Senja tadi aku terbangun tiba-tiba. Seperti ada orang yang berbaring di sebelahku dan menatapku. Namun ia tak ada ketika aku membuka mata. Hanya aroma harum bunga bercampur wangi lembut lainnya yang tertinggal, mengambang di atas peraduanku.
Aku memutuskan untuk turun dan membuka tirai jendela. Di luar masih mendung. Aspal, pohon dan rerumputan basah tersiram gerimis. Aku menghirupnya dalam-dalam, dan pikiranku mengarah pada sebuah tempat yang sejak lama ingin kukunjungi, yakni petilasan St. Catherine of Alexandria di Gurun Sinai.
St. Catherine of Alexandria adalah salah satu figur penting dalam agama Nasrani. Ia tergolong “Saint” alias orang suci yang menjalankan misi sebagai penjaga agama. Kalau dalam khasanah Islam di Indonesia, yang termasuk golongan orang suci ini di antaranya adalah Walisongo serta sejumlah kyai sepuh lainnya yang kudengar memiliki misi dan kewaskitaan serupa.
St. Catherine dulunya adalah putri seorang pembesar kerajaan. Lahir tahun 287 di Alexandria, dan wafat tahun 305 di usia yang sangat belia, yakni 18 tahun. Ia cerdas, terdidik, cantik, pandai berpidato, berbakat musik terutama main harpa, dan menarik perhatian banyak pembesar maupun raja. Rambutnya hitam legam bergelombang. Raut wajah dan posturnya khas orang Palestina atau Israel.
Di usia 14 tahun, St. Catherine dihampiri visi tentang Bunda Maria alias Maryam (ibunda Nabi Isa) yang sedang menggendong bayi Yesus (Nabi Isa). Saat melihat dua sosok tersebut, ia memutuskan mengabdikan diri sepenuhnya sebagai biarawati.
Semasa hidupnya, St. Catherine banyak menyaksikan kekejaman raja Maxentius. Raja lalim itu banyak memburu orang-orang Israel yang pindah agama menjadi Nasrani, kemudian membunuhnya. Maxentius sendiri adalah penganut paganisme, dan ia ingin agar orang-orang kembali ke kepercayaan lama.
St. Catherine tidak tahan melihat itu, dan ia memprotes sang raja. Karena protesnya, raja Maxentius memanggil 50 cendekiawan dan ahli orasi terbaik untuk berdebat dengan St. Catherine. Di luar dugaan, St. Caherine dengan sangat fasih mampu menjelaskan tentang keyakinannya dan sekaligus mematahkan argumen para cendekiawan itu. Saking fasihnya, justru para cendekiawan tersebut kemudian beralih menjadi penganut Nasrani. Bahkan konon permaisurinya sendiri juga pindah agama. Itu mengundang kemurkaan Maxentius yang kemudian memutuskan membunuh semua cendekiawan itu.
Maxentius belum berputus asa. Ia membujuk St. Catherine untuk meninggalkan agamanya, dengan iming-iming akan dijadikan permaisuri. Namun St. Catherine kukuh dengan pendiriannya. Ia menolak lamaran Maxentius dan berkata bahwa hidupnya sudah diserahkan 100% untuk mengabdi kepada Yesus.
Sang raja bertambah murka. Ia memerintahkan aparatnya untuk menghukum mati St. Catherine, dengan cara digencet oleh dua roda besar berduri. Namun ketika roda-roda itu hendak menghimpitnya, St. Catherine menjentikkan jari, dan kedua roda itu pecah berantakan. Melihat itu, Maxentius kemudian memerintahkan agar St. Catherine dipenggal.
Saat dipenggal, kembali keajaiban terjadi. Darah yang mengalir dari tubuh St. Catherine berwarna putih, dan mengeluarkan aroma yang sangat harum. Jenazahnya kemudian diangkat oleh malaikat dan dibawa terbang ke gunung Sinai untuk dikebumikan.
Ruh St. Catherine pernah mendatangi Joan d’Arc, pahlawan perempuan dari Perancis, yang kemudian mengilhaminya untuk melaksanakan misi membebaskan Perancis dari kungkungan Inggris. Saat itu, ruh suci St. Catherine bersama St. Margaret dan malaikat Mikail mendatanginya dan memerintahkannya untuk mendukung raja Charles VII dalam perang. Joan d’Arc kemudian tertangkap dan gugur di usia 19 tahun.
Menurut sejumlah peziarah atau pejalan spiritual yang pernah kutemui, konon ruh St. Catherine ini masih sering menyambangi biara St. Catherine di lembah Sinai. Biara itu dulunya dibangun sebagai penghormatan dan peringatan atas wafatnya tokoh suci ini. Masyarakat Muslim sangat kenal dengan biara tersebut, karena Nabi Muhammad dulu sering bertandang ke sana untuk berdiskusi dengan para biarawan. Bahkan Nabi Muhammad mengirim surat dengan stempel telapak tangannya, sebagai deklarasi bahwa Muslim melindungi tempat itu beserta para penganut Nasrani yang menjadi jamaahnya. Surat itu sekarang disimpan di museum Turki.
Dari para peziarah itu, aku jadi tahu bahwa mereka mengenali kehadiran ruh St. Catherine melalui aroma wangi yang khas. Aroma darah suci dari tubuh St. Catherine, yang harum seperti bunga-bunga musim semi bercampur dengan aroma buah peach dan rumput basah. Sesekali aroma itu beredar di sekitar sungai Nil, Eufrat, atau Tigris, di mana terkadang bunga-bunga liar dan rumput tumbuh di luar musimnya. Mereka yang sangat peka secara spiritual, terkadang bisa mendengar alunan harpa lembut di sepanjang sungai, menemani kupu-kupu kecil dan capung yang hinggap dari bunga ke bunga.
Kisah tentang harum bebungaan ini yang membuatku begitu ingin berziarah ke biara tersebut. Tempat itu unik karena di dalamnya juga ada pohon semak yang dulu terbakar ketika Nabi Musa mendapat wahyu di gunung Sinai. Selain itu, ada pula sumur tempat Nabi Musa bertemu dengan kedua putri Nabi Syu’aib (Atau dikenal juga dengan nama Jethro) yang kelak menjadi istrinya. Kata orang, di dalamnya ada ruang tempat menyimpan gandum dan susu yang selalu penuh, yang menjamin kecukupan makanan buat para biarawan di tempat itu.
Semoga suatu saat, ada rejeki bagiku untuk berkunjung ke sana. Aamiiin.
Posted on November 3, 2021
0