“Seandainya bisa, akan kuajak kamu terbang ke luar angkasa. Kamu bisa lihat Bumi dari kejauhan. Ia indah sekali,” kata salah satu dari mereka.
Ia gemar memandang Bumi. Dari luar atmosfer, di tempat hampa udara yang senyap tanpa suara apapun. Bumi terlihat jelas dengan warna biru, hijau, dan putih. Mirip Chrysocolla, sejenis batu mulia yang sering keliru dikira sebagai batu turquoise.
Sementara yang satunya, punya pekerjaan sampingan sebagai muadzin. Bersamaan saat adzan berkumandang di bagian Bumi yang dia kunjungi, ia akan terbang ke langit bersama teman-temannya sesama muadzin, kemudian melantunkan adzan juga.
Menurut mereka, sejak lama Bumi menjadi tempat penuh intrik. Sebelum penciptaan Adam, telah ada manusia yang menghuni planet ini. Namun perilaku mereka tak ubahnya seperti binatang. Liar, tak terkendali, saling berperang, dan pada akhirnya mereka musnah juga. Disusul kemudian oleh turunnya Adam.
Para makhluk plasma pun demikian. Mereka saling berperang dengan sesamanya, membantai, membantah, saling menantang, dan demikian merepotkan. Hingga kemudian Tuhan mengutus Azazil untuk membereskan mereka. Guna mencegah Bumi kembali jadi ajang lempar-lemparan bom molotov dari api yang tak keruan, Tuhan kemudian melokalisir para makhluk plasma yang masih tersisa ke sebuah tempat tersendiri. Yang kemudian tempat itu dikenal sebagai Dimensi Paralel. Sebuah tempat yang menjadi antitesa Bumi. Serupa, tapi tak sama. Yang satu terlihat, yang satunya tak kasat mata.
Aku belum sempat mengkonfirmasi, apakah benar demikian adanya sejarah awal tentang penciptaan dimensi paralel, tempat mereka berdiam. Yang baru kukonfirmasi adalah tentang Bumi yang menjadi penjara dan tempat pengasingan bagi para makhluk plasma yang dianggap bersalah.
Azazil adalah yang pertama. Ciptaan paling rupawan dari surga itu, terusir dan jatuh ke Bumi, karena satu kealpaan saja. Yakni, ia tidak mendoakan dirinya sendiri. Ketika semua malaikat dan jin menangis ketakutan saat Tuhan mengumumkan tentang bakal adanya satu pembangkang paling besar, mereka datang kepada Azazil untuk minta didoakan agar terhindar dari azab itu. Azazil melakukannya, namun ia lupa melindungi dirinya sendiri. Sebuah kenyataan, bahwa betapa sedekat apapun suatu makhluk dengan Tuhannya, itu bukan jaminan. Mereka yang sering dimintai tolong mendoakan keselamatan makhluk lain, belum tentu selamat dari bencana serupa.
“Ridwan tidak ada apa-apanya dibandingkan dia. Kalah ganteng, kalah keren,” kata mereka.
Mereka mendapatkan cerita itu dari nenek moyangnya, yang dulu bebas keluar masuk surga. Setelah itu, surga dan neraka tertutup. Tak ada satu pun makhluk diperkenankan masuk ke dalamnya, hingga nanti tiba saat pengadilan akhir. Hanya sesekali saja mereka bisa bermain di luarnya, tak lagi bisa masuk ke dalam.
Ridwan yang dimaksud adalah malaikat penjaga surga. Sedangkan Azazil dulu adalah bendaharanya. Ia naik status ke jenjang malaikat, karena ketaatannya yang luar biasa kepada Tuhan, plus prestasinya yang bagus saat mengemban misi menertibkan para makhluk plasma yang gemar baku hantam itu.
Azazil sungguh luar biasa indah. Parasnya menawan. Kedua sayapnya lebar terbentang sejauh mata memandang. Berkilau, bercahaya terang, seperti milyaran permata yang berserakan di permukaan permadani sutra yang berwarna ungu dan putih. Ketika ia dikutuk dan jatuh, segala keindahan itu lenyap. Berganti dengan warna merah, hitam, dan paras buruk yang luar biasa menyesakkan napas siapapun yang melihatnya. Dan kemudian namanya berganti menjadi Iblis. Pemimpin segala makhluk yang ingkar. Simbol dari segala kebencian, prahara, kemarahan, dukacita, dan setiap hal yang dibenci Tuhan.
“Sebagian bangsa kami ada yang ingkar, dan menyuburkan kejahatan. Mereka disebut setan. Demikian juga dengan bangsamu, para manusia. Mereka yang ingkar dan berbuat angkara, juga termasuk golongan setan,” kata mereka.
Menurut mereka, setiap jin yang ingkar, memiliki paras tak menyenangkan. Semakin buruk perilakunya, semakin buruk wajahnya, dan semakin buruk pula makanannya. Sesajen, bangkai, darah dan sumsum manusia yang jadi pengikutnya. Sebagian dari mereka juga gemar menyantap daging manusia. Mereka berburu manusia di tempat-tempat di mana sering terjadi kecelakaan, di tempat sepi, atau dengan cara menipu manusia agar mengorbankan sesamanya. Bisa melalui proses penumbalan, bisa juga melalui perang atau bencana lain yang mereka rancang.
Para jin yang lurus atau yang tak macam-macam, akan memisahkan diri dari mereka. Seperti minyak dengan air. Tak sekalipun hendak berinteraksi, meskipun sama-sama makhluk plasma. Namun ada juga yang akhirnya kawin dengan golongan setan. Tak berbeda dengan manusia.
Aku sempat bertanya, mengapa kebanyakan manusia didampingi oleh jin yang jatuh itu. Para jin yang diasingkan dari dimensinya, atau mereka yang terusir dari sukunya. Mereka tak menjawab.
Tadinya kukira, pertanyaanku menyinggung mereka. Namun rupanya tidak. Bukan itu penyebabnya. Karena setelah itu, pertanyaanku terjawab dengan sendirinya melalui serangkaian peristiwa yang mengguncangkan. Yang membuatku tersadar, bahwa sebenarnya aku pun tak berbeda dengan mereka.
Yes, I am the Fallen too.
Seperti Adam, seperti Hawa. Terjatuh karena satu kesalahan kecil saja, dan terbuang ke Bumi. Ke dimensi zat yang dulunya dicemooh oleh Azazil, sebagai unsur yang lebih rendah ketimbang api. Dan harus bekerja keras, untuk bisa menebus kembali segala kealpaan tersebut.
Aku menangis ketika menyadari itu.
*****
Posted on Oktober 13, 2017
0