
Salah satu kenalan saya curhat bahwa ia galau. Ia diminta untuk mengelola sebuah komunitas (gratisan tentunya). Namun ketika ia sendiri mulai berkembang kapasitas dan namanya, tiba-tiba ia disingkirkan oleh owner komunitas itu. Misalnya diabaikan, diketusi, dipertanyakan kewarasannya, ditertawakan di belakang, dan lain-lain. Alhasil, ia menderita tekanan batin.
Awalnya ia berusaha positive thinking, dan berusaha memperbaiki hal-hal dalam dirinya yang menurutnya kurang sempurna. Introspeksi, istilahnya. Ia menganggap bahwa segala sindiran dan perlakuan si owner maupun member komunitasnya itu adalah karena kesalahannya.
Namun makin lama, ia makin depresi dan motivasi untuk berprestasi mulai teralihkan ke keinginan untuk membuktikan pada owner dan member komunitasnya bahwa ia tidak seburuk yang mereka duga. Ia ingin membuktikan diri bahwa ia memang benar-benar bisa berprestasi sekalipun orang lain mencibir, dan ia ingin mengubah penilaian orang lain terhadap dirinya. Itu saja yang terus-menerus dia ucapkan.
Di titik ini, saya bilang padanya, “Tinggalkan komunitasmu itu. Waktu dan kesehatan mentalmu jauh lebih berharga. Lebih baik kamu mencurahkan waktu untuk komunitas lain yang bisa mendukung dan membuatmu nyaman dengan dirimu sendiri.”
Ada lagi satu kenalan yang curhat dengan kasus serupa, yakni mengelola sebuah komunitas online. Berbayar sih, meskipun minim banget. Ia menyambut tawaran itu dan mendedikasikan waktu serta perhatian dengan sungguh-sungguh. Namun kemudian ia kelelahan. Sejumlah bisnisnya mulai terbengkalai. Ia mulai curhat dan meminta pertimbangan tentang apakah dia perlu ganti pekerjaan atau mencari proyek lain yang memberikan hasil lebih besar.
Saya bertanya padanya, apa saja sumber income yang dimilikinya, dan berapa banyak alokasi waktu yang ia dedikasikan untuk setiap sumber income tersebut.
Mengapa saya bertanya demikian? Sebab, saya melihat ia berdedikasi banget. Rajin posting, memotivasi, menggalang partisipasi member, menanyakan kabar mereka, dan lain-lain. Dengan dedikasi sebesar itu, tentunya ia dapat banyak manfaat, dong. Juga, tentunya ia bisa mengembangkan bisnis onlinenya. Sebab, bisnis online itu kan modalnya adalah familiarity dengan audiensnya. Semakin seseorang populer dan dikenal keahliannya, semakin ia berpeluang besar untuk monetisasi.
Ternyata, setelah saya tanya, dedikasinya mengelola komunitas online itu tidak berdampak positif pada tingkat income dia. Justru sebaliknya. Perbandingannya demikian: Ia hanya menghasilkan sekitar 5-6% income dari komunitas online ini, padahal tiap pagi dan sore ia memikirkan konten yang akan diposting dan mengelola segala tetek-bengek urusan komunitas. Sementara itu, ia punya pekerjaan online lain yang menghasilkan 80% income, dan bisnis sampingan yang menghasilkan 10-15% tambahan meskipun dikerjakan sesempatnya.
Saya tentu saja terperanjat. Tidak seharusnya hal yang seminim itu diberi jatah perhatian optimal. Seharusnya, kita menaruh 80% perhatian dan dedikasi kita untuk sumber terbesar income, kemudian baru memberikan sisanya untuk hal-hal kecil lainnya, semisal mengelola komunitas tadi. Inget banget kan, dengan Hukum Pareto? Prinsip 80/20 itu, loh. Kita berikan 80% perhatian untuk hal yang jadi prioritas utama, dan 20% sisanya untuk lain-lain.
Usut punya usut, ternyata sumbernya menurut saya adalah karena ia terbawa rasa takut. Ia takut bahwa income pengganti sulit diperoleh kalau ia meninggalkan komunitas tersebut. Ia berharap bahwa suatu saat ia bisa mendapatkan proyek atau klien baru. Well, to be honest, saya tidak melihat ada peluang seperti itu tersedia untuknya di situ. Sebab, tugasnya hanya sebagai admin, dan admin di manapun memang tidak diperkenankan mengiklankan bisnis mereka di komunitas milik klien. So, ya ini termasuk aktifitas yang boncos, memang. Boncos, artinya jadi sumber kebocoran karena lebih besar modal daripada hasil. Ia bekerja sangat keras, sementara bayaran yang diterima sangat tidak layak.
Pertanyaannya sekarang: kok bisa, sih?
Eh, banyak loh kasus seperti ini, yang sumber penyebabnya berawal dari rasa takut.
Ketergantungan emosional memang bisa melumpuhkan. Kalau kita udah ngerasa takut, cemas, dan dihantui bayangan bakal tidak bisa survive kalau melepaskan diri dari suatu hal, kemudian memilih tetap di situ dan berharap suatu saat dunia akan berubah, maka itulah ketergantungan emosional yang tak sehat. Rasa takut itu yang menghalangi kita untuk melihat FAKTA bahwa diri kita berharga dan bisa mendapatkan hal lain sesuai dengan keinginan kita.
Seperti contoh kasus ini. FAKTA berbicara dengan nyaring sekali bahwa keahliannya sangat berharga. Buktinya, ia bisa mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan income jauh lebih besar. Artinya, keahlian dia ya sebenarnya dihargai setinggi itu. 80% itu tidak main-main, loh. Bisa menghasilkan income minimal 8 juta per bulan dari satu pekerjaan dengan ukuran standar UMR di Indonesia, itu luar biasa, bukan?
Tetapi, karena rasa takut tadi, ia justru mendedikasikan diri sepenuh hati untuk pekerjaan yang hanya memberinya income 100 – 300 ribu per bulan plus menggeh-menggeh karena kecapekan. Self worthy-nya jadi ikut rendah, karena ia berada di tempat yang kurang menghargai skill dan waktunya.
That’s how powerful the emotion is. Emosi kita begitu kuat mempengaruhi setiap perilaku kita. Ini yang perlu dibereskan.
Jadi, saya menyarankan padanya untuk ambil jeda dulu dari aktifitas komunitas. Take a break, kemudian fokus pada sumber income terbesar dan mencari peluang tambahan lain yang hasilnya sesuai. Dengan keahlian yang sudah terbukti, insyaallah dia bisa mendapatkannya. Dia sudah membuktikan diri bisa mendapat pekerjaan layak. Tentunya, kalau mau fokus dan berusaha mengurangi ketergantungan emosional tadi, dia juga bakal bisa mencari klien yang menghargai skill dan waktunya dengan layak.
Rejeki itu selalu searah dengan kapasitas dan keyakinan terhadap diri sendiri. Income akan bertambah jika kita terus upgrade diri. Income juga akan bertambah jika kita percaya bahwa skill, waktu, dan dedikasi kita layak dihargai.
Apakah kita tidak boleh aktif di komunitas?
Tentu saja boleh. Saya tidak melarang, bukan? Di jaman yang serba digital seperti sekarang, komunitas online itu aset. Tetapi… ada tapinya, nih. Perhitungkan waktu dan outputnya. Jika itu gratisan atau hanya untuk amal, maka lakukan di sela-sela waktu yang tersedia. Jangan sampai malah mengambil jatah pekerjaan utama. Sebab, goal utama dalam mencari rejeki itu adalah untuk menghidupi keluarga dulu dengan layak. Itu prioritas.
Kedua, pertimbangkan untuk monetisasi, jika tujuan nyemplung ke komunitas itu adalah untuk mencari rejeki tambahan. Kalau tidak ada strategi monetisasi, jadinya nanti boncos lagi.
Monetisasinya gimana? Yang pertama, kudu ada benefit jelas yang bisa jadi peluang meningkatkan income. Atau, jika pilihan itu tidak ada karena larangan promo produk sendiri misalnya, maka alternatifnya adalah mengajukan tarif jasa sebagai admin. Jadi, tidak lagi jadi admin gratisan atau bertarif rendah.
Demikian postingan kali ini. Besok, insyaallah akan saya sambung dengan topik tentang perang harga.
Posted on Mei 13, 2023
0