Malam itu, tiba-tiba aku tertegun melihat hamparan warna putih di depan mata. Lautan busa yang diam, sesekali bergoyang ringan disentuh angin, menunggu waktu untuk merekah, dan menerbangkan ribuan kupu-kupu yang selama beberapa waktu bertapa di dalamnya.
Aku tahu itu hanya mimpi. Bagi sebagian orang, mimpi hanyalah bunga tidur. Bagi Freud dan Jung, mimpi adalah refleksi dari pikiran kita sendiri yang terpendam. Sementara bagi sebagian yang lain, mimpi adalah pembawa berita. Pembawa kabar yang tak berbicara secara langsung, melainkan mempersilahkan kita untuk mencari maknanya sendiri.
Aku menyukai Jung. Menyukai caranya dalam menerjemahkan mimpi. Menurut Jung, setiap orang dapat menafsirkan mimpi sesuai dengan pengalaman hidupnya. Mimpi bukan sesuatu yang ditafsirkan secara saklek benar-salahnya. Ia hanyalah jendela, untuk menjenguk ke dalam rahasia yang kita pendam sendiri, jauh di dasar benak, jauh dari jangkauan orang lain; bahkan dari jangkauan diri. Ia adalah penyambung antara alam dengan diri kita; sehingga yang terjadi di alam, dapat kita baca.
Biasanya aku tak risau, sekalipun dihampiri mimpi yang luar biasa buruknya. Karena aku belajar, bahwa semua hal terkait dengan diri sendiri, dan bahwa kitalah pemegang kendali. Bukan makhluk halus, bukan peri, bukan jin, bukan siapapun. Aku menikmati cara berpikir yang menjadikan manusia sebagai pemegang kendali, sebagai orbit semesta, dan bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam dapat dijelaskan. Tanpa ada tahayul atau misteri di dalamnya.
Semestinya aku tak risau. Namun kali ini lain. Karena pemegang kendali itu, kali ini bukanlah diriku sendiri.
Aku sudah tahu tentang kabar batas waktu. Yang menjelma dalam mimpi berupa kepompong, gelembung, kupu-kupu, yang semuanya berwarna putih. Yang tafsirnya sangat jelas. Bahwa satu perjalanan orang tercinta sudah di ambang batas. Ibarat penghuni kepompong yang menunggu waktu untuk bebas, terbang ke langit dengan wujudnya yang lebih indah.
Semestinya aku tak risau, dan semestinya lebih siap. Tak setiap orang dapat mengenali pertanda, tak setiap orang diberi kabar sejak awal mula.
Aku bisa tenang saat menerima berita itu. Innalillahi wa innailaihi rojiunn –— tulisku, membalas pesan dari seorang kerabat yang memberitahukan tentang ayahanda yang wafat. Apa perlu menunggu mbak? — tanya kerabatku. Tidak perlu. Sebaiknya segera dikebumikan. Dalam Islam, lebih cepat lebih baik — tulisku kembali.
Lalu aku diam. Menikmati kesunyian yang tiba-tiba datang. Di sebuah bangku di bandara O’Hare, diantara lalu-lalang penumpang yang menunggu saat pesawat berangkat.
Di saat itu, air mataku jatuh begitu saja. Bergulir pelan, tanpa isak dan tangisan keras. Karena, bukankah aku sudah diberi kabar?
Namun beginilah, nyatanya, tak ada seorangpun yang bisa benar-benar siap untuk kehilangan. Termasuk aku.
Aku berharap dapat mengejar waktu. Berjanji pada ayahanda untuk sesegera mungkin ke rumah sakit. Dan ayah berkata — setelah dari rumah sakit, sempatkan untuk menyambangi kerabatmu. Si A, si B, si C, si D .…— satu demi satu disebutnya, agar aku tak lupa.
Aku berharap dapat memandang ayahanda sekali lagi. Namun waktu bukan di tanganku. Pemegang kendali itu bukan aku. Dan di saat itu, aku mengerti sekali lagi, mengapa kalimat “insyaallah” disarankan. Agar saat harapan dan takdir tak berjalan seirama, masih ada ruang untuk memaafkan diri sendiri. Untuk tak patah. Untuk tak lebur dalam duka cita yang terlalu lama. Karena ada yang lebih mengerti ketimbang kita, tentang apa yang terbaik bagi orang-orang yang kita cintai.
*****
picture copied from: http://abstract.desktopnexus.com/wallpaper/153524/
Surya Ningrum
November 22, 2012
Like mbak Ayik… semoga aku bisa belajar dari sini
Julie Nava
November 22, 2012
Sama-sama, Ning 🙂
ummughozi
November 22, 2012
subhanallah… indeed, kita memang harus selalu peka ya mba, dgn tanda2 yg ALLAH kirimkan… be strong mba, very inspiring masyaAllah
Julie Nava
November 23, 2012
Terimakasih banyak, semoga ada manfaatnya 🙂
sarah
November 22, 2012
Very touching. Saya bisa merasakannya, Semoga perpisahan itu tidak menjadikan duka dan penyesalan yang lama tapi do’a dan kiriman bacaan Qur’an yang langsung kepadanya akan lebih bermakna. Big hugh.
I want follow your path to make writing journal but never happen. Be strong and always share please.
Julie Nava
November 23, 2012
Iya benar sekali mbak, mengirim doa lebih penting dan lebih bermakna. Saya berusaha untuk melakukan itu dengan rutin. Terimakasih banyak, mbak *hugs*
melialesha
November 14, 2014
copas dikit yg diatas ya mbk…thnk u
melialesha
November 14, 2014
aku cantumin kok nama alamat blog mbak..
Julie Nava
November 21, 2014
Boleh, tapi lebih baik kalau menulis sendiri 🙂
Tadi aku cek blogmu 🙂
melialesha
November 22, 2014
Iya mbk.. hihi krn suka kata2 nya.. makanya biarin aja versi aslinya.. yg langsung dari mbk nava 🙂
Julie Nava
November 23, 2014
Hahaha, ya boleh silahkan dipasang kutipan dan linknya 🙂
melialesha
November 26, 2014
🙂 thnx mbak.. 🙂