A Void, Communal, Memories (3)

Posted on Januari 4, 2016

6


mother-and-child-in-sunset-resized-shutterstock_257089414

Dalam kepercayaan kami, 40 hari sebelum seseorang meninggal, sehelai daun jatuh di Arsy, di langit tempat segala ketetapan dibuat. Setiap orang akan merasa, kapan waktunya tiba. Dan secara naluriah, mereka akan “memberitahu” orang-orang di sekelilingnya, terutama keluarga.

Setelah rampung segala perhelatan, dan tamu-tamu sudah pergi, kami menelusuri lagi masa silam. Terutama saat menjelang wafatnya Ibu. Kami mencari “pertanda” yang bisa kami mengerti.Dulu, sekitar 40 hari sebelum Ayah meninggal, aku dihampiri mimpi yang membuatku risau. Tentang kupu-kupu dalam gelembung, yang menanti saat untuk lepas. Sementara Ibu, tak memberi pertanda apapun kepadaku. Kecuali kerisauan karena kesehatannya yang terus memburuk. Juga risau terhadap keselamatannya.

Ibu bukan orang yang neko-neko. Beliau lurus saja, dan sederhana. Tidak pernah meminta berlebihan. Kegemarannya berbagi. Kadang ada orang datang ke rumah secara teratur, dan Ibu menyisakan beberapa rupiah dari uang belanjanya untuk orang itu. Kucing-kucing juga mencintainya. Selalu ada kucing liar datang ke rumah minta makanan, dan Ibu meletakkan piring khusus berisi nasi campur ikan asin untuk mereka di teras. Kecuali untuk kucing bandel yang mencuri makanan, Ibu pernah mengejar-ngejar mereka dengan cabe di tangan.

Namun sejak wafatnya Ayah, bermacam-macam konflik datang. Hidup beliau jadi tak tenang. Beliau dimusuhi, tak disapa, bahkan diperlakukan dengan tidak hormat oleh sejumlah orang. Hingga suatu senja, ketika kutelepon, mendadak suara Ibu tercekat, dan beliau menangis tanpa sebab. Esoknya kutanya, ada apa. Katanya, tiba-tiba saja di hadapannya, bayangan almarhum Ayah muncul dan berkata, “Be’en ma’ gik e’dinnak?” (“Kenapa kamu masih di sini?”)

Hatiku kecut ketika itu, karena memang menjelang wafatnya, Ayah sempat berkata supaya Ibu segera pindah dari rumah Ayah. Saat kedua kalinya Ibu jatuh sakit dan dirawat di Bondowoso, kami memutuskan sekalian pindahan. Kakak dan adik membantu mencari rumah kontrakan untuk Ibu. Beliau bahagia sekali bisa pindah ke kota kelahirannya. Di sana, semuanya tenang. Udara sejuk, airnya dingin, kotanya akrab, dan kerabat yang masih banyak.

Namun kesehatannya terlanjur memburuk. Sebentar sehat, sebentar sakit. Berulangkali beliau masuk rumah sakit. Untungnya, di Bondowoso, rumah sakitnya lumayan bagus. Dokternya juga baik. Sesekali sempat kudengar suara dokter saat memeriksa Ibu. Terdengar menenangkan, dan Ibu dengan bangga berkata, “Ini saya lagi terima telpon dari anak saya, Dok. Iya, itu yang tinggal di Amerika.”

Rejekinya Ibu, setiap kali dapat dokter, selalu baik. Ada satu dokter dulu yang menawarkan diri untuk datang memeriksa Ibu langsung di rumah. Jadi Ibu tidak perlu bersusah-payah datang ke klinik. Sang dokter hanya meminta tambahan ongkos pengganti bensin sebesar 50 ribu saja.

Aku senang mendengar kabar itu. Tapi begitu kukonfirmasi, Ibu justru lebih bersemangat bercerita tentang status si dokter, “Orangnya agak pemalu. Tapi dia masih single dan ganteng!”

“Yahh… Ibu,” kataku. “Iya deh aku promosiin ke temenku. Siapa tahu ada yang cari jodoh dokter!”

Beliau tertawa-tawa saja. Mungkin karena terbawa kebiasaan ibu-ibu pada umumnya. Kalau ada orang yang dirasa potensial jadi mantu mereka, pasti beritanya akan langsung menyebar dari mulut ke mulut. Lebih cepat daripada angin. Mungkin juga lebih cepat ketimbang jejaring sosial.

Mungkin aku terlalu sibuk mencecar Ibu perihal kondisi kesehatannya, sehingga tak memperhatikan pertanda itu. Kakak yang sempat mendengar. Ibu bilang, saat liburan sekolah nanti, ingin pergi ke rumah adikku di Bangil. Aku baru mendengar cerita itu saat Ibu sedang koma di rumah sakit. Aku bilang pada kedua saudaraku, insyaallah apapun akan kuusahakan supaya Ibu bisa ke sana, jika kesehatannya benar-benar bisa pulih.

Aku tahu, saat mengucapkan itu, aku sedang bergantung pada seutas benang harapan yang sudah sangat tipis. Aku tidak mau kehilangan harapan itu, betapapun mustahilnya. Kuharap, akan ada kejaiban, dan aku bisa memanjakan Ibu sekali lagi di penghujung hayatnya.

Dan tentu saja, keajaiban itu tak ada. Tuhan lebih tahu apa yang terbaik buat Ibu. Termasuk bagaimana memenuhi harapan Ibu yang terakhir. Keinginan Ibu “terkabul”. Tahlilan diadakan di rumah adik di Bangil, tepat pada saat masih liburan sekolah. Untukku, ada kenangan penggalan rekaman percakapan terakhir dengan Ibu, saat beliau tersadar sebentar dari pingsannya. Ibu tak sempat melihat foto anak menantu dan cucunya yang terakhir kali, karena begitu selesai meneleponku, beliau koma, dan tak bangun lagi hingga wafat.

Aku sedih, tapi kurasa beliau sudah bahagia. Sebab beberapa hari setelah wafat, kulihat dalam mimpi, beliau sudah bersama Ayah. Mereka sedang ribut mempersiapkan rencana hendak pergi liburan berdua.

Selamat jalan, Ibu. Terima kasih sudah menjadi Ibu yang terbaik bagi kami semua, anak-anakmu. Terima kasih untuk segala kesederhanaan yang indah, yang akan selalu kami kenang.

*****