Pelajaran Penting Sepanjang 2022

Posted on Desember 25, 2022

0


Photo by Carli Jeen on Unsplash

Sepanjang tahun 2022, perjalanan hidupku dipenuhi dengan pelajaran tentang memaafkan, melepaskan, dan menerima. Meskipun di tahun-tahun sebelumnya juga gitu, tapi intensitasnya sangat kuat di tahun ini. Sepertinya tahun ini memang menjadi titik kulminasi buatku. Segala pelajaran penting sudah diberikan, segala jalan sudah dibuka. Tinggal aku memutuskan untuk menerima atau tidak.

Umurku semakin bertambah. Aku sadar bahwa ini saatnya untuk konsentrasi ke satu hal. Jadi, aku memutuskan untuk melakukan hal-hal yang dulu masih enggan kujalani dengan alasan “It’s not my fault… I don’t understand why…why me… I want justice…” dan semacamnya. Aku berusaha melangkah keluar dan menapakkan kaki di teritori baru.

Tentang memaafkan, misalnya. Saat guru spiritualku berkata, “Sekarang saatnya kamu mendoakan kebaikan untuk semua orang yang pernah menyakiti kamu”. — itu kulakukan tanpa bertanya lagi. Meskipun dalam hati aku menimbang-nimbang, antara ya dan tidak, antara rasa skeptis dengan keinginan untuk mencoba, akhirnya aku jalani saja. Toh tidak ada ruginya sesekali mencoba. Siapa tahu pengalaman itu bisa kuceritakan di status medsosku.

Ternyata setelah kujalani, it’s not that bad. Hanya awalnya saja yang berat bukan main, namun aku paksakan saja. Bahkan aku menulis kalimat doa itu di buku, agar bisa kubaca. Daripada hanya mengucapkannya dalam hati, lebih baik ditulis saja dengan gamblang dan dibaca sehabis shalat. Dengan demikian, aku tidak berperang dengan pikiranku sendiri.

Setelah membaca doa itu, aku seperti dihinggapi empati yang luar biasa terhadap orang-orang itu. Pikiranku seolah terbuka, dan bisa merasakan langsung bagaimana sebenarnya positioning masing-masing orang. Ada yang ternyata dulu pernah mengalah padaku, dan memberikan kesempatan agar aku bisa melangkah maju duluan. Seandainya dulu orang ini tidak demikian, mungkin jalan hidupku sekarang berbeda jauh. Mungkin aku tidak bakalan bisa merantau ke segala penjuru, pindah ke Amerika, dan berkenalan dengan banyak orang yang luar biasa. Jadi dia sudah membuka pintu masa depanku, meskipun mungkin tidak disadarinya. Jadi untuk itu, aku tetap berterima kasih padanya.

Soal kemudian dia ternyata dihinggapi rasa dengki yang luar biasa terhadapku, itu adalah ujian baginya serta ujian selanjutnya bagiku. Rasa dengki itu adalah pe-er untuk mengenali arti kata ikhlas dan menundukkan amarah. Aku? Jelas marah. Karena efek perbuatannya tidak hanya kena di aku, melainkan juga merembet ke beberapa orang lainnya yang tak tahu-menahu. Tapi marah aja tidak bakal menyelesaikan masalah. Yang perlu kulakukan adalah melihat reaksiku sendiri terlebih dahulu, lalu mengerti dengan sumbernya, dan memutuskan langkah selanjutnya. Aku menggunakan tabel panduan energi emosi untuk switch emosiku dari energi marah ke energi positif dulu, kemudian berangsur-angsur aku pindahkan tombolnya ke energi learning, empathy, dan selanjutnya unconditional love.

Sedangkan orang itu, yeah, too bad. Dia belum bisa mencerna pelajaran hidup itu, dan belum bersedia melepas keterikatannya dengan emosi negatif. Akhirnya, dia tidak dapat apa-apa selain menuai hasil panen yang buruk akibat rasa dengki dan amarahnya sendiri.

Kebanyakan orang mungkin menganggap bahwa amarah itu keren. Bahwa bersuara keras dengan nada tinggi itu akan membuat mereka disegani dan dihormati. Padahal sebenarnya itu energinya rendah. Kita perlu terus-terusan marah untuk mempertahankan level energi, dan itu bikin capek. Keseimbangan hormon di tubuh akan terganggu jika kita ada di emosi negatif melulu. Dan akibatnya, salah satunya adalah kita bisa kegemukan. Sebab, untuk mengatasi stres, tubuh mengeluarkan hormon yang membuat kita ingin makan banyak, tidur banyak, dan akhirnya ya gitu. Gendut, deh. Jadi lebih baik akses emosi yang lebih tinggi tingkat energinya.

Karena pengalaman itu, akhirnya aku bisa memaafkan yang lain. Misalnya dengan teman yang semula akrab, tapi kemudian dia memfitnahku. Atau yang dulu berhutang, tapi malah melakukan tindak kriminal kepadaku. Semua sudah aku maafkan, dan tidak lagi kupermasalahkan. Soal hutang-piutang, kalau memang Pemilik Semesta menghendaki itu diikhlaskan, baiklah aku terima. Karena kan kalau kita percaya dengan Tuhan, kita tidak lagi mempertanyakan itu. Cukup dengan diberi isyarat berupa kejadian dan ilham, kita sudah tahu apa yang sebaiknya dilakukan. Orang lain mungkin menganggap itu tidak logis dan sebagainya. Tapi aku menganggap bahwa segala kejadian itu adalah hadiah dari Tuhan, yang fungsinya untuk membuat hidupku tetap seimbang. It’s just money. Uang datang kepadaku dan pergi ke berbagai saluran, termasuk salah satunya tersalur ke orang itu. Semuanya sudah ditetapkan. Tinggal aku belajar memperbaiki diri dan memperbaiki caraku dalam berinteraksi, agar kejadian serupa tidak terulang di masa mendatang.

Photo by Becca Tapert on Unsplash

Tentu saja, memaafkan bukan berarti aku harus membiarkan orang-orang itu masuk ke dalam kehidupanku lagi. Kita boleh memilih untuk tidak lagi kontak dengan orang-orang seperti mereka. Yang penting kita membebaskan diri sendiri dulu dari belenggu amarah atau benci, agar langkah ke masa depan juga bersih. Adapun sanksi untuk setiap perbuatan, itu pasti ada, baik secara formal maupun secara spiritual. Kita tidak bertanggung jawab atas perjalanan hidup seseorang. Kita bertanggung jawab atas diri sendiri terlebih dahulu.

Sama seperti saat kita menolong orang lain. Kita hanya bisa membantu mereka, jika mereka bersedia dibantu. Jika saat dibantu, mereka ternyata tetap gitu-gitu saja tingkahnya, maka kita boleh menghentikan bantuan. Sebab, kita tidak dibebani tanggung jawab untuk mengubah seseorang jika mereka sendiri tidak bersedia berubah. Kita juga tidak dibebani tanggung jawab untuk menanggung akibat dari perbuatan orang lain yang di luar kehendak kita.

Aku akhirnya mengerti mengapa guru spiritualku secara bertahap menutup akses. Awalnya, dia selalu membantuku tiap kali aku memintanya membantu orang-orang yang kuanggap perlu bantuan. Kemudian setelah itu, dia memberi syarat padaku bahwa orangnya sendiri yang harus menyatakan minta bantuan padanya. Terakhir, dia menolak membantu beberapa orang meskipun mereka minta bantuan langsung. Yang ini biasanya memang sudah tidak bisa ditolong, karena mereka tidak bersedia untuk introspeksi diri dan mengatasi sumber masalahnya. Jenis orang yang seperti ini, hanya sembuh sesaat saja. Selanjutnya, mereka kembali lagi mengalami masalah serupa, lagi dan lagi.

Aku juga demikian. Akhirnya aku belajar untuk menetapkan batas. Kalau kita sering merasa harus menyelamatkan orang lain hingga habis-habisan atau hingga mengorbankan diri sendiri, maka sebenarnya kita yang perlu pertolongan. Kita yang sebenarnya perlu disembuhkan, dan dibebaskan dari problem yang membelenggu. Kita bakal terus dapat masalah serupa, bahkan hingga ke generasi berikutnya, jika kita belum membereskan sumbernya terlebih dahulu. Kita tidak bisa bantu orang lain, jika kita sendiri masih bermasalah. Kebiasaan berkorban habis-habisan demi orang lain adalah salah satu isyarat bahwa diam-diam sebenarnya kita merasa tidak berharga. Lack of love, lack of appreciation to ourselves, dan ingin mendapatkan validasi dari orang lain. Entah itu berupa pujian, cinta, penghormatan, atau pengorbanan yang setara. So, it’s okay kalau kita menetapkan batas. Membantu sesuai kemampuan.

Begitulah salah satu pelajaran penting di tahun 2022. Sebenarnya ada banyak cerita, tapi aku memilih menulis tentang pengalaman yang satu ini, karena efeknya sangat nyata buatku.

Selamat menyambut Tahun Baru 2023 untuk semuanya. Semoga tahun depan dan tahun-tahun selanjutnya, membawa hasil yang jauh lebih gemilang buat kita semua.