Masih melanjutkan catatan edisi lay over di bandara Hong Kong, kali ini aku bertemu dengan pemandangan yang tak asing lagi di tempat itu. Pria Barat yang menggandeng perempuan Asia.
Menjelang tengah malam, datanglah sepasang orang yang kemudian duduk istirahat di bangku terminal 1, tepat di seberangku. Yang pria berkulit putih dan berambut pirang, sementara yang perempuan sangat berwajah Asia. Perawakannya langsing mungil. Kulitnya hitam manis. Rambutnya hitam panjang sepinggang. Dandanannya sedikit nyentrik; kaus ketat lengan pendek warna putih, dipadu dengan pashmina warna pink, dengan kain tenun khas Bali melingkar di pinggangnya, dan diakhiri dengan sepatu kets warna pink elektrik. Wajahnya polos tanpa make up apapun. Kutaksir usianya masih belia, sekitar 20-23 tahun. Ia menyandarkan diri pada si pria, dan rambutnya tergerai lepas. Seolah seperti untaian benang pashmina warna hitam yang menutupi dada pasangannya.
Pasangan Asia-Western selanjutnya, kutemui sewaktu aku tengah menikmati semangkuk mi kuah panas dan teh leci di sebuah kafe. Karena bangku lain sudah penuh terisi, pasangan tersebut duduk di meja yang sama denganku. Yang laki-laki kulit putih dan berperawakan jangkung. Sementara yang perempuan berkulit hitam manis, sedikit lebih gelap dibandingkan gadis yang sebelumnya kulihat. Ia memakai busana warna hitam model kemben dengan pundak terbuka, dipadu dengan celana jins biru ketat, dan sepatu boots yang cukup tinggi. Rambutnya sebahu, ikal terurai, dan wajahnya disaput make up. Lipstik warna salem, dengan bubuhan lipgloss, alis mata tebal dengan garis pensil alis, maskara tipis, dan sentuhan pemulas mata warna biru dan hijau. Seperti merak.
Sekilas melihatnya, aku langsung memberi penilaian untuk keduanya: CANTIK. Lalu sejenak kemudian aku tersadar, betapa pemahamanku terhadap kosakata yang satu itu sudah jauh berubah kini.
Aku menatap perempuan muda berkemben hitam itu sekali lagi. Aksennya yang sangat Indonesia, dengan bahasa Inggris yang terpatah-patah, mengingatkanku tentang masa sewaktu masih tinggal di Indonesia. Masa di mana aku pernah percaya bahwa aku baru berhak merasa cantik jika kulitku sudah putih bersih. Bening, istilahnya. Bukan sawo matang, apalagi yang terbilang gelap seperti perempuan muda ini.
Banyak orang bilang, kultur Asia memuja warna kulit cerah. Itu adalah standar kecantikan yang umum ditemui. Perhatikanlah produk pemutih kulit yang membanjiri rak toko. Bombardir iklan yang menanamkan konsep kecantikan dalam bawah sadar orang, tentang betapa pentingnya memiliki kulit putih bersih. Sampai-sampai ukuran kesuksesan memperoleh pasangan “ditentukan” oleh seberapa rutin si perempuan memakai sabun pemutih. Semakin sering menyabun, semakin cerah kulitnya, dan semakin tinggi peluang mendapat pasangan.
Tayangan iklan sejenis itu tentu memberi pesan tentang konsep kecantikan yang timpang. Perempuan berkulit gelap, seolah-olah dihadang masa depan yang suram. Pacar melirik perempuan lain yang lebih putih. Susah mencari baju, karena tidak ada warna yang cocok dengan kulitnya. Sahabat yang sukses menjadi pusat perhatian pria, karena dia memiliki kulit selembut sutra dan seputih bunga lili. Semuanya bertubi-tubi mengirim pesan ke benak: betapa susahnya menjadi perempuan berkulit gelap!
Namun sekarang aku merasa, tidak ada lagi konsep semacam itu yang menghantui benakku. Mungkin karena selama tinggal di negara ini, aku bertemu dengan perempuan dari beragam ras. Asia, Kaukasian, Afro, Mongoloid. Kisaran warna kulit yang beraneka ragam: putih pucat, kuning langsat, krem, sawo matang, hitam manis… semua ada. Sulit untuk menentukan kadar “Warna Kulit” yang layak untuk disebut cantik, saking begitu beragamnya. Tidak ada yang benar-benar identik sempurna. Bahkan dalam ras yang sama sekalipun, kisaran warna kulitnya bisa berbeda.
Ini barangkali yang membuatku memiliki konsep baru tentang CANTIK. Konsep itu kini lebih bersandar pada bagaimana seseorang menampilkan diri. Pancaran rasa percaya diri, badan yang sehat, kulit yang dirawat baik, sikap yang menyenangkan, tata rambut dan busana yang serasi, serta isi pembicaraannya.
Itu juga mungkin yang membuatku bisa spontan menilai bahwa dua perempuan Asia tersebut termasuk CANTIK sekalipun kulitnya tidak bening. Namun mungkin tidak demikian menurut mata orang lain di Asia, atau di Indonesia. Bisa saja mereka dilabeli dekil, keling, atau lebih parah lagi: muka babu. Ini sebutan kasar yang sering terlontar terutama jika ada pasangan Asia-Barat, di mana kebetulan si perempuan berkulit gelap dan tidak berwajah imut seperti artis Korea.
Ya, begitulah. Aku pikir, inilah untungnya mendapat kesempatan untuk hidup di tempat yang serba multi; baik kultur maupun ras. Interaksi yang cukup tinggi dengan orang dari beragam tempat, memungkinkanku membentuk konsep baru tentang banyak hal, salah satunya adalah standar kecantikan.
Putih bukan lagi satu-satunya ukuran. Setiap perempuan memiliki daya tarik, dan CANTIK, apapun warna kulitnya.
*****
Dian Fatony Assyakur
Desember 10, 2012
Koyo iklan Yik ‘no matter what colours you are true beauty comes from within’…………..ndhisik aku yo pengen putih bersih mulane milih bojo ga gelem sing ‘berwarna’ hehehehe tp saiki ‘I am beautiful no matter what you say’ pede aja kali………
Julie Nava
Desember 10, 2012
Betul. Biyen aku keranjingan produk pemutih hehehehe… tapi saiki wis ora. Wis pede abisss…:)
ika wahyuningrum
Desember 10, 2012
Aku setuju mbakyu dgn tulisamu… Aku memang berkulit terang krn ada keturunan cina. Tp anakku sawo matang krn bpknya jowo asli. Dan gadisku ini tumbuh cantik..:). Meskipun awalnya dia selalu bilang aku pgn putih kyk mama. Skrg dia malah cari2 tanning cream buat memperindah kulit coklatnya.. Hmm eksotis…btw boleh aku share yo mbk tulisannya.
Julie Nava
Desember 10, 2012
Tentu saja boleh, silahkan dishare 🙂
Kalau di sini, kulit sawo matang itu justru banyak disukai 🙂
ikatrina
Desember 13, 2012
setuju….
secara aq jg gak putih kulitku
hahahahaha..
Julie Nava
Desember 14, 2012
Aku juga, hahahahaha