah kenapa saya sering melirik pria yang jauh lebih tua. Sekitar 10-12 tahun di atas saya. I don’t know why. Rasanya saya tersedot untuk memperhatikan beberapa dari mereka, salah satunya ya sang jendral yang sempat saya ceritakan di postingan ini.
Saya merasa bersalah betul dengan perasaan itu. Sebagai orang yang dibesarkan dengan value agama yang ketat, bagi saya ini adalah ancaman. Di kepala saya terbayang aneka kosakata negatif seperti dosa, zina, selingkuh, dan sebagainya; dan saya takut sekali dengannya. Juga takut ditolak.
Berulangkali saya berusaha menepis munculnya perasaan itu dan menekannya dalam-dalam. Hasilnya? Tentu saja makin parah. Semakin kita berusaha mengingkari perasaan yang tumbuh terhadap seseorang, semakin kuat perasaan itu muncul dan mendesak untuk diakui. Berulangkali saya bertemu dengan yang setipe, entah itu dalam pekerjaan, saat belanja, saat olahraga… pendek kata, saya bertemu dengan tipe itu di manapun. It’s like, everywhere!
Hingga akhirnya saya sampai pada pelajaran ini, dan saya menemukan bahwa sebenarnya Jiwa saya menginginkan pengertian dan rasa aman dalam sebuah hubungan. Jiwa saya juga ingin belajar bagaimana cara menghargai jiwa orang lain dengan bijak.
Saya belajar tentang semua itu dalam diri si jendral tersebut, dan saya sangat bersyukur bahwa saya bisa mendapatkan kesempatan itu. Ternyata mencintai orang lain itu tidak selalu sinonim dengan selingkuh. Sama sekali tidak. Justru interaksi tersebut mengikis rasa paranoid saya, dan membuat saya merasa nyaman dengan diri sendiri. Tidak lagi takut dicap yang tidak-tidak, lebih percaya diri, dan lebih mengerti tentang kebutuhan jiwa saya sendiri.
Jadi, tidak perlu kuatir seandainya suatu saat kita jatuh cinta pada selain pasangan, atau pada orang yang sama sekali berbeda dengan gambaran ideal kita. Tinggal tanya pada diri sendiri: apa sebenarnya yang dicari oleh Jiwa kita pada orang tersebut? Apa yang ingin kita mengerti tentang hidup, yang jawabannya ada pada orang tersebut?
Insyaallah begitu kita menemukan jawabannya, kita akan merasa jauh lebih lengkap sebagai manusia.
Selamat mencintai!
Posted on Februari 5, 2023
0