“Harapan untuk pulih tinggal 10%,” ujar dokter kepada kakakku.
“Sepuluh persen yang seperti apa?” tanya kakakku.
Aku juga bertanya lewat pesan elektronik. Bagaimana kepastiannya? Berapa lama harus dirawat? Apalagi yang harus dilakukan? Apakah dokter bisa memprediksi, berapa lama kemungkinan usia Ibu? Dan sebagainya.
Bagi dokter, memutuskan nasib seorang pasien, bisa jadi dilema. Sesuatu yang terkadang tak bisa diduga. Pasien yang menurut hitungan statistik harapan hidupnya tinggal 5%, ternyata bisa melewati garis maut. Pasien yang segar bugar, bisa saja semenit kemudian meninggal.
Bagi keluarga pasien, keterangan dokter adalah seutas harapan. Apapun akan dilakukan untuk mempertahankannya, sekalipun sudah tipis. Mungkin itu sebabnya, dokter memilih menyerahkan itu pada waktu. Sebab, memutus harapan kadang terasa jauh lebih kejam, ketimbang menyampaikan diagnosa terburuk.
Aku menyadari itu, karena sedikit banyak juga membaca literatur medis. Itu sebabnya, aku mendiskusikan dengan dua saudaraku, apa yang akan dilakukan seandainya Ibu bisa disembuhkan, dan apa yang harus dilakukan seandainya hal terburuk yang terjadi.
Kami siap, aku juga siap. Ikhlas benar-benar sudah ditanamkan. Yang penting, kami merawat dan menjaga Ibu sebaik mungkin, sesuai dengan kemampuan kami masing-masing. Kakak dan adik bergantian menjaga. Aku membantu dari jauh, karena tidak mungkin bisa mudik dalam waktu dekat.
Dan akhirnya, saat itu tiba juga. Tepat malam Jumat, dan tepat pada saat Maulud Nabi.
Semuanya berlangsung tenang, seperti langit yang saat itu hening. Di sini, aku menerima berita saat tengah hari, ketika sedang berkendara dengan keluarga menuju kantor pos. Jemariku langsung mengontak beberapa orang, mengabari tentang wafatnya Ibu. Menulis kabar di jejaring sosial. Menelepon kakak dan adik, untuk memastikan setiap proses bisa berlangsung lancar.
Aku tabah, hingga saat Ibu dimakamkan.
Ketika semua usai, barulah air mata keluar. Makin lama makin deras.
There is a void. Ruang kosong yang hampa tanpa penghuni. Sebab kini aku tahu, tidak akan ada suara Ibu yang menjawab teleponku. Yang menyampaikan rasa kangen. Dengan sedikit keluhan tentang kaki yang terasa semakin berat. Tidak ada lagi suara bahagia yang kudengar, setiap kali kusampaikan kabar tentang cucunya yang tumbuh semakin besar. Tidak akan ada lagi kabar dari saudara, yang memberitahu bagaimana penasarannya Ibu dengan anak, menantu, dan cucunya yang berada di negeri yang jauh. Hingga beliau memaksa untuk diajari membuka internet, dan menatap foto-foto yang terpampang di jejaring sosial milik anaknya.
Semua sudah tidak ada. Tinggal ruang kosong, yang mungkin butuh waktu, untuk mengisinya kembali.
Beginilah rasanya kehilangan cinta. Kehilangan Ibu.
Dan aku makin mengerti kini, mengapa ada tradisi untuk menyambung doa, dan menyambung komunikasi dengan keluarga yang masih ada. Sebab dengan itu, segala kenangan akan hidup kembali. Dan sosok yang pergi, akan senantiasa hadir. Melalui untaian harapan, cerita, dan wajah-wajah yang menyiratkan guratan yang serupa. Ia cara, untuk menjaga, agar ruang kosong itu tak selamanya sepi.
Nur Islah
Desember 29, 2015
innalillahi wa inna ilaihi rojiun..yang tabah ya mba
Artha Julie Nava
Januari 1, 2016
Waalaikum salam. Terima kasih banyak mbak Nur 🙂
Safrina Dewi
Desember 30, 2015
Ikut berduka yang sedalam-dalamnya Ay. Persis seperti yang aku alami saat Papa pergi untuk selamanya. Tabah dan kuat hingga selamatan hari ke sekian. Tapi kosong sesudahnya, hampir tidak ada hari tanpa airmata. Entah itu airmata sedihnya kehilangan, atau air mata penyesalan dengan seribu tanya mengapa. Yang aku baca, setan akan selalu membisiki orang yang berduka dengan hasutan berisi pesan penyesalan. Hingga akhirnya aku tepis jauh-jauh sesal itu dengan menanamkan rasa optimis, bahwa suatu saat aku pun akan menyusul Papa dan kami bertemu di alam yang berbeda dengan keadaan yang lebih baik.
…
Doa dan amal jariyahlah penyambung rindu saat ini.
Tetap sabar ya Ay, aku yakin mereka yang di alam kubur tetap bisa melihat kita, seperti kita seharusnya merasakan kehadiran mereka.
Artha Julie Nava
Januari 1, 2016
Terimakasih banyak, Na.
Betul, ada perasaan seperti itu. Saat Ibu masih ada, rasanya bersemangat sekali untuk bisa menyenangkan beliau. Juga bermimpi, suatu saat bisa membelikan beliau rumah yang bagus. Kadang-kadang rasa sesal itu melintas, karena belum sempat mewujudkan itu semua. Tetapi aku selalu berusaha berpikir, bahwa semua ada maksudnya. Tidak ada peristiwa yang terjadi secara kebetulan. Apa yang tidak bisa kulihat, mungkin sekarang jauh lebih baik untuk Ibu.
Thanks sudah membesarkan hatiku.
djayantinakhlaA
Desember 30, 2015
Innalillahi wa inna ilaihi roji’un…
speechless..
Semoga ibunda ditempatkan di sisi terbaikNya ya mbak.. aamiin..
*peluk mbak Juva dari Karawang*
Artha Julie Nava
Januari 4, 2016
Peluk balik buatmu 🙂 Terima kasih banyak ya.
Anna Farida
Januari 1, 2016
Ruang kosong yang akan segera terisi oleh doa dan kenangan akan kebaikan yang pernah tertunaikan, insya Allah, Mbak. Peluk dari jauh.
Artha Julie Nava
Januari 4, 2016
Amiiiin peluk juga dari jauh, mbak Anna