80 Persen Penulis Baru Tidak Bisa Menyelesaikan Naskah Tepat Waktu. Mengapa?

Posted on November 4, 2021

0


Di linimasa, banyak orang lagi mengolok-olok kelas menulis yang menjanjikan pesertanya bisa menulis buku dalam waktu satu jam, satu hari, dan aneka “satu” lainnya.

Ya memang ajaib juga sih, kelas-kelas semacam itu, hehehe…. Di saat banyak penulis lain yang berusaha bikin dunia literasi Indonesia bertambah baik dan sehat, di sisi lain ada sebagian “penulis” yang cuma bermodal keajaiban model begini. Memanjakan selera ekspress, yang masih sejalur dengan “ingin kaya dalam 30 menit” … “ingin jadi jutawan dengan modal nol dan tanpa kerja keras”… “ingin pintar bahasa asing dalam waktu tiga hari”… dan semacamnya. Ditambah lagi dengan kosakata yang super wah, mendewa-dewakan istilah “internasional”… “jenius”… dan segala macam kombinasi istilah dewa lainnya.

Saya nggak akan berbasa-basi untuk soal ini. Jika mendapati kelas atau pelatihan menulis semacam ini, tinggalkan jauh-jauh. Sebab, hanya orang yang mau dibodohi atau suka membodohi orang lain, yang menggemari hal-hal kayak ini. Sedapat mungkin, jadilah bagian dari masyarakat yang mau membuat keadaan menjadi lebih baik, bukan malah menjerumuskan. Apalagi jika ditambah dengan label atau kemasan agamis. Itu luar biasa bobrok dan kejinya, karena turut membuat agamanya menjadi bahan tertawaan. Katanya nggak mau agamanya direndahin, tapi kok tingkahnya kayak begini?

Kembali ke soal nulis buku super kilat tadi. Sebenarnya, secara jujur, mungkin nggak sih seseorang menulis buku dalam waktu sangat cepat? Seberapa cepat rekor menulis buku?

Nah, ini. Kalau rekor, saat ini yang tercatat di Guiness World Records adalah satu tim penulis novel yang terdiri dari 53 penulis dan akademisi, yang barengan menulis satu novel dalam waktu 9 jam, 5 menit, 8 detik. Ini di Rumania. Dalam waktu 9 jam, mereka merumuskan ide novel, membuat karakter, plot, dan sebagainya, lalu menulisnya. Setelah itu, naskah diedit, dibaca ulang, dan dicetak. Total buku yang dicetak adalah 1.000 eksemplar, 380 terjual langsung dan sisanya dijual melalui ritel dan toko online.

Di Indonesia bagaimana?

Well, tidak ada catatan rekor jelas. Tapi dari kasak-kusuk di linimasa, beberapa penulis menyatakan sanggup menyelesaikan satu naskah buku dalam waktu kurang dari seminggu. Itu pun dengan catatan, bahan untuk naskahnya sudah ada. Tinggal merombak atau meneruskan. Jadi bukan murni nulis dari awal hingga akhir.

Kalau dari pengalaman pribadi saat menjadi mentor menulis (baik ketika masih memandu Sekolah Perempuan maupun kelas privat), saya mendapati bahwa mayoritas penulis baru tidak sanggup mematuhi deadline. Padahal jangka waktu yang disediakan adalah 30 hari. Itu masih termasuk normal, dan masih ditambah dengan keleluasaan untuk memperpanjang waktu penulisan menjadi sebulan lagi, dua bulan lagi, bahkan ada yang tahunan. Nyatanya, sebanyak dan selonggar apapun waktunya, tetap saja banyak yang kesulitan. Boleh dibilang 70-80% tidak bisa memenuhi tenggat waktu.

Mengapa jadi demikian?

Penyebab yang sudah jelas adalah: kemampuan menulis yang belum terasah. Menulis adalah skill. Semakin sering dilatih, semain cepat dan berkualitas tulisannya. Semakin sering membaca buku, semakin banyak kosakata yang dimiliki, semakin kaya isi tulisannya.

Penyebab kedua, adalah kemampuan riset yang lemah. Lemah banget. Ini memang merata. Daya literasi masyarakat kita memang rendah. Nggak usah didebat, wakakak… di manapun itu bisa kita lihat. Apalagi belakangan ini. Yang lebih dipercaya dan lebih sering dibaca adalah forward di grup-grup, ketimbang membaca dan menalar sumber asli referensi. Kalau urusan berselancar, pakai medsos, Indonesia termasuk jagoan. Selalu masuk 5 besar pemakai medsos terbanyak di dunia. Tapi urusan gugel informasi, byuhh… nol besar.

Penyebab ketiga, adalah karena sunnatullahnya buku itu sendiri. Nulis buku itu tidak semudah nyambit mangga milik tetangga. Di dalamnya ada aturan, nalar, kebiasaan, perencanaan, editing, baca ulang, passion, dan sebagainya. Itu bukan pekerjaan sederhana. Anda percaya itu semua bisa dicapai hanya dalam waktu satu jam saja? Nggak mungkin, kan?

Penyebab keempat, adalah karena tidak cukup motivasi dari si penulis sendiri. Selalu ada alasan, selalu ada hal lain yang dianggap lebih penting, sehingga urusan menyelesaikan buku menjadi nomor ke-1.000. Padahal kalau memang mau beneran jadi penulis, pasti akan bersedia untuk menyisihkan waktu, semepet apapun itu, untuk menulis. Bukan sebaliknya, menunggu waktu luang, baru nulis buku. Itu tidak akan tercapai. Percayalah.

Kelima, karena penulis baru rata-rata masih belum matang visi dan alasan mereka dalam menulis buku. Mayoritas masih terdorong oleh rasa ingin menjadi seperti temannya yang sudah sukses duluan. Kalau yang ini menurut saya masih oke, karena tidak semua orang bisa melihat jelas tujuan hidup mereka. So, okay, no problem. Take your time, keep fighting.

Keenam, mereka mengira bahwa menulis adalah jalan keluar untuk semua masalah yang melilit mereka. Padahal belum tentu. Adakalanya yang mereka butuhkan sebenarnya adalah pekerjaan permanen dulu, bukan menulis dan langsung mengharapkan jadi best-seller dan menghasilkan jutaan rupiah. Ada yang sebenarnya butuh bantuan psikiater, bukan menyembuhkan diri sendiri melalui tulisan. Ada pula yang butuh mediasi dalam mengatasi konflik interpersonal, bukan menulis di blog atau antologi misalnya. Menulis hanyalah salah satu pintu untuk mencari ilham atau jalan keluar, bukan jalan utama. Kalau seseorang luput memperhatikan itu, maka ia hanya akan membebani dirinya sendiri, dan akhirnya sangat mudah kehilangan motivasi.

Menulis itu, hmm… pekerjaan yang gampang-gampang susah. Gampang, kalau sudah tahu tekniknya. Apalagi sekarang fasilitas penerbitan mandiri sangat menjamur. Setiap orang bisa menerbitkan buku, apapun kualitasnya. Setiap orang bisa menjual bukunya, dan tidak masalah mau buruk atau bagus, karena marketing atau sales itu adalah urusan gimana kita bisa meyakinkan orang lain untuk beli, bukan urusan kualitas beneran. Menulis itu jadi susah, kalau kita nggak jelas maunya apa, passionnya gimana. Apa yang hendak dicapai dengan menulis? Apakah ini menimbulkan kebahagiaan, atau justru rasa terbebani? Nulisnya dalam rangka untuk keperluan pribadi, atau untuk menangguk untung milyaran? Untuk hiburan, atau untuk menyambung hidup? Dan sebagainya. Semua kudu jelas, jika ingin lancar menyelesaikan penulisan buku.

Menulis itu sebenarnya pekerjaan yang sangat enak, rewarding, dan menimbulkan rasa puas. Tapi tak semua orang mau menjalani prosesnya. Ya seperti umumnya, jauh lebih banyak orang berangan-angan jadi penulis ketimbang menjalaninya. Dan merekalah yang nanti menjadi mangsa empuk dari kelas-kelas menulis kilat yang menjanjikan hasil bodong.

Jadi, sekali lagi, jangan mau jadi penulis yang gampang dikadalin.

Ditandai:
Posted in: Writing Tips