ShapeShifters dan Sebuah Dunia Yang Absurd (2)

Posted on Oktober 10, 2017

0


all_consuming_love_by_erinm31-d5nl4mtSekitar tahun 2008. Panggilan samar itu menyadarkanku dari lelap. Dan seketika aku berdiri, karena melihat seorang pemuda sudah duduk di tepi ranjang, seraya tersenyum padaku.

Ia berperawakan sedang, dengan T-shirt abu-abu dan celana jeans membungkus badannya. Biasa saja, sebagaimana umumnya pemuda lajang seusianya. Rambutnya ikal bergelombang pendek, dengan warna hitam pekat. Kontras dengan kulitnya yang sebersih bintang iklan krim pemutih ala Asia.

Namun yang tak biasa adalah sinar matanya yang jenaka, serta senyum dan tawa yang lepas. Setiap kali ia tertawa, seluruh ruangan terasa seperti dijalari oleh semacam hawa hangat yang menyenangkan. Hingga membuatku tertulari dan turut tertawa bersamanya.

Aku tak sempat bertanya siapa namanya, karena ia keburu banyak bercerita. Entah apa saja cerita itu, aku lupa. Namun secara keseluruhan, aku menangkap karakternya yang hangat, periang, tak punya beban, dan lebih suka bersenang-senang.

“Kamu, Peter Pan,” ujarku sambil mendorongnya hingga terjatuh ke belakang, “Kapan mau belajar sedikit serius?”

Ia kembali tertawa dan menarik tanganku. Hingga wajahnya begitu dekat, dan terlalu dekat, sampai bibirnya menyentuh bibirku. Kemudian ia lenyap begitu saja.

Tahun 2009, aku berhasil menerbitkan novel pertamaku; Musim Gugur Terakhir di Manhattan. Di dalamnya ada kisah tentang dua bersaudara, yaitu Tony dan Marco. Keduanya mirip, namun dengan karakter yang bertolak belakang. Tony yang dingin, dan Marco yang hangat.

Aku lumayan banyak bercerita tentang latar belakang novelku, serta Tony. Yang tak pernah kuceritakan justru adalah sosok Marco. Sebab dialah si Peter Pan itu. Yang kemunculannya terlalu nyata, hingga membuatku berpikir berulangkali untuk bercerita. Karena siapa yang ingin dilihat aneh, karena melihat sosok asing dalam mimpi yang terasa seperti manusia betulan? Tak seorangpun.

“Peter Pan” bukan satu-satunya yang pernah bertandang. Cukup banyak yang datang di mimpiku. Semisal serigala yang berubah wujud menjadi manusia, vampir berkulit gelap, burung putih yang berubah menjadi manusia juga. Semua punya ciri yang sama, yakni berubah menjadi sosok pemuda tampan dan romantis, dengan karakter yang bisa kuceritakan hingga sedetil-detilnya. Tak ubahnya seperti bercerita tentang orang-orang yang kukenal atau pernah kujadikan objek observasi.

Sedemikian sering aku didatangi yang demikian, namun anehnya justru itu yang tak pernah kutanyakan. Sesekali memang terbersit di pikiranku, bahwa itu bukan mimpi biasa. Namun segera kuanggap cuma bagian dari imajinasi. Apalagi kesukaanku adalah membayangkan sejumlah skenario romantis untuk novel. Jadi wajar saja kalau itu terpantul dalam mimpi. Demikian pikirku. Bahkan terkadang aku berkelakar, “Biarin deh. Kalau hantunya cakep, aku oke-oke saja.”

Kelak, aku menyesali ketidakwaspadaanku dulu. Karena yang tadinya sebatas kelakar, berubah menjadi gangguan. Terutama saat semakin lama, mereka semakin nyata. Bisa kupegang, kuraba, kupeluk, tak ubahnya seperti manusia sungguhan. Sang vampir berkulit gelap, bahkan menarikku untuk terbang dengannya. Aku menembus lapis demi lapis penghalang yang tak terlihat, seperti selaput atau tirai yang transparan. Rasanya aku seolah memantul ke belakang ketika menyentuh permukaannya, namun kemudian dengan segera masuk ke dalam lapisan berikutnya.

“Inception,” pikirku dengan panik, “Ini Inception!”

Ketika sampai di tempatnya, aku masih berpikir bahwa ini seperti yang terjadi dalam film Inception. Aku sedang menembus pikiranku sendiri.

Orang-orang di tempat itu melihatku, dan mereka berkata, “Hei, aku tahu siapa kamu.” Sedangkan aku sendiri berpikir, inikah ruang bawah sadarku? Yang selama ini tersembunyi dan tak pernah kugali? Seperti inikah bentuknya?

Sama sekali tak terlintas dalam pikiranku bahwa mereka adalah makhluk plasma jenis pecinta. Yang biasanya datang kepada manusia yang menjadi lawan jenisnya, kemudian menjelma dalam sebaik-baik bentuk untuk memikatnya.

Mengapa tak terbersit sama sekali dalam benakku bahwa mereka adalah jin?

Mengapa pikiranku jadi sebuntu itu?

*****