Kemarin saya ngobrol dengan salah satu orangtua murid, yang ternyata dari Yugoslavia. Sekitar 22 tahun lalu, ia dan keluarganya pindah, karena ada perang. Ayahnya sempat hilang beberapa hari, dan berkat bantuan dari orang yang dikenalnya, sang ayah berhasil diketemukan di sebuah tempat. Karena tidak ingin bertaruh dengan nasib, mereka memutuskan mengungsi. Baru saja sampai, perang ternyata usai. Mereka tetap tinggal di Amerika, dan setiap tahun berusaha rutin mengunjungi sanak keluarganya yang masih ada di Yugoslavia.
Ada tiga orang lain yang juga bercerita, tentang kepindahan karena alasan perang. Satu orang adalah tetangga sendiri. Kakeknya dulu adalah penjahit baju jubah yang biasa dikenakan oleh Pope (pemimpin tertinggi di Vatikan). Ia menjahit jubah itu dengan setia, tanpa upah, dan nanti diantarkannya sendiri ke Vatikan. Anaknya banyak, ekonomi kurang, dan tentu saja gizi sering tidak tercukupi. Saat Nazi masuk wilayah Belanda, sebagian dari anak dan cucunya mengungsi, termasuk tetangga saya ini. Kisahnya sempat saya tulis untuk tugas pelatihan jurnalistik.
Satu lagi adalah lelaki tua yang dulu sering saya temui di perpustakaan kota, sedang menemani cucunya bermain di area khusus anak-anak. Kalau tidak salah, ia dari Austria. Saat berusia tujuh tahun, orangtuanya memutuskan mengungsi. Mereka melintasi perbatasan Jerman dengan hati-hati, agar tidak terpergok pasukan Nazi. Singkat cerita, dari Kanada, mereka kemudian masuk Amerika.
Lelaki tua itu ramah sekali dan suka bercerita. Biasanya ia bercerita tentang cucunya, atau tentang kegiatannya memancing di danau saat rembang pagi. Ia bercerita bahwa banyak serangga seperti nyamuk yang mengganggunya, dan karenanya ia pakai topi bertudung seperti jaring.
Orang ketiga adalah perempuan muda yang bekerja di salon rambut di Walmart. Kulitnya putih bersih, pipinya kemerahan, dan rambutnya tebal bergelombang dengan dua warna; hitam dengan aksen coklat muda. Ujung matanya sedikit melengkung ke atas, makanya kukira ia dari Cina. Ternyata ia dari Afghanistan.
Waktu kutanya, apa ia kerasan di negara ini, ia hanya mengedikkan bahu sambil tertawa. Lalu memberi saran, “Rambutmu sudah sehat, tidak perlu pakai krim khusus. Cukup shampoo dan conditioner.”
Inilah salah satu wajah kaum imigran di Amerika. Mereka pindah karena perang. Yang lainnya pindah karena berita tentang sebuah negara yang jalannya terbuat dari emas. Sebagian lagi pindah karena ingin mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Semuanya punya The American Dreams.
Posted on Maret 24, 2015
0