It Ain’t Easy Being Different

Posted on Maret 15, 2020

0


fd66082804374294aaae4379e0c2abe7Udah makan korban lagi malam ini, wkwkwkwk…. banyak pula. Setelah sebelumnya saya menyaksikan seseorang yang saya hormati sejak dulu jadi hilang, sekarang yang dicongkelin adalah beberapa orang yang saling berkirim kode.

Anyway, ini salah satu yang tidak saya sukai dari “menjadi berbeda”. Whatever lah istilahnya. Indigo kek, crystal kek, diamond kek, pelaku spiritual kek… Apa boleh buat, namanya jalan hidup ya memang demikian. Banyak yang tidak disangka, tidak bisa dicegah, tapi terjadi juga. Meskipun nanti akhirnya akan berefek baik, tapi tidak semua orang suka dengan itu. Karena pengalaman setiap orang berbeda, penafsirannya beda, dan misi hidupnya beda. Susahnya, kalau ketemu yang beda, jadinya nggak bisa nyambung. Ujungnya akan bertengkar. Dengan sesama yang ngerti, juga tidak bisa selalu akur. Ujungnya sama, akan berantem juga, meskipun nanti akan damai lagi.

Ini sebabnya, saya lebih suka solo traveling, menikmati perjalanan spiritual sendirian saja atau dengan beberapa orang yang saya kenal betul.

Tapi saya juga tidak keberatan jika sesekali itu terbuka. Toh tidak ada satu pun dari kenyataan itu yang bertentangan dengan isi kitab maupun konten spiritual yang sudah lebih dulu dikenal manusia. Termasuk di blog ini, jika saya membahas tentang Celestial Beings, non-manusia, jinn, setan, hantu. Semua ada di kitab jika mau dicari. Ia bukan kebohongan. Semua tercantum. Mulai dari khasanah kitab semasa jaman peradaban Mesopotamia, hingga aneka kitab suci dari agama yang termuda. Tinggal kita mau baca dan riset, atau enggak sama sekali.

Terlalu sering menutupi hal-hal seperti ini, juga ada efek buruknya. Kita jadi tidak terbiasa melihat sesuatu yang berbeda, dan jadi sering bingung sendiri, merasa diri aneh karena sering melihat hantu, dan sebagainya. Padahal ya normal-normal saja sebetulnya. Itu bukan hal baru, dan bukan hal yang harus ditakuti. Tidak perlu menganggap bahwa yang bisa melihat, otomatis kesurupan jin atau jadi dukun. Enggak lah.

Orang menganggap yang bisa mengalami ini, hanya yang tingkat spiritualnya tinggi. Lalu merasa ini itu, mulai membandingkan level, mulai “ngambek” kalau merasa yang lain punya pengalaman lebih, mulai judging, dan sebagainya. Padahal enggak juga. Aleman tenan kuwi kalau ada yang ngambekan. Halah, wong perkoro biasa wae, kok dibikin seolah-olah maha besar dan maha rahasia. Padahal diam-diam aslinya juga pengen dikenal.

Orang jahat pun banyak yang punya pengalaman serupa, dan memanfaatkannya untuk tujuan jahat. Itu banyak sekali. Para penjahat kelas kakap, pimpinan kartel, gembong narkoba, penguasa yang keji, politisi, hingga maling ayam sekalipun, mereka bisa melihat. Tidak perlu merasa paling istimewa, atau justru paranoid dan menutup-nutupi.

Kepada anak, saya juga begitu. Jika dia melihat sesuatu yang tak lazim, yang saya ajarkan kepadanya adalah doa dan percaya pada Tuhan, dan bagaimana mengarahkan pikiran agar mereka tidak mendekat. Tujuannya, agar dia tidak mudah diintimidasi oleh non-manusia yang memang sering menampakkan diri lebih besar atau lebih menakutkan, untuk menguji nyali. Saya ajarkan padanya, bahwa memang ada makhluk lain selain manusia, dan itu wajar. Tidak pernah saya menutupinya dengan mengatakan bahwa itu tidak ada.

Jadi, jangan pernah merasa diri lebih mulia atau lebih spiritual, atau merasa lebih dekat dengan Tuhan, hanya karena bisa melihat makhluk non-manusia. Itu biasa banget sebenarnya. Nothing new under the sun. Anak kecil juga bisa. Bayi pun bisa. Bedanya cuma, mereka belum bisa mikir apa manfaatnya dari hal-hal kayak gitu, apa yang bisa dilakukan sehubungan dengan itu, dan apa kaitannya dengan tujuan hidup di dunia. Makanya saya juga memilih enteng bercerita di blog ini, karena semua sebetulnya hal yang normal saja. Bukan karena saya sakti atau apa, atau musti pake bakar menyan segala rupa. Jiahhhh…. apaan sih wkwkwkwk….

Karena ini bukan melulu otoritas mereka yang “suci”, maka otomatis siapapun bisa punya pengalaman serupa. Termasuk mereka yang bekerja profesional sebagai pegawai kantoran, konsultan, pebisnis, konglomerat, coach, hingga petugas kebersihan seperti pak tukang sapu jalanan, ibu-ibu penjual jamu gendongan, pengemis, gelandangan, dan siapapun. Tidak ada batasan.

Kalau orang-orang dengan pengalaman serupa berkumpul, cepat atau lambat pasti akan ada yang terbuka. Itu juga tidak bisa dicegah. Itu akan jalan dengan sendirinya. Tidak perlu judging, juga tidak perlu merasa terancam. Nikmati saja itu sebagai salah satu dinamika hidup.

Hidup cuma sekali, kawan. Kalau nyureng terus hanya karena nggak setuju dengan pengalaman orang lain, ya cepet mati nanti. Ngunu wae nesu, mengko pipine mlembung loh. Wis, gitu aja, hehehe…