Debunk, Demystifying, and Becoming Whole

Posted on Maret 20, 2020

0


original

Tempo hari ada yang bertanya, “Apa mbak langsung percaya dengan segala sesuatu yang dikatakan oleh para non-manusia itu?”

Jawab saya, “Tidak. Saya selalu cross-check dengan sumber lain.”

Cross-check sangat penting, dan bisa membantu untuk “debunk”, alias membongkar alasan di balik setiap ketidakkonsistenan. Sebab, tidak semua informasi yang disampaikan non-manusia itu valid. Banyak yang ngibul, menipu, dan menyesatkan. Itu sebabnya, saya tidak menganjurkan untuk langsung percaya begitu saja dan menganggap kaum mereka sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Banyak informasi yang saling bertolak belakang, penuh lapisan akal-akalan. Jangankan kepada manusia. Antar mereka sendiri pun juga bisa saling mengibuli, mengakali, atau mencelakai demi mencapai tujuan.

Beberapa kali saya tertipu. Bahkan hingga saat ini, masih saja saya temukan berbagai bentuk muslihat baru. Perlu waktu cukup lama untuk mengenali polanya, dan memastikan bahwa informasi yang saya peroleh adalah benar. Itulah sebabnya, cross-check itu perlu.

Mungkin ini yang menyebabkan banyak orang tidak mau membicarakan ini secara terbuka. Sebab ada resiko itu terlihat konyol di mata orang lain. Tetapi saya mengganggap, ada perlunya juga ini dibicarakan. Agar sesuatu yang sebenarnya normal, tidak lagi dipandang abnormal.

Demystifying, membongkar selubung yang seolah-olah rahasia dan tak terjangkau, agar menjadi biasa kembali. Persis seperti masa lalu, saat di mana tak ada tirai yang memisahkan antara manusia dengan ciptaan Tuhan yang lain. Saat manusia bisa melihat para raksasa secara langsung. Melihat monster, humanoids, aliens, dewa-dewa, peri hutan, peri laut, arwah, dan berinteraksi dengan wajar tanpa harus merasa heran atau ketakutan saat ada makhluk bertelinga panjang hingga ke tanah, atau makhluk yang mengenakan baju logam sepanjang hari.

Demystifying juga perlu, agar orang tidak lagi selalu mengasosiasikan penglihatan tertentu sebagai mistis yang tak layak dibicarakan. Bukankah ini yang justru menghambat pemahaman kita sendiri? Ada orang melihat hantu, lalu dibilang tahayul. Ada orang melihat monster, dibilang halusinasi. Kemudian para hantu dan monster itu diabadikan dalam cerita yang seram-seram, menakutkan, dan jadi ramuan tayangan televisi yang tidak jelas juntrungannya. Padahal banyak sekali dari non-manusia itu yang perannya sangat vital dalam kehidupan di planet Bumi, termasuk dalam soal menjaga ekosistem. Semisal peri hutan yang menjaga mata air, membantu penyerbukan, membantu tanah agar tetap subur, dan sebagainya.

Saya termasuk orang yang menolak untuk percaya, pada awalnya. Meskipun melihat dengan mata kepala sendiri, berulangkali saya memilih untuk mengabaikan dan menganggap itu tak sepenting urusan lain yang lebih nyata. Hingga kemudian berkali-kali itu terjadi, dan mau tidak mau, saya ditantang untuk memperhatikannya.

Ada kawan yang bilang bahwa setiap orang akan diuji sesuai dengan hal yang sering dibicarakannya. Ia berkata pada saya, “Kamu sering ngomong tentang menjadi diri sendiri. Mempromosikan personal branding. Mendorong orang lain agar mau tampil sesuai jati dirinya. Sekarang, beranikah kamu mengakui sisi lain dari dirimu, yang selama ini kamu sembunyikan?”

Akhirnya, saya terdorong untuk menggarap ini sebagai bagian dari laku hidup. Salah satunya dengan cara berbagi di blog ini, dan bercerita tentang satu-dua proses yang saya jalani.

Hasilnya ternyata tak mengecewakan. Meskipun selama beberapa tahun mengalami banyak konflik, jatuh-bangun, dan marabahaya ketika melakukan eksperimen dan observasi terhadap topik yang satu ini, namun ujung-ujungnya, semua membantu saya untuk lebih paham tentang diri sendiri.

Yang banyak diuntungkan dalam proses ini, adalah saya. Yang dibongkar sebenarnya bukan mereka. Saya justru banyak membongkar ketidakjujuran saya sendiri, sikap arogan, ketamakan yang tersembunyi, rasa iri, dan aneka lintasan pikiran yang negatif.

Mereka adalah cermin yang memaksa kita agar mau melihat ke dalam diri sendiri. Semisal saat berpikir tentang Lilith, ternyata yang saya dapati tak hanya tentang kisah hidupnya yang memilih mbalelo pada Tuhan. Juga tak hanya tentang anak buahnya, seperti kuntilanak, setan banaspati, succubus-incubus, dan dukun perempuan. Saya juga menemukan bahwa ternyata ada unsur dalam diri saya sendiri yang potensial untuk dieksploitasi olehnya, yakni berupa rasa kecewa dan marah karena urusan cinta, rasa bersaing dengan sesama perempuan, dan segala pengalaman masa lalu yang saya anggap layak jadi alasan untuk tak toleran. Semua adalah pintu masuk bagi Lilith dan anak buahnya untuk menggoda.

Itulah yang membuat saya akhirnya mau mengakui sisi gelap dalam diri sendiri, dan memilih untuk melepasnya. Untuk let go. Menerima setiap pengalaman hidup, terutama di masa lalu, dengan hati lapang dan melepasnya pergi. Pahit atau pun manis, tak lagi relevan. Duka cita dan kesedihan, tak lagi dibicarakan. Demikian pula dengan dendam. Semua harus dilepas, agar tak jadi jalan masuk bagi keburukan yang lebih besar.

Demikian pula dengan lintasan perjumpaan yang lain. Saya mendapati bahwa memang tak ada yang mutlak hitam putih di dunia, kecuali pengakuan terhadap Tuhan. Setiap makhluk, terkutuk atau terpuji, punya fungsi masing-masing dan menjadi bagian dari keseimbangan Semesta.

Pernah suatu saat, saya mempertanyakan di mana letak keadilan Tuhan, ketika ada korban pelecehan seksual yang tak mendapat keadilan, semata-mata karena pelakunya bisa menyuap hakim agar si korban tak bersuara.

“Adil menurutmu yang bagaimana?” tanya guru spiritual saya.

An eye for an eye,” jawab saya tegas, “karena kalau tidak, nanti sang korban akan merasa sakit hati dan kelak ia akan balas dendam pada orang lain.”

“Hmm,” guru spiritual saya bergumam pendek. “Seperti ini maksudmu?”

Pada saat itu, yang diperlihatkan pada saya justru lebih menakutkan. Sang pelaku yang bebas dari ancaman hukuman penjara, ternyata dihukum di balik tabir dengan menjadi santapan bagi para setan yang berpesta-pora di atas tubuhnya. Tak ada yang tahu, Tak ada secuil berita pun tentangnya. Dan saya pun berpaling, tak mau melihat pertunjukan itu lebih jauh.

Di saat itu, saya jadi sadar. Benarlah adanya bahwa soal pahala dan dosa, soal masuk surga atau neraka, soal adil-dzalim, tak sesimpel yang dipikirkan orang. Benar adanya bahwa cuma Tuhan yang bisa dengan adil memutuskan siapa yang layak dan tak layak masuk ke surgaNya. Karena ternyata, para makhluk buruk dan jahat pun, punya fungsi untuk menjalankan sistem keseimbangan di Semesta. Saya tak mungkin bilang bahwa para monster yang menghukum si orang bejat itu berdosa 100%. Karena yang mereka lakukan hanyalah menjalankan fungsi sebab-akibat. Kalau tak ada makhluk jahat yang menjadi sarana penghukuman bagi si pelaku pelecehan tadi, lalu bagaimana keadilan bisa berjalan? Sementara hukum buatan manusia tak selalu bisa menjangkau dan menerapkan keadilan dengan semestinya.

I am becoming whole. Saya menjadi utuh melalui perjalanan yang tak biasa ini. Menjadi utuh, justru ketika memutuskan untuk menerima segala hal yang dianggap aneh oleh kebanyakan orang, dan bersedia menempuh proses untuk menemukan diri saya kembali. Tak ada satu pun kebetulan di dunia ini. Yang ada adalah, di setiap tahap usia, kita akan diminta untuk belajar dan membongkar keyakinan lama, agar bisa tumbuh lagi. Lebih siap untuk memberi, dan lebih siap untuk menjalani mandat yang diberikan Tuhan. Terutama untuk tak lagi melihat segala sesuatu dari kacamata yang terlalu sempit.

*******