Mengapa Kita Perlu Memperhitungkan Waktu, Skill, dan Hasil dalam Setiap Pekerjaan (3)

Posted on Mei 16, 2023

0


Saat memilih kerja mandiri (self-employed), saya sering menyaksikan orang perang harga. Seolah tidak ada habisnya orang berlomba menawarkan harga paling murah. Mereka kasak-kusuk mencari info tentang kompetitor, kadang meniru produknya, kemudian menawarkannya dengan harga lebih rendah. Tidak jarang mereka gerilya menghampiri para pelanggan orang lain dan menebar hasutan agar para pelanggan itu mau beralih ke produk mereka.

Saking serunya perang harga, kadang mereka bahkan berani gratis! Saya sampai heran, lha gimana mereka akan mendapatkan income kalau sampai segitunya menurunkan harga. Soalnya saya tidak melihat mereka punya produk lain kecuali yang dijajakan.

Ada juga yang mengagetkan. Yakni, beberapa dari mereka yang menawarkan iming-iming harga murah banget atau bahkan gratis, materinya didapat dari orang lain, hahaha… jadi mereka copas produk orang lain, kemudian ditawarkan dengan harga murah banget atau gratis, plus kadang ditambahi embel-embel “sedekah ilmu”.

Eniwei, itu salah satu kasus saja. Kasus banting-bantingan harga yang lain, kebanyakan berasal dari penawaran yang sifatnya tunggal. Misalnya begini: orang cuma jual kacang ijo, dan jualnya di pasar di mana banyak sekali orang yang menawarkan produk serupa, yakni kacang ijo. Jadi produknya jatuh ke kategori komoditi.

Kalau produk kita sudah jatuh ke sektor komoditi, dan kita tidak punya penawaran lain atau strategi branding yang tepat, juga tidak punya audiens yang tepat, maka sudah pasti kita akan jatuh ke perang harga juga. Dan hasilnya, sudah jelas income turun. Tenaga dan pikiran keluar lebih banyak, dan dalam jangka panjang itu akan menguras ketahanan fisik dan mental kita. Akibatnya, kita akan terkena kelelahan yang lazim disebut dengan burnout.

Burnout itu ibarat lilin yang dibakar di dua sisi. Memang jadinya lebih terang, namun padamnya juga lebih cepat dibandingkan lilin yang dibakar biasa. Cost-nya otomatis juga jadi lebih besar, karena lilin habis lebih cepat. Nah, kalau kita memaksakan diri mengambil langkah singkat untuk menang dari kompetitor dengan cara menawarkan harga lebih murah, ya kita seperti lilin tadi. Kita bisa kehabisan energi dengan cepat, dan akibatnya, kinerja bisa menurun atau emosi jadi naik.

Bersaing dengan kompetitor dari soal harga, bisa berbalik menghantam diri sendiri. Sebab, meskipun semua orang pada dasarnya suka jika diberi diskon, namun tidak semua orang berminat dengan harga murah.

Harga murah itu punya jebakannya sendiri. Ia bisa menarik customer yang lebih sulit dipuaskan, lebih banyak problemnya, dan lebih cekak finansialnya. Masih mending jika mereka punya problem banyak, tapi punya sumber dana lebih yang bisa digunakan untuk membayar kompensasi waktu yang Anda sediakan bagi mereka. Bagaimana jika problemnya udah banyak, kantongnya cekak, dan kemampuannya juga cekak? Bikin capek aja, kan?

Bersaing di harga murah juga mempersulit ruang gerak Anda. Apalagi kalau yang menggunakan strategi itu adalah kompetitor yang jauh lebih besar. Anda bisa gulung tikar jika tidak segera mencari strategi alternatif.

Dulu saya mengalaminya ketika pertama kali jualan buku di Amazon, sekitar tahun 2007-2008. Waktu itu, saya masih menggunakan Amazon untuk urusan penjualan buku bekas. Saya membeli buku-buku bekas yang kondisinya masih sangat bagus di beberapa perpustakaan lokal atau garage sale, kemudian menjualnya di Amazon.

Awalnya lancar. Kemudian, lama-kelamaan perang harga dimulai. Buku serupa ditawarkan oleh vendor lain dengan harga lebih murah. Akibatnya, saya harus menyesuaikan harga juga. Kemudian, makin lama mereka menawarkannya makin murah, bahkan sampai gratis dan cuma bayar ongkos kirim saja. Wah, saya tentu nggak bisa dapat untung kalau caranya begini, sekalipun reputasi sebagai seller sangat bagus.

Saya cari informasi bagaimana cara vendor-vendor itu mendapatkan untung dengan harga semurah itu. Ternyata, mereka adalah vendor kelas kakap. Sekali kulakan buku, langsung satu truk atau satu kontainer. Jadi mereka sudah dapat untung dari situ. Sisanya, jika ada yang tak segera terjual, langsung mereka banting harganya agar gudang segera kosong. Nah, kebetulan buku-buku yang saya jual dulu itu termasuk kategori sisa di mereka. Sehingga, tentu saja gampang buat mereka untuk menghabisi vendor lain dengan modal buku sisa yang dijual nyaris gratis itu.

Akhirnya, saya berhenti sebentar dan mengamati lagi jenis-jenis buku yang laris terjual di Amazon dan yang harganya stabil. Sebab, tidak mungkin saya bersaing dengan para vendor kakap tadi. Jalan satu-satunya adalah mencari celah di mana pemain kelas teri kayak saya bisa survive.

Setelah beberapa lama, saya menemukan celah berupa buku diktat kuliah dan buku langka. Kedua jenis buku itu harganya tinggi, relatif stabil, dan untungnya berlipat ganda. Buku diktat kuliah umumnya mahal, dan vendor jelas rugi jika harus banting harga. Demikian pula buku langka. Salah satu toko buku tertua di Detroit (pernah masuk dalam daftar toko buku terbaik di dunia karena koleksi langkanya), bisa menjual buku-buku langka dengan harga sampai ribuan dollar.

Itulah pertama kalinya saya belajar tentang niche, market, value, dan positioning. Kalau kita jeli menempatkan positioning dan berhasil mendapatkan produk yang mengena banget, kita bisa survive dan sukses sekalipun berada di antara para raksasa. Kita tidak perang harga dengan mereka atau sengaja face-to-face berhadapan dengannya.

Hal serupa bisa kita lihat di AirBnb. Jenis bisnis AirBnb adalah hospitality. Namun, ia tidak bersaing face-to-face dengan jaringan hotel internasional seperti Hilton dan sejenisnya. Ia menyediakan alternatif penginapan yang terjangkau, bervariasi, privat, homely, dan bisa diikuti oleh pemain “biasa” dengan modal properti yang mereka miliki. Ini adalah ceruk yang sulit dimasuki oleh para raksasa, dan AirBnb tidak perlu punya properti sendiri. Ia hanya perlu mengundang para pemilik properti untuk menawarkan jasa penginapan kepada konsumen, dan memastikan setiap aktifitas transaksi maupun interaksi antara pemilik properti dan konsumen bisa berjalan lancar.

Sama dengan dunia menulis. Kalau yang diandalkan hanya satu atau dua keahlian tanpa membangun value, market, dan positioning, maka rawan sekali terjebak perang harga dan saling intip di medsos. Not worth your time.

Diversifikasi value dan branding juga perlu dibangun. Seperti contoh kacang ijo tadi. Kalau cuma dijajakan kiloan, ya harganya murah. Tapi coba luangkan waktu sedikit saja untuk menyeleksi biji-bijinya. Pilih biji yang paling bagus dan gemuk, lalu bungkus dengan kemasan yang cakep. Jajakan itu sebagai produk premium ke orang-orang yang high standard. See? Modalnya tidak perlu banyak. Cukup dengan sedikit tambahan waktu dan biaya kemasan. Nggak perlu perang di harga murah melulu. Konsumen terbantu dengan produk yang udah terseleksi banget, plus kebutuhan value mereka terhadap barang berkualitas terpenuhi. Anda pun dapat untung lebih banyak.

Belum lagi kalau Anda bisa menciptakan produk lain yang diminati, dengan tambahan sedikit saja. Contohnya, bikin kolak kacang ijo kalengan. Saya pernah mencicipi produk ini dari Indonesia. Kolak kacang ijonya dijual di Amrik dengan harga sekitar 3 dollar per buah. Isinya miniiimm… sih. Seuprit. Cuma kacang ijo, santan, gula, dan beberapa iris pisang serta ubi yang kecil-kecil. Rugi sebenarnya beli ini. Kalau bikin sendiri, dengan modal 6 dollar aja saya bisa bikin sepanci kolak kacang ijo. Namun buat orang yang males masak atau tidak punya waktu, pilihan ini lumayan membantu mengobati rasa kangen pada kolak.

Produk murah atau gratisan jangan dijadikan menu utama untuk sumber penghasilan Anda. Jadikan itu sebagai paket awal saja, dan targetkan menjaring sebanyak mungkin customer. Sebab, untuk bisa mencapai target income yang Anda harapkan, harus ada yang mau beli produk murah Anda sebanyak mungkin. Contohnya, target income 5 juta, dan harga produk 50 ribu per buah. Maka Anda harus bisa cari pembeli sebanyak 100 orang.

Kalau nggak bisa, maka buatlah produk kelas menengah dan premium. Tawarkan pada pangsa pasar yang lebih tinggi daya belinya. Dengan cara ini, Anda bisa mencapai target 5 juta lebih cepat.

Itu saja sebenarnya konsepnya.

Kesalahan yang sering saya lihat pada pemain yang keteteran di perang harga adalah: mereka tidak punya diversifikasi dan takut untuk melompat keluar dari zonanya. Padahal zonanya tidak lagi profitable. Value gitu-gitu aja. Ceruk pasar gitu-gitu aja. Mindsetnya ya gitu-gitu aja. Plus ada kecenderungan mereka sendiri juga memilih upgrade diri dengan harga murah atau gratisan. Terlalu sering minta saran ini-itu gratisan dan mengharap dimaklumi. Kalimat yang paling sering diucapkan antara lain: “Saya sebenarnya pengen ikut kelasnya, tapi tidak punya uang. Gimana, ada saran?” Wkwkwkwk… Padahal yang namanya ilmu, ada harganya. Nah, kalau mentalnya sendiri juga maunya gratisan, ya gimana dong?