“Yang nggak mungkin kurus itu si Julie.”
Aku terkesiap mendengarnya. “Apa??”
“Gimana kamu mau langsing?” jawabnya, “Sudah makan, eh masih nerusin makan punya anak, karena eman-eman jika ada sisa. Habis itu, masih ngemil kue macaron, lagi.”
Ada rasa panas yang mengambang, naik ke permukaan. Aku yakin, wajah dan telingaku berubah merah padam. “Ngapain sih, doyan amat ngintip orang??!” kataku dengan gusar. Hendak kulanjutkan mengomel, tapi aku kehabisan kata-kata. Hufftt … seandainya bisa, ingin rasanya kukejar mereka dan kugebuki dengan sapu lidi sampai sapunya ringsek.
Brutal. Intrusif. Iseng overdosis.
Itulah tiga kata yang kudapat saat melihat ulah mereka. Tidak hanya padaku, tetapi pada manusia lain, malaikat, bidadari, bahkan sesama jin.
Tak sekali dua kali mereka dikejar beramai-ramai oleh yang diganggunya. Babak belur, sudah pasti. Apalagi jika yang diganggu adalah malaikat. Mereka bisa terkena resiko ditimpuk batu langit atau digantung terbalik seperti jambu monyet, dengan seutas tali dari petir.
“Tapi dia nggak kapok tuh,” ujar seorang di antaranya sambil menunjuk temannya. Yang ditunjuk hanya nyengir. Ia memang punya beberapa bekas luka permanen di tubuhnya, akibat terkena lecutan petir. Bahkan ia pernah nyaris mati, ketika dihantam batu langit yang berukuran sangat besar.
Objek keisengan favorit mereka lainnya adalah para dukun. Mereka gemar mempermainkan para dukun, dengan membalikkan laju kiriman sihir, sehingga sihir yang sedianya dikirim ke seseorang, malah kembali ke si dukun itu sendiri.
Sekali waktu, aku pernah bercerita tentang seorang dukun kepada mereka. Lantas beberapa hari kemudian, kudengar kabar dari para tetangga dukun itu, bahwa si dukun melolong ketakutan di tengah malam, kemudian jatuh tak sadarkan diri. Setelah siuman, ia bercerita bahwa sejumlah jin asing muncul tiba-tiba dengan wajah super menyeramkan, saat ia sedang bersiap mengerjakan pesanan sihir dari kliennya.
“Abisnya sebel sih lihat mereka. Masa bangsa kami disuguhi kemenyan dan bunga? Emang dipikirnya, kita apaan?? Dan habis itu, mereka minta bangsa kami untuk mencelakakan bangsa mereka sendiri,” ujar mereka sengit.
Mereka tidak suka dengan segala sesajen aneh-aneh itu. Karena makanan bangsa mereka banyak yang enak-enak. Sirup dingin dari sari bunga, buah-buahan hutan yang manis, kerbau dan rusa panggang, ikan segar yang dibakar. Sekali makan, lima-tujuh rusa utuh bisa habis. Puluhan ekor ikan berukuran besar masuk semuanya dalam perut mereka.
“Halah, bangkrut dong kalau manusia ngasih makan kalian,” kataku geli.
“Iya. Kami punya rejeki sendiri dari Tuhan. Tidak perlu makan sesajen.”
Namun demikian, sesekali mereka mencicipi makanan yang dimasak manusia. Saat ada pesta, di pasar, di restoran, atau di rumah. Jika kita menemukan ada makanan yang tiba-tiba hambar tanpa sebab, atau keras, padahal baru saja dimasak, maka kemungkinan itu sudah dihisap sarinya oleh bangsa mereka.
“Yang di rumahmu suka mencicipi tehmu,” kata mereka.
“Oh ya?” ujarku. Aku baru tahu bahwa ternyata di rumahku sendiri ada jin penghuni lain. Selama ini tak pernah kulihat ia dalam mimpi. Rupanya ia termasuk jin cuek, tak peduli apapun kecuali menunggu saat bel gereja berbunyi. Dan setiap kali bel berdentang, ia bergegas pergi ke sana untuk ikut ibadah.
Begitulah mereka. Ternyata tak banyak beda kehidupannya dengan manusia. Mereka punya keluarga, punya pekerjaan, makan dan minum, juga istirahat. Bercanda, marah, bahagia, sedih, kecewa, jatuh cinta. Ada yang jadi petani, dokter, raja, prajurit, panglima. Ada yang menetap, ada yang berkelana. Dan sesekali dalam perjalanan, mereka akan istirahat. Di pohon besar, di dalam batu besar, di tepi sungai, danau, atau merebahkan diri di tempat yang hening. Itu sebabnya, tidak jarang manusia jadi kesambet ketika melintasi daerah yang sepi atau di pohon dan batu besar. Sebab itu termasuk tempat favorit bagi mereka untuk mengaso.
Posted on Oktober 12, 2017
0