Ini beberapa catatan sewaktu kami mudik tahun lalu. Tidak pernah terbayang sebelumnya kalau akhirnya kami bisa juga mendaratkan kaki kembali ke Indonesia. Tidak pernah terbayang pula bahwa ternyata culture shock itu benar-benar dahsyat dan beneran bikin shock. Tadinya saya pikir, saya masih familiar dengan kondisi Indonesia dan segala keriuhannya yang membuat rindu.
Nyatanya, tidak juga.
Enam tahun tinggal di Amerika, ternyata sudah banyak merubah frame berpikir dan kebiasaan hidup saya. Kehidupan ala suburban, mobil-mobil besar yang berseliweran, jalanan lebar dan bersih, pepohonan dan hewan liar yang masih banyak. Pendeknya, segala ketenangan yang semula terasa datar dan luar biasa membosankan, ternyata sudah demikian dalam terpatri. Dan itu sebabnya, saya shock.
Shock pertama adalah saat menyusuri jalur Pantai Utara (Pantura), tepatnya di jalur Anyer-Panarukan.
Masyaallah, ini jalur yang benar-benar liar. Truk-truk padat muatan bergerak cepat saling mendahului. Dentuman riuh musik dangdut bercampur asap knalpot yang menyembur tebal. Gambar perempuan seksi dan tulisan konyol di bagian belakang truk. AC mobil yang macet. Udara yang pekat oleh asap dan debu. Segala kendaraan yang meluncur keluar dari jalur yang semestinya.
Lalu untuk apa semua aturan lalu lintas dibuat kalau hanya untuk dilanggar? – demikian pikir saya sengit. Lupa bahwa bertahun silam saya bisa tidur nyenyak sekalipun bus AKAS yang saya tumpangi nyaris menghantam mobil lain dan keluar dari badan jalan.
Semua yang pernah saya lihat dulu masih ada. Namun kali ini, ada perasaan asing ketika melihatnya. Jalur ini semakin menua. Rumah-rumah dan toko yang dulu masih bercat bersih, kini mulai menghitam di sana-sini. Bangunan-bangunan yang sudah tua dan rapuh, kini makin melapuk dan nyaris rubuh.
Hampir semuanya kering, berdebu, dan tua. Seperti makhluk renta yang berusaha sekuat tenaga untuk tetap bernafas dan bertahan hidup. Orang-orang berlalu lalang di sepanjang kota-kota yang saya lalui. Papan-papan besar terpancang di beberapa tempat, dengan gambar orang bersorban atau politisi. Baliho undangan tabligh akbar. Baliho promosi caleg. Papan iklan minuman soda dan obat sakit kepala. Poster iklan Syahrini dan Anang yang masih terpampang mesra sekalipun momennya sudah kadaluarsa.
Semuanya adalah denyut-denyut kehidupan sepanjang jalur Pantura ini. Denyut yang tetap memompakan nafas pada jalur yang diretas semasa Daendels berkuasa.
Dan yang terlompat dalam benak adalah: ah, begini letihnya negara saya ….
*****
Foto: koleksi pribadi
ikatrina
Februari 7, 2012
kasian ya mbah indo..
umurnya semakin tua
Julie Nava
Februari 8, 2012
elu tuh yee… mana ada yang namanya mbah indo 😀
pwikan
Februari 26, 2012
6 tahun waktu yg cukup lama, saya sendiri yang hanya tinggal 2 tahun di sono juga merasakan hal yang sama, yang terutama sekali adalah soal rebutan dapat giliran, di sono orang takut sekali menyela giliran orang sedang di sini bisa dilihat bagaimana kelakuan orang saat lampu merah, saat macet tapi tdk mau memberi jalan, saat mau masuk lift, saat ada barang gratisan, juga saat ngantri apapun, apa yang salah? apa kita masih bisa salahkan Belanda yang menjajah kita dalam waktu yg lama itu?
Julie Nava
Februari 26, 2012
Dulu sempat tinggal di mana, mas? Kalau untuk saya pribadi, “selalu menyalahkan Belanda yang menjajah dulu” itu hanyalah bentuk keengganan bertanggung jawab. Tanpa bermaksud melupakan fakta sejarah, tapi come on, kita sudah merdeka ratusan tahun. Masa masih tidak bisa belajar dan menjadikan negara lebih baik? Ya nggak?