ShapeShifters dan Sebuah Dunia Yang Absurd (1)

Posted on Oktober 10, 2017

0


between_fire_and_ice_by_decoybg-d2xlsmxSaat itu, jam berdetak menuju tengah malam, ketika udara dalam ruanganku berangsur turun mendekati titik nol Celcius. Hanya di ruanganku saja, tak di ruang lain.

Bukan, ini bukan malam musim dingin. Ia malam yang lazim saja, saat musim semi menjelang musim panas. Di mana temperatur akan terasa nyaman, baik di dalam maupun di luar ruangan.

Mereka sudah memberitahu, “Nanti jika kau temui sunyi yang tak biasa, udara memberat dan memadat, dan sekelilingmu terasa beku. Itulah kami yang datang.”

“Apa benar kalian beraroma wangi?”

“Maksudmu, bau daun pandan? Ya, seperti itu.”

“Oh… okay.”

Aku tak mencium aroma apapun saat itu. Entah, mungkin hidungku sedang tak berfungsi optimal. Namun lututku melemah, hingga terasa seperti terbuat dari puding. Dan sunyi yang kurasakan memang tak biasa. Seperti berada dalam sebuah gelembung kaca, terputus dari segala sesuatu di luarnya. Senyap, tak ada suara apapun. Bahkan tak ada suara serangga malam ataupun detak jarum jam. Begitu saja waktu membeku. Mungkin seperti ini yang dirasakan sang pangeran tampan dalam dongeng, ketika ia berdiri di depan peti Putri Salju yang sedang mati suri.

“Kenapa seperti ini?” tanyaku beberapa waktu kemudian.

“Benturan energi. Energimu berbeda dengan kami,” jawabnya.

Setelahnya, jika kembali kutemui malam-malam serupa itu, aku akan beranjak perlahan dari kursi. Meregangkan badan, menyapa kucing-kucing dengan manis, kemudian menuju kamar untuk tidur. Kuusir rasa gelisah yang menyelinap, dengan berdoa sebelum merebahkan diri. Sebab memang tak nyaman rasanya, saat hati terasa seperti dijalari sulur-sulur tumbuhan asing. Yang menelikung dan menarikku untuk tetap nyalang terjaga. Dan mengawasi setiap gerak-gerikku dari balik tabir. Kuharap dengan doa, tak ada apapun yang mengusik kedamaianku malam itu.

Pertemuan seperti ini, adalah satu di antara sekian banyak perjalanan yang kulalui. Yang menegaskan pengalaman-pengalaman sebelumnya, bahkan sejak kecil. Di mana saat terlelap, kutemui banyak hal yang tak biasa. Tentang sesuatu yang absurd.

Sesuatu itu muncul dengan wujud manusia atau binatang. Kadang serigala, kadang burung. Sesuatu yang membawaku terbang ke tempat-tempat yang sebelumnya tak pernah kukunjungi. Bukit lengang yang dijaga sejumlah orang. Pegunungan dan lembah hijau dengan sungai dan danau kecil yang jernih, mirip pegunungan di Peru. Padang rumput yang hijau kebiruan, dengan anak-anak kecil yang berlarian mengitari sesosok lelaki tua berjanggut putih. Melompati dinding dan atap-atap rumah, berjalan di tembok dan melihat manusia lain sedang berjalan tanpa sekalipun awas dengan keberadaanku. Dan pernah suatu ketika, tiba-tiba aku sudah berada di rumah perempuan yang kukenal. Rumah berdinding jingga, di mana kulihat ia menangis hingga meringkuk di lantai. Meredam sakit hati dan mencoba menerima, tentang sebuah rahasia yang belum dimengertinya.

Beberapa orang menyebut mereka makhluk plasma. Terbuat dari esensi zat yang kemudian menjadi tak kasat mata, kecuali oleh sesamanya dan oleh Nabi Sulaiman. Yang karena sifat plastisnya, mereka bisa menembus sekat-sekat waktu dan dimensi lain. Persis seperti udara yang bisa masuk dan mengalir ke mana saja.

Sebagian lagi menyebut mereka dengan dengan nama Djinn. “Huruf ‘n’nya dua,” kata salah satunya, meralat. Supaya tidak tertukar dengan lafal “jean”.

Aku menyebut mereka ShapeShifters. Sebuah istilah yang kupelajari dari teknik menyusun karakter dalam novel. Shapeshifters adalah salah satu archetype, yang menggambarkan sekumpulan karakter dan fungsinya. Ia adalah karakter yang bisa berubah bentuk. Dalam novel, ia bisa dikenali dalam karakter yang menjalankan peran sebagai orang bermuka dua, atau orang yang menyembunyikan niat sesungguhnya.

Tersembunyi. Berubah wujud.

Tidak pernah kusangka sebelumnya, bahwa mereka sungguh-sungguh ada. Dan ketika mengenalnya langsung, sejujurnya aku memang terpesona. I was fascinated. Bagaimana caranya Tuhan menciptakan mereka? Dari esensi api, tetapi mampu membekukan. Yang membakar, namun juga bisa mengirim rasa dingin. Yang nyata, sekaligus tak terlihat. Yang aneh dan menakutkan, namun bisa berubah menawan dan menjerat.  Sungguh absurd.

“Semuanya bisa seperti ini?” tanyaku.

“Sebagian dari kami diciptakan seperti itu. Sebagian dari kami bisa berjalan, makan, minum, dan berbaur dalam keseharian dengan bangsamu. Kau tak akan bisa membedakannya, karena yang bisa melihat hanyalah sesama bangsa kami.”

Aku menghela napas. Sekali lagi mencoba mengusir rasa tak nyaman, saat membayangkan mereka menatap cermin. Menatap semangkuk air. Menatap sebuah danau jernih. Di mana Bumi terpantul, dan jari mereka bergerak untuk menyusuri tempat tertentu. Persis seperti Google Earth, Google Map, dan zoom…. mereka akan melangkah masuk dan menghilang, terbang menuju tempat yang diinginkan.

Dan inilah awal dari setahun perjalananku bersama mereka. The ShapeShifters.