Definisi Rejeki (1)

Posted on Maret 18, 2024

0


Beberapa waktu lalu, saya diajak teman baik saya, mbak Erwina Ali, untuk ikut sesi gratis kelas Afirmasi Online. Materinya tentang Rejeki.

Menariknya, ada definisi tentang rejeki, yang sebenarnya sudah sering kita dengar di keseharian dan di ceramah-ceramah, namun mungkin kurang nancep lantaran yang menyampaikan hanya fokus pada ayat-ayat saja tanpa penjelasan yang menarik atau sesuai konteks.

Nah, dalam sesi itu, penjelasan tentang definisi rejeki dibuat lebih clear, yakni bahwa definisi Rejeki adalah: segala sesuatu yang sudah diterima, sudah dimanfaatkan, atau sudah disedekahkan. Di luar itu, berarti bukan rejeki kita.

Contohnya begini:

  • Kita punya 10 rumah, tetapi hanya ada 1 rumah saja yang kita tempati dan manfaatkan, sedangkan yang 9 dibiarkan nganggur. Maka artinya, rejeki kita hanya 1 rumah, sedangkan 9 lainnya bukan. Mungkin itu akhirnya jadi rejeki pak Kebon, instansi pajak yang mungut uang pajak tiap tahunnya, atau yang ngerawat rumah, atau bahkan hantu-hantu yang tinggal di dalamnya, wkwkwkwk….
  • Kita beli baju baru setiap bulan, tapi baju-baju itu nongkrong aja di lemari. Nggak sempat kita pakai, nggak dikasih ke orang lain juga. Maka artinya, itu belum jadi rejeki kita. Kelak, kalau kita mati, maka tidak ada manfaat yang bisa didapat. Kalau baju itu akhirnya diambil orang lain dan dipakai, maka artinya itu rejeki mereka. Kita yang nggak sempat meniatkan itu untuk sedekah atau donasi misalnya, ya gigit jari doang.
  • Kita menikmati udara segar, sinar matahari, sinar rembulan… maka itu rejeki kita. Tetapi, karena kita tak bisa memeluk rembulan atau mencium matahari, wkwkwkwk… boro-boro mau beli keduanya, maka kedua hal itu bukan rejeki kita. Yang kita dapat sebagai rejeki adalah sebatas keindahan, sinar, dan manfaatnya dalam kehidupan.
  • Kita dapat uang, namun karena suatu hal, uang itu lepas dari kita tanpa kita bisa berbuat apa-apa. Misalnya karena dicopet, jatuh, atau hilang lantaran aneka musibah lainnya. Maka, uang itu bukan rejeki kita melainkan rejeki orang lain yang mendapatkannya. Terlepas dari soal apakah mereka mengambilnya dari kita dengan cara baik-baik atau curang.
  • Kita dapat uang, lalu kita tumpuk sampai banyak untuk diri sendiri. Tanpa diputar untuk aktifitas lain yang bisa membantu orang banyak, tanpa dikonsumsi, tanpa disedekahkan, tanpa digunakan untuk menafkahi keluarga, maka itu juga bukan rejeki kita. Nanti kalau kita mati, tumpukan uang itu akan diambil oleh orang lain sebagai rejeki mereka. Sedangkan kita, karena nggak sempat menginvestasikannya dalam bentuk manfaat atau sedekah, maka kita tidak mendapatkan apa-apa darinya.
  • Kita mendapatkan uang, namun dengan cara curang. Misalnya korupsi, menipu, memeras, membohongi customer, melakukan deal dengan niat jahat, dan sejenisnya. Maka, uang itu esensinya juga bukan rejeki kita meskipun jumlahnya banyak. Kelak, itu akan jadi beban.
  • Konsep rejeki bisa berlaku untuk hubungan interpersonal dan pekerjaan. Misalnya tentang rumah tangga, pertemanan, hubungan dengan klien atau customer, dan lain-lain. Jika suasana dalam rumah tangga secara umum berlangsung baik, maka itu rejeki. Jika karena satu hal atau lainnya ternyata harus berpisah atau dalam rumah tangga tidak kondusif, maka artinya rejeki tersebut sudah selesai.
  • Pasangan dan anak adalah rejeki. Mencari nafkah untuk diberikan kepada keluarga juga rejeki. Sedangkan pasangan selingkuh, tentu bukan rejeki, karena termasuk mengambil yang bukan haknya.
  • Rejeki juga bisa berlaku untuk hal-hal yang sering tidak kita sadari. Misalnya, udah daftar webinar tentang Cara Menjadi Kaya, tapi kemudian kelupaan atau tertidur. Maka ilmu tentang cara menjadi kaya itu bukan rejeki kita, wkwkwkwk… demikian pula kalau udah beli kelas online, tapi nggak pernah praktek. Beli buku, tapi tidak pernah dibaca. Beli panci, tapi nggak pernah dipakai masak. Punya waktu untuk menyelesaikan pekerjaan, tapi malah menunda-nunda. Dll. Semua itu baru bisa berubah jadi rejeki jika sudah dilaksanakan.

Yang kurang dari penjelasan narasumbernya adalah tentang Rejeki dalam bentuk musibah. Kalau kita percaya dengan konsep holistik, yakni bahwa segala sesuatu yang datang kepada kita pada dasarnya adalah berkah, maka seharusnya musibah juga dilihat sebagai bentuk rejeki. Banyak orang sukses berbisnis atau mencapai cita-citanya, setelah mereka berhasil mengatasi musibah atau aneka macam hambatan.

Perbedaannya mungkin: jika musibah itu membuat kita menjadi lebih baik dari sebelumnya, maka itu rejeki. Jika sebaliknya, maka itu azab.

Tetapi untuk term azab ini pun, kita musti hati-hati menggunakannya. Meskipun misalnya kita tahu ada seseorang yang justru makin tak keruan setelah ditimpa musibah. Bukannya introspeksi atau belajar dari pengalaman, malah semakin tenggelam berputar dalam emosi negatif.

Itu belum tentu azab. Mungkin bagi ybs, iya. Tapi bagi orang lain, bisa sebaliknya. Bukankah banyak orang dapat rejeki dari mereka yang bermasalah? Misalnya nih yang profesinya terapis, coach, agamawan, polisi, dan sejenisnya. Kalau ada orang yang “kesasar” kayak gitu, bukankah itu juga target utama? Wkwkwkwk….

Sebaliknya, bagi yang dapat musibah, bisa jadi itu cuma soal waktu saja. Setiap orang perlu waktu untuk bisa bangkit, pulih, dan beraktifitas seperti sediakala. Rasa sedih, stres, dan aneka emosi negatif, bisa membuat orang layaknya nyemplung ke dalam kolam yang airnya keruh. Mereka tidak bisa langsung melihat solusinya. Mereka perlu tenang dulu, mengendapkan aneka kecamuk dalam pikiran, dan satu demi satu mengurai benang-benang kusut dalam hidupnya.

Belum lagi kalau kita melihat ini dalam perspektif spiritual. Kita nggak bisa sembarangan melabeli orang ataupun diri sendiri. Setiap ucapan ada efeknya. Setiap perkataan ada konsekuensinya. Jika kita dengan mudah menuduh seseorang terkena azab, maka suatu saat kita bisa juga dikenai azab serupa, sampai kita belajar untuk rendah hati dan mengakui kesalahan kita.

So, daripada label-labelan atau mengukur kadar iman orang lain, cukuplah kita diam atau bantu jika mampu. Cukuplah kita berpikir bahwa sudah untung bukan kita yang dapat musibah. Sebab, tidak semua orang sanggup menanggung “Rejeki” semacam itu.