Dalam fiksi (novel, cerpen, cerber, novella, dll), kita mengenal momen yang bernama TTIK BALIK. Ia adalah momen, di mana sang tokoh utama menentukan langkah penting yang kelak akan mempengaruhi jalan hidupnya.
Setidaknya, ada DUA momen Titik Balik yang bisa kita temukan dalam naskah fiksi. Yang pertama, ketika sang Tokoh Utama mendapat motivasi/alasan guna melangkah memasuki perjalanan. Yang kedua, adalah pada saat sang Tokoh Utama berada pada klimaks perjalanannya, kemudian meluangkan waktu untuk merenungkan setiap hal yang sudah dilaluinya, sebelum kemudian melangkah lagi.
Cara paling mudah untuk menjelaskan soal ini, adalah dengan menceritakan kisah Nabi Yunus (Jonah). Kisah Nabi Yunus, sangat jelas menggambarkan momen Titik Balik yang kedua. Di mana ia ditelan ikan paus, dan di dalamnya, ia menghabiskan waktu untuk berdoa dan merenungkan kembali perjalanan sebelumnya. Saat sudah keluar, ia berubah menjadi pribadi yang lebih matang, lebih dewasa, dan tahu bagaimana harus menghadapi ummatnya dengan cara yang lebih baik.
Kebanyakan momen Titik Balik, dipicu oleh faktor KEHILANGAN. Baik itu berupa kalah perang, rugi dalam bisnis, perceraian, dikhianati, sakit parah, kematian, kemiskinan, dan lain-lain. Kehilangan adalah salah satu motivasi utama bagi manusia untuk berubah dan menjalani hal baru. Berubahnya bisa dalam bentuk positif, misalnya menjadi lebih pintar, lebih sehat, lebih cerdik, lebih bijak, dan sejenisnya. Bisa juga berubah dalam bentuk negatif, misalnya menjadi pendendam, penghancur, perampas, dan lain-lain.
Hidup menorehkan banyak momen Titik Balik pada diri kita. Bagi saya, momen Titik Balik yang terbaru, adalah wafatnya Ibu. Sepeninggal beliau, ada yang berubah drastis dalam kebiasaan saya sehari-hari, yakni dalam hal menjaga makanan dan menetapkan prioritas.
Riwayat kesehatan keluarga saya memang kurang baik. Dari keluarga Bapak, ada darah tinggi dan kolesterol tinggi. Dari Ibu, ada riwayat diabetes, yang kemudian melebar parah ke ginjal dan jantung. Sumber penyakit, selain keturunan, saya pikir lebih banyak dari unsur lingkungan, makanan, kebiasaan hidup yang kurang sehat seperti merokok dan begadang, juga akses kesehatan yang minim.
Sangat menyedihkan, saat kita melihat orang-orang terdekat menjadi langganan rumah sakit. Dan lebih menyedihkan lagi, jika kita bayangkan anak, suami, atau orang-orang terkasih lainnya, harus melihat hal yang sama terjadi pada diri kita. Itu yang melecut saya untuk segera mengubah hidup. Tidak lagi begadang hingga lewat tengah malam. Mengusahakan makan sayur dan buah segar setiap hari. Pagi hari diisi dengan sarapan penuh serat. Siang hari memasak sendiri atau membeli makanan sehat tanpa minum soda. Malam hari bikin smoothie sayuran dan buah, dengan tambahan biji chia untuk pelancar pencernaan.
Sikap dalam keseharian juga berubah. Rasa kehilangan itu membuat saya mengevaluasi dan menetapkan kembali, apa saja yang paling penting dan harus didahulukan dalam hidup. Yang pertama, jelas keluarga. Yang kedua, lingkaran teman yang baik. Segala hal yang menurut saya potensial menjadi sumber masalah yang berlarut-larut, segera saya potong. Segala aktifitas yang menurut saya tidak juga memberi hasil berimbang dengan jerih payah dan waktu yang dikeluarkan, saya kesampingkan. Hidup jadi lebih efisien.
Kehilangan juga membuat saya merasa lebih mampu berempati pada orang lain. Umumnya, kita memang tidak bisa mengerti apa yang dirasakan oleh orang lain, sebelum mengalami hal yang sama. Saat mengucapkan belasungkawa pada orang lain misalnya, itu sudah berbeda rasanya. Tidak lagi sekedar ikut bersedih, tetapi ada rasa ikut memahami.
Kemampuan ikut memahami ini, yang membuat kita jadi lebih dewasa dalam hidup. Dan bisa membuat orang lain merasa nyaman, karena dimengerti. Seperti ketika beberapa kenalan di sini menelepon, untuk memastikan saya baik-baik saja. Mereka sudah mengalami kehilangan tersebut terlebih dulu. Mereka tahu rasanya, dan sudah jauh lebih matang ketimbang saya. It feels good, to be understood. And it feels good too, to be able to understand.
Posted on Januari 23, 2016
0