Ada istilah yang selalu dipakai orang untuk menggambarkan sebuah hubungan keluarga maupun pertemanan yang tidak berjalan sebagaimana diharapkan, yakni: dysfunctional. Merujuk pada fungsi yang tidak bisa berjalan sesuai S.O.P (Standard Operational Procedure) dalam hubungan interpersonal.

Di Amerika, keluarga yang dysfunctional banyak. Stres yang disebabkan hubungan antar individu yang tegang, kisruh, banyak konflik, menyebabkan mereka terpisah satu sama lainnya dan tidak kontak lagi. Bahkan ada yang baru tahu kalau anak atau orangtuanya wafat setelah bertahun-tahun. Sebegitu terpisahnya.
Namun yang berfungsi baik juga banyak. Saling mengunjungi, terutama saat ulang tahun, Thanksgiving, Natal. Kemudian saling bekerjasama mengurus orangtua, bergantian menjenguk di senior homes alias rumah jompo. Di sini, rumah jompo lebih disukai oleh para orangtua, karena mereka merasa lebih bebas, fasilitas lebih baik, dan minim konflik dengan anak-anaknya. Tinggal bersama anak atau menantu justru dihindari, karena mereka paham beratnya beban ganda mencari uang dan merawat lansia. Jadi tidak ada istilah anak durhaka hanya lantaran orangtuanya tinggal di rumah jompo.
Saya mengalami yang namanya keluarga dysfunctional. Teman-teman saya juga. Kerabat saya pun demikian. Masing-masing punya masalah dengan keluarganya dan menanggung beban stres yang cukup besar. Jadi saya tidak sendirian. Selama ini saya sering berdiskusi dengan sebagian dari mereka. Saling berbagi dan mencari jalan keluar. Stres akibat hubungan keluarga yang kacau, tidak mungkin dihadapi sendirian. Kami saling membantu membentuk support system, dan saling mendukung meskipun kadang-kadang merasa kehabisan napas saking absurdnya problem yang dihadapi.
Hari ini kakak saya wafat. Dini hari tadi, sekitar pukul 4 pagi, mungkin. Pukul 1 dini hari, anaknya mengirim pesan ke saya. Menanyakan kenapa ayahnya sakit sedemikian parah, sampai napasnya tersengal-sengal. Pukul 4:26 pagi, anaknya calling saya. Qadarullah, semua pesan dan callingnya tidak masuk ke hape saya sampai pukul 5:57. Itu saat di mana pesan dari adik saya (Antok) dan teman kantor kakak saya (pak Wathon), juga saya terima. Jadi semua datang bersamaan.
Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.
Hubungan saya dengan kakak kandung saya tidak baik-baik saja. Kami sering bertengkar, bahkan sejak kecil. Sampai dewasa, pertengkaran semakin serius dan memanas. I am the alpha female di keluarga, dan paling tidak suka jika dilawan. Bahkan almarhum Bapak pun juga memilih minggir, begitu saya membuktikan pada beliau bahwa saya bukan lagi gadis kecilnya.
Saya dan kakak paling sering bogem-bogeman, untuk urusan apapun. Berantemnya serius, hingga dalam taraf yang hampir tidak mungkin diperbaiki. Saya butuh waktu yang sangat lama, bertahun-tahun, untuk bisa memaafkan dan memakluminya. Melihat hal ini sebagai tantangan ketimbang masalah, dan mencoba selalu mencari sisi positif.
Saya sering marah, tentu saja. Merasa benci, tentu saja. Sebab, konflik kami sangat serius.
Namun ketika saya diberitahu oleh guru spiritual saya, sekitar bulan Oktober 2022, saya tetap merasa sedih. Sebab guru saya bilang, kesempatan bagi kakak saya cuma sampai tahun depan saja, untuk membuktikan pada anaknya bahwa dia benar-benar menyayangi anaknya dan mau melakukan hal terbaik baginya.
Saya tidak lagi diijinkan oleh guru saya untuk membantu kakak saya. It’s already the end. Di bulan-bulan terakhir, dia harus bisa melakukan semuanya sendiri, dan menebus semua hal sendiri. Jadi saya harus benar-benar berada di luar ring dan diam.
Saya tidak tahu apa saja yang sudah dilakukannya di tiga bulan terakhir hidupnya untuk menebus semua itu. Saya tidak tahu doa apa saja yang dipanjatkan olehnya. Namun di bulan Desember 2022, entah kapan tepatnya karena tidak saya catat, ada suara lembut yang bertanya di belakang saya, “Apakah kalau kamu dapat rejeki banyak, kamu bersedia membangun rumah untuk kakakmu?”
Saya jawab, “Tentu saja.” Tanpa pikir panjang.
Kemudian saya menoleh. Tidak ada siapa-siapa di belakang saya, tentu saja. Saya tahu bahwa itu “something” atau “utusan” yang biasanya memang datang di waktu-waktu tertentu untuk menyampaikan pesan tentang keluarga.
Sejak mendapat pertanyaan itu, saya jadi sering browsing info tentang rumah yang dijual di daerah Situbondo. Saya menghitung-hitung jumlah tabungan, mencari kemungkinan di mana bisa dapat kerja atau klien baru. Saya menyimpan beberapa foto rumah yang menurut saya bagus untuknya, dengan halaman yang bisa dipakai untuk latihan silat bersama murid-muridnya.
Saya masih berpikir bahwa “rumah” yang dimaksud itu adalah beneran rumah yang layak. Sebab, selama ini memang kakak saya tidak punya rumah sendiri. Nasibnya sama seperti almarhum orangtua kami, yang hingga akhir hidupnya tidak pernah benar-benar punya rumah sendiri. Makanya saya serius mencari, melihat-lihat setiap iklan rumah yang dijual, hingga kemudian memutuskan untuk istirahat dulu. Sebab saya tidak tahu, dari mana saya dapat uang untuk membelinya. Saya yakin pasti akan dapat uang, karena si utusan tadi sudah menyampaikan. Tetapi saya masih belum tahu pasti, ini nanti ketiban rejeki dari arah mana sebenarnya?
Ternyata perkiraan saya salah. “Rumah” yang dimaksud oleh si utusan itu rupanya adalah rumah di alam berikutnya. Yang fondasinya dibangun dengan pemaafan dan penerimaan total. Dengan cinta tak bersyarat. Penerimaan tak bersyarat, apapun adanya kakak saya, dan apapun parahnya konflik yang pernah terjadi antara kami sebelumnya.
Ya, tentu saja. Saya memaafkan dia sepenuhnya. Saya tetap menyayanginya, karena bagaimanapun dia tetap saudara saya. Ikatan darah tidak mungkin diputuskan. Kami memang terpisah jauh, setiap saat ada saja masalah. Tetapi pada akhirnya, saudara tetap saudara.
Dan ternyata, itu juga yang terjadi dengan keluarga besar kami.
Ketika kabar itu sampai, seketika itu juga kerabat kami saling mengabari dan saling membantu. pak Wathon menelepon Dedy, sepupu saya yang tinggal di desanya Bapak. Kemudian Dedy mengabari mas Didik, sepupu saya yang lain. Saya mengirim pesan ke grup-grup keluarga dan beberapa teman.
Ini yang tidak saya duga. Mereka dengan spontan langsung memanggil ambulans, mengirim jenasah ke kampung halaman untuk dimandikan, dishalati, dan dimakamkan. Semua bergerak dengan cepat. Semua datang ke masjid untuk menyolatkan, dan memakamkan.
Saya memandang foto-foto dan video prosesi pemakaman yang dikirim oleh pak Wathon. Sungguh saya tidak percaya. Mereka semua pernah berkonflik dengan kakak saya, namun di saat akhir seperti itu, mereka semua melepas segala kemarahan dan segala konflik tadi. Bahu-membahu mengurus jenasah, menggali lubang, dan menguburkan jenasah.
Tanah kubur yang digali sangat sempurna. Kering, bersih. Orang-orang bercerita tentang bagaimana mereka dulu berselisih, namun memilih untuk melepaskan dan mengikhlaskan semuanya. Mereka tidak menyimpan dendam, mereka mendoakan kakak dengan ikhlas, dan mereka merelakan dia pergi dengan cara sebaik mungkin.
Barangkali ada doa kakak saya yang terkabul. Barangkali ada sisa di sudut hatinya yang benar-benar tulus menerima ketentuan Allah. Dua hari sebelum wafat, dia mendapat rasa sakit yang luar biasa. Namun tidak ada nada mengeluh dari kalimat yang ia kirim kepada pak Wathon. Mungkin di saat itu, dia benar-benar ikhlas dijemput maut. Dia hanya menitipkan pesan tentang anaknya, dan dia memilih orang yang paling dipercaya dari keluarga mantan istrinya (Dian) untuk mengasuh anaknya. Orang yang dulu dilihatnya selalu rajin shalat tahajud.

Barangkali itu yang membuatnya insyaallah khusnul khotimah. Dijemput dengan cara yang cepat, diterima dengan cara yang terbaik, dan dimaafkan oleh Semesta.
Salah satu bukti, bahwa seperti apapun buruknya label “dosa” yang diterima oleh seseorang, pengampunan selalu ada. Rahmat dari Tuhan selalu ada. Kasih sayangnya selalu lebih besar ketimbang murkaNya. Jika kita ingin melihat seperti apa sebenarnya seseorang di depan Tuhannya, maka lihatlah di saat akhirnya. Jika semua berlangsung dengan baik, kesalahannya dimaafkan, jasadnya diterima sepenuhnya oleh Bumi, maka itulah jawaban sebenarnya.
Saya menangis ketika memeluk anak saya dan memintanya untuk memaafkan kakak saya. Saya juga menangis ketika bercerita kepada suami tentang bagaimana para sanak saudara di kampung halaman ternyata datang semua. Padahal, masyaallah, hubungan kami banyak kacaunya.
Peristiwa ini membuat saya berpikir ulang tentang makna keluarga. Memiliki keluarga itu meletihkan. Konflik dengan keluarga itu meletihkan. Namun pada akhirnya, keluarga juga yang hadir di saat yang paling kita butuhkan. Keluarga juga yang akhirnya akan menerima kita apa adanya.
Istirahatlah, kakakku. Baik-baiklah di rumah barumu. Di sana tidak lagi ada lapar, haus, sakit, susah, ataupun duka. Di sana hanya ada kasih sayang dari Tuhan, dan juga Tuhan. Janji, ya. Jangan lagi lahir ke dunia. Tugasmu sudah selesai dengan sempurna, insyaallah. Jangan lagi mengkhawatirkan yang masih hidup. Kami akan tetap mencintaimu, dan tetap mendoakanmu.
Posted on Januari 30, 2023
0