A Void, Communal, Memories (1)

Posted on Desember 29, 2015

8


empty_heart_by_welody“Harapan untuk pulih tinggal 10%,” ujar dokter kepada kakakku.

“Sepuluh persen yang seperti apa?” tanya kakakku.

Aku juga bertanya lewat pesan elektronik. Bagaimana kepastiannya? Berapa lama harus dirawat? Apalagi yang harus dilakukan? Apakah dokter bisa memprediksi, berapa lama kemungkinan usia Ibu? Dan sebagainya.

Bagi dokter, memutuskan nasib seorang pasien, bisa jadi dilema. Sesuatu yang terkadang tak bisa diduga. Pasien yang menurut hitungan statistik harapan hidupnya tinggal 5%, ternyata bisa melewati garis maut. Pasien yang segar bugar, bisa saja semenit kemudian meninggal.

Bagi keluarga pasien, keterangan dokter adalah seutas harapan. Apapun akan dilakukan untuk mempertahankannya, sekalipun sudah tipis. Mungkin itu sebabnya, dokter memilih menyerahkan itu pada waktu.  Sebab, memutus harapan kadang terasa jauh lebih kejam, ketimbang menyampaikan diagnosa terburuk.

Aku menyadari itu, karena sedikit banyak juga membaca literatur medis. Itu sebabnya, aku mendiskusikan dengan dua saudaraku, apa yang akan dilakukan seandainya Ibu bisa disembuhkan, dan apa yang harus dilakukan seandainya hal terburuk yang terjadi.

Kami siap, aku juga siap. Ikhlas benar-benar sudah ditanamkan. Yang penting, kami merawat dan menjaga Ibu sebaik mungkin, sesuai dengan kemampuan kami masing-masing. Kakak dan adik bergantian menjaga. Aku membantu dari jauh, karena tidak mungkin bisa mudik dalam waktu dekat.

Dan akhirnya, saat itu tiba juga. Tepat malam Jumat, dan tepat pada saat Maulud Nabi.

Semuanya berlangsung tenang, seperti langit yang saat itu hening. Di sini, aku menerima berita saat tengah hari, ketika sedang berkendara dengan keluarga menuju kantor pos. Jemariku langsung mengontak beberapa orang, mengabari tentang wafatnya Ibu. Menulis kabar di jejaring sosial. Menelepon kakak dan adik, untuk memastikan setiap proses bisa berlangsung lancar.

Aku tabah, hingga saat Ibu dimakamkan.

Ketika semua usai, barulah air mata keluar. Makin lama makin deras.

There is a void. Ruang kosong yang hampa tanpa penghuni. Sebab kini aku tahu, tidak akan ada suara Ibu yang menjawab teleponku. Yang menyampaikan rasa kangen. Dengan sedikit keluhan tentang kaki yang terasa semakin berat. Tidak ada lagi suara bahagia yang kudengar, setiap kali kusampaikan kabar tentang cucunya yang tumbuh semakin besar. Tidak akan ada lagi kabar dari saudara, yang memberitahu bagaimana penasarannya Ibu dengan anak, menantu, dan cucunya yang berada di negeri yang jauh. Hingga beliau memaksa untuk diajari membuka internet, dan menatap foto-foto yang terpampang di jejaring sosial milik anaknya.

Semua sudah tidak ada. Tinggal ruang kosong, yang mungkin butuh waktu, untuk mengisinya kembali.

Beginilah rasanya kehilangan cinta. Kehilangan Ibu.

Dan aku makin mengerti kini, mengapa ada tradisi untuk menyambung doa, dan menyambung komunikasi dengan keluarga yang masih ada. Sebab dengan itu, segala kenangan akan hidup kembali. Dan sosok yang pergi, akan senantiasa hadir. Melalui untaian harapan, cerita, dan wajah-wajah yang menyiratkan guratan yang serupa. Ia cara, untuk menjaga, agar ruang kosong itu tak selamanya sepi.