Matahari

Posted on Januari 5, 2023

0


Photo by Alonso Reyes on Unsplash

Saat lagi baca artikel tentang Relationship, ujug-ujug saya ingat dengan kasus Maia Estianty dan Dhani Ahmad. Waktu itu, kiasan yang dipakai oleh Dhani adalah, “Dalam satu rumah tangga, tidak mungkin ada dua matahari.” Sedangkan Maia sebaliknya. Bagi dia, “Kenapa tidak? Dua matahari justru lebih bagus.”

Saya setuju dengan yang dibilang oleh Maia. Seharusnya memang tidak ada dikotomi seperti itu, apalagi dalam rumah tangga. Setiap orang adalah matahari sesuai dengan kapasitasnya masing-masing, dan tidak ada yang perlu harus berkorban menekan jati diri aslinya hanya agar pihak lain bisa bersinar.

Tetapi, mungkin yang membedakan adalah: kita tuh matahari yang seperti apa?

Untuk kasusnya Maia, ya, itu bisa dilihat dengan jelas. Cepat atau lambat, keduanya memang akan berpisah. Penyebabnya adalah, karena salah satunya menghendaki yang lain untuk padam, dan itu tidak mungkin. Tabiat alami matahari adalah untuk bersinar. Kalau dipadamkan, yang tercipta nanti adalah dukacita yang lebih besar. Jadi, untuk bisa mengakomodir dua matahari dalam satu rumah tangga, memang dibutuhkan keluasan hati yang tak terkira. Atine kudu jembar. Dan saat itu, mereka berdua belum ada kesempatan untuk belajar saling menyediakan ruang karena keburu ditimpa masalah lain. Akhirnya ya, memang harus pisah.

Barulah setelah mereka berpisah, masing-masing mendapat pasangan yang sesuai. Pasangan baru Maia jelas adalah matahari yang sangat bersinar. Tidak ada yang menyangkal itu. Jadi, teori si Dhani bahwa dalam satu rumah tangga tidak mungkin ada dua matahari, terpatahkan seketika. Itulah yang saya sebut dengan “atine kudu jembar”. Untuk bisa mengimbangi pasangan dengan kualitas tertentu, memang dibutuhkan kualitas tertentu juga. Kedua pihak perlu sama-sama merasa nyaman dan puas dengan diri mereka sendiri dulu, dan masing-masing punya spotlightnya sendiri. Barulah keharmonisan bisa tercapai. Jadi tidak perlu harus bersaing atau saling mengalahkan.

Apakah kalau saat itu Dhani dan Maia ada kesempatan untuk saling memberi ruang, rumah tangga mereka bisa diselamatkan? Teorinya sih, iya. Tapi saya yakin mereka tetap akan cerai. Sebab, masa perjodohannya sudah expired, hehehe… dan itu ditandai dengan kehadiran pihak lain, baik di hidup Dhani maupun pada Maia. Jadi, mau jembar ati atau tidak, mereka tetap akan berpisah dan bertemu dengan jodoh berikutnya.

Dalam hidup, kita belajar tentang ini. Makanya, semakin bertambah umur, kita semakin fleksibel sebenarnya dalam menyikapi sebuah relasi. Kita tidak lagi diikat oleh cara pandang yang normatif. Misalnya ada orang cerai, lantas kita anggap ybs punya status lebih rendah atau memalukan. No, tidak demikian. Saat kita semakin sadar tentang keterkaitan antar semua hal, semisal hukum alam, law of attraction, karma dan lain-lainnya, kita pasti lebih mudah untuk menerima itu sebagai salah satu episode kehidupan saja. Hanya sebuah media untuk belajar, dan media buat orang lain untuk belajar juga. Jadi tidak ada yang namanya status sosial jadi lebih rendah, memalukan, harus dipergunjingkan, atau aneka penilaian sosial lainnya yang sebenarnya tidak relevan sama sekali. It’s just a life journey. That’s all.

Setiap orang pasti akan memilih pasangan yang paling membuatnya nyaman. Ada sih yang sampai tua tetap terjebak dalam sebuah hubungan yang tidak membahagiakan dan tidak saling mengimbangi. Tetapi saya tidak membahas itu. Yang saya bahas adalah tentang saling memberi ruang ini.

Kita tertarik pada seseorang bukan semata-mata karena dia cantik, tampan, kaya, terkenal, atau lainnya. Itu hanya permukaan saja, dan efeknya hanya sesaat. Mungkin dalam waktu sehari dua hari, atau sejam dua jam, begitu kita mendapati bahwa ybs tidak memiliki kualitas diri yang sejalan dengan kita, atau tidak sejalan prinsipnya dengan kita, maka rasa tertarik itu pasti luntur. Kita pasti akan selalu mencari yang sesuai, yang bisa membuat kita bebas menjadi diri sendiri.

Omong-omong soal ketertarikan ini, suatu ketika saya ditimpa rumor. Ada orang menyebar info bahwa saya menyukai suami teman sendiri. Rumornya tentu saja tidak benar, dan siapapun yang paham dengan yang saya ceritakan di atas (tentang perumpamaan matahari tadi), pasti akan tahu bahwa tidak mungkin saya tertarik pada tipe orang seperti itu. Jauh banget diskrepansinya.

Mendengar rumor itu, tentu saja saya jadi ngerasa gimana, gitu ya. Karena yang ngomong itu juga teman sendiri, yang notabene punya hubungan baik dengan teman yang satunya itu. Jadi kami bertiga pernah ada dalam hubungan yang baik. So, tentu saja saya merasa dikhianati. Kok bisa dia melakukan itu? Selama ini saya selalu bersedia mendengarkan dia curhat berjam-jam dan membantunya memberi saran ini-itu untuk mengatasi efek penderitaan masa lalunya. Tapi kenapa sikapnya seperti ini? Padahal kalau dia memang teman, pastinya dia ngerti bahwa saya nggak bakalan naksir pria seperti itu, karena nggak ada mecingnya sama sekali. Jauh panggang dari api. Juga nggak akan pernah melanggar batas dengan menyebar fitnah.

Jadi, saya menyimpulkan bahwa either teman penggosip tadi itu emang nggak ngerti saya orangnya kayak gimana, atau sebenarnya dia ngerti tapi memutuskan untuk tetap menyebar rumor demi kepentingannya sendiri. Whatever it is, saya nggak ngurus. Karena begitu saya tahu dia menyebar rumor tersebut, saat itu juga saya memutuskan disconnect total dengannya. Menurut saya, begitu seseorang berani lancang menyebar gosip atau fitnah kepada temannya sendiri, maka dia bukan lagi teman.

Tapi ya, sudahlah. Setelah bicara dengan guru spiritual saya, dia berkata bahwa lebih baik memaafkan saja. Karena apapun yang terjadi, semua ada penyebab dan ada jalan keluar. Tidak ada satu pun hal yang menimpa saya, kecuali itu sudah diijinkan untuk terjadi oleh Tuhan sebagai bagian dari lessons learned yang musti saya pahami. Jadi saya memilih memaafkan si teman tadi. Dengan demikian, saya bebas dari hutang perbuatan. Adapun di masa depan akan tersambung lagi atau tidak, itu tergantung dari niat dia juga.

Lain lagi dengan rumor yang satunya. Waktu itu saya dikerjain beberapa orang sampai keceplosan menyebut nama, dan terdengar oleh yang bersangkutan. Yang ini, saya nggak bisa mengelak karena memang benar demikian. Saya pernah punya hati sama dia, tapi memilih menyimpannya saja. Yeah, siapa pula berani macam-macam sama jendral, wkwkwk…. mau mampus, apa?

Tadinya saya mengira hidup saya bakalan kacau pasca insiden itu. Ternyata tidak. Justru esok harinya, ada hadiah dikirim ke alamat saya, berupa sesuatu yang langka gitulah, yang sebelumnya cuma ada dalam khayalan saya. One in a million. Sampai saking langkanya, saya ketenggengen (tertegun) berhari-hari dan bertanya, “Ini beneran ya, untuk saya?”

Sekarang saya sudah “siuman” dari ketenggengen tadi, haha. Sudah bisa balik bercanda dan bilang, “Kalau gitu aku mau naksir jendral lagi, ah. Siapa tahu kali ini dapat mobil Tesla.”

Ya, begitulah. Memang beda sih, ya. Teman yang baik pasti akan mengerti tentang siapa temannya, dan mengerti bagaimana cara menghargai. Kalau teman buruk, ya kayak contoh sebelumnya.

Well, dari kasus ini saya jadi belajar banyak. Termasuk untuk soal bermimpi tinggi. Nggak usah mikir musykil tidaknya. Karena kita tidak tahu dari pintu mana mimpi itu terkabul. Ini buktinya. Salah satu mimpi besar saya terkabul justru pasca insiden memalukan itu. Dan yang penting, selalu tempatkan diri kita pada niat baik. It pays well, percayalah. Hindari memiliki niat buruk, sekalipun pada musuh. Apalagi pada teman sendiri. Itu big No-No. Kalau kita selalu menjaga niat baik, maka yang akan datang adalah kebaikan, dan yang buruk akan tersingkirkan dengan sendirinya.

Begitulah topik kali ini. Percayalah bahwa kita selalu akan dipertemukan dengan orang yang sesuai. Dalam hubungan pernikahan, pertemanan, karir, dan apapun yang menjadi pilihan kita. Tetaplah menjadi diri sendiri. Kalau kita adalah matahari, ya jadilah matahari. Tidak perlu memadamkan diri sendiri hanya karena orang lain ingin jadi matahari juga. Setiap orang sudah punya porsinya masing-masing.

*****