Juru kunci pemakaman itu sudah sering melihat orang datang dan pergi. Ia hapal, siapa saja keluarga dari mendiang yang dimakamkan di kompleks pemakaman sederhana tersebut. Beberapa diantaranya adalah keluarga kami dari pihak Ibu.
Ketika mendengar nama Ibu, dengan segera sang juru kunci itu mengenalinya. “Oh, dari keluarga ini,” ujarnya. “Baik, baik. Kita persiapkan.”
Pembicaraan tentang negosiasi harga tanah, harga papan kayu, ongkos untuk para penggali kubur yang berjumlah delapan orang, tuntas dibicarakan. “750 ribu,” ujarnya. Dan kakak dengan segera melunasi pembiayaan tersebut.
Di rumah, orang berduyun-duyun datang. Termasuk diantaranya sanak kerabat, tetangga, dan kenalan lainnya. Mereka membawa bahan makanan, seperti beras, mie kering, gula. Sang pemilik rumah yang kami sewa, dengan spontan segera memasak untuk para tamu. Ia menolak saat kakak memberikan sebagian hantaran tersebut.
Karena kakak hanya tinggal dengan anaknya yang masih SD, kami putuskan bahwa selamatan diadakan di rumah adik di Bangil. Pertimbangannya, di sana ada istrinya yang bisa mengatur semua hal. Untuk hal-hal seperti ini, suami istri biasanya jadi penggerak utama. Yang laki-laki bertugas mengundang tetangga, menghubungi ustad untuk memimpin acara yasinan, menggelar tikar dan mempersiapkan tempat acara. Sementara yang perempuan bertugas mengkoordinir segala persiapan di dapur. Memastikan semua hidangan dimasak sesuai rencana, dibagikan ke tamu dalam keadaan segar dan hangat, dan memastikan semua tamu membawa pulang kotak berisi makanan untuk dinikmati bersama keluarga masing-masing.
Dalam tiga situasi, yakni kelahiran, pernikahan, dan kematian, peran komunal sangat terasa. Sebelum Ibu wafat, kami sudah membicarakan hal ini dengan kakak Ibu (Bude), dan anaknya yang tertua. Sesaat setelah Ibu selesai dimakamkan, kakak mempersilahkan suami dari adik Ibu (Lek) untuk memberikan pidato dan doa. Saudara-saudara Ibu yang lain dengan takzim mendengarkan.
Semua orang melembut. Tidak ada hiruk-pikuk berlebihan. Tidak ada masalah yang berarti. Bahkan langit juga demikian. Semula, kakak khawatir hujan bakal turun lebat, karena mendung tebal sekali. Ternyata, hujan hanya turun rintik-rintik saja.
Di jejaring sosial, tidak kusangka, ucapan belasungkawa datang membanjir. Tidak hanya itu, bahkan ketika Ibu sedang dalam puncak masa krisis, ada sebagian yang datang membantu. Padahal kami belum pernah bertemu langsung. Belum pernah saling berkunjung ke rumah masing-masing. Interaksi hanya sebatas percakapan di inbox atau komentar di posting. Namun spontan saja, rasa saling mengerti dan kedekatan batin itu ada.
Seusai pemakaman, ada rentetan kegiatan selamatan. Sehari, tiga hari, tujuh hari, 40 hari, 100 hari, hingga 1000 hari. Di saat itu, orang-orang akan kembali datang berkumpul. Yang perempuan membantu di dapur lagi, yang laki-laki duduk bersama untuk membaca doa. Pulangnya, ada hidangan yang dibawa. Sebagian ada yang melanjutkan tradisi tersebut dengan mengirim hantaran makanan ke tetangga tiap malam Jumat.
Aku bersyukur, bahwa adat seperti itu ada, dan terus dilakukan orang. Itu media interaksi komunal, di mana orang-orang punya kesempatan untuk saling mengunjungi, berbagi, dan mengerjakan sesuatu bersama-sama. Mengenang tiga fase penting dalam kehidupan manusia.
Aku menganggap Ibu termasuk generasi yang beruntung. Sebab interaksi sosial masih lebih lekat, ketimbang generasi sesudahnya yang lebih akrab dengan gadget.
Entah apakah nanti tradisi komunal seperti ini bisa tetap lekat. Kadang-kadang aku khawatir, hal ini akan musnah. Padahal manusia tetap membutuhkan media seperti ini. Kita membutuhkan sesuatu, yang bisa terus menjadi penyambung fitrah kemanusiaan kita.
Sekarang, aku makin mengerti, mengapa dulu almarhumah Nenek berpesan khusus kepadaku, “Nanti, kalau aku sudah meninggal, jangan lupa tiap malam Jumat kirim doa untukku, antar makanan ke tetangga. Jangan sampai lupa!”
Kurasa, bukan hanya soal adat yang beliau pedulikan. Tetapi soal menyambung rasa dan komunikasi sepeninggalnya.
Anna Farida
Januari 1, 2016
Benar banget, Mbak. Peran komunal yang sangat menghangatkan hati, membuat yang mustahil jadi terwujud, yang berat jadi ringan. Semoga selalu ada keindahan kebersamaan, sehingga duka bisa terkikis walau sedikit saja.
Aku juga baru pulang tahlilan setahun Mbah Kakung. Riuh sekali tetangga di dapur. Acaranya hanya kenduri sederhana, tapi semua datang bahkan hanya untuk mengobrol karena tidak kebagian kerjaan π Hangat sekali.
Artha Julie Nava
Januari 4, 2016
Moga-moga tradisi semacam itu tidak punah. Kita perlu penyambung hati dengan orang lain, terutama dalam saat-saat seperti ini π
Juliana Dewi K
Januari 1, 2016
Selalu ada hikmah di balik kehilangan ya, Mbak..
Artha Julie Nava
Januari 4, 2016
Betul, mbak π
Pipiet Senja
Januari 4, 2016
Turut bela sungkawa ya saudariku, Julie Nava, semoga ibunda mendpat tempat di sisi-Nya, kelak bisa jumpa kembali. Al Fatihah
Artha Julie Nava
Januari 5, 2016
Amiiin terima kasih banyaka tas doanya, teh Pipiet.
Pipiet Senja
Januari 4, 2016
Al Fatihah
Artha Julie Nava
Januari 5, 2016
Amiiin alhamdulillah atas doanya