Subuh tadi, mataku terpaku pada selembar kertas yang kutempelkan di dinding kamar anakku. Kertas itu bertuliskan tentang hukuman bagi orang-orang yang meninggalkan shalat. Misalnya, yang meninggalkan shalat Subuh sekali, akan dihukum masuk neraka selama 30 tahun, di mana 1 tahun neraka = 60.000 tahun di dunia. Yang meninggalkan shalat Dhuhur sekali, hukumannya sama dengan membunuh 1000 orang Muslim. Yang meninggalkan shalat Ashar barang sekali, dianggap setara dengan menutup Ka’bah. Dan seterusnya, dan seterusnya…. yang intinya, semua bermuara pada Neraka.
Tadinya lembaran kertas itu kutulis untuk mengingatkan diri sendiri. Karena tempat shalat ada di kamar anak, maka kutempelkan di sana. Namun pagi hari tadi, pikiranku tersentuh. Mengapa aku harus menempelkan kertas semacam ini? Tidakkah ini justru membuatku semakin terseret jauh dalam ketakutan akan hukuman? Padahal pendekatan sistem reward-punishment berupa surga-neraka, sudah lama kujauhi. Sejak aku menyadari bahwa pendidikan agama yang kuterima sejak kecil, tidak pernah bisa memuaskan rasa ingin tahuku tentang Tuhan. Yang terjadi malah pengkerdilan, ketakutan untuk bertanya, ketakutan terhadap gambaran neraka yang dipenuhi orang-orang yang dituangi timah panas, dan sejenisnya. Juga yang tumbuh, justru sikap mudah emosi ketika mendengar orang lain mempertanyakan agama yang kuanut. Karena memang aku jarang dilatih untuk bisa menjawab dan riset. Yang dilatih oleh lingkunganku justru hanya mengiyakan, tanpa boleh berpikir sebaliknya.
Dalam rumah, sebisa mungkin aku tidak pernah bercerita tentang neraka atau surga kepada anakku. Dan sampai sekarang, dia memang tidak pernah bertanya. Pertanyaannya masih seputar tentang ketakjubannya pada eksistensi Tuhan. “Gimana caranya Tuhan bisa dengar doa kita? Kan tempatnya jauh.”…. “Apa kalau aku minta baju baru sekarang juga, Tuhan akan kirim baju itu?”….. “Rumahnya Tuhan di luar angkasa ya, Mom? Kalau kita jadi astronot, kita bisa main ke rumahnya.”…. “Kenapa Tuhan tidak mau dilihat oleh manusia?”…. dan sejenisnya.
Dan nampaknya, di sekolah dia, ide tentang surga neraka juga tidak pernah diperkenalkan. Aku tahu itu, karena memang tidak ada pelajaran agama di sekolah. Juga karena anakku tidak pernah heboh membawa kabar tentang hal itu ke rumah.
Tapi aku yakin, suatu saat kelak, dia pasti akan tahu juga konsep reward-punishment dalam agama ini. Dan aku tidak mau itu dia dapatkan dari rumah. Aku ingin di rumah, anakku mengenal Tuhan dengan cinta, bukan dengan hukuman atau ketakutan. Juga bukan dengan hitung-hitungan jumlah pahala dan dosa, yang terkesan demikian sangat beratnya, sehingga memikirkan itu saja sudah membuat hati jadi penat. Boro-boro mau belajar mencintai, bisa-bisa nanti malah jadi paranoid.
Jadi kuputuskan, pagi tadi, untuk merobek kertas itu dan membuangnya. Akan kugantikan semua kesan menghukum itu dengan sisi yang sebaliknya, yakni CINTA. Kuharap dengan itu, ia akan tumbuh sebagai insan yang mencintai Tuhannya, dan akan beribadah terus biarpun tanpa iming-iming surga dan ancaman neraka. Karena kalau orang sudah bisa mencintai sesuatu, ia akan menempuh jalannya dengan senang hati tanpa perlu dipaksa atau ditakut-takuti. Seperti kemarin, dia heboh mengejar waktu dan shalat sendirian, karena terlambat bangun. Bukan karena kupaksa, tapi karena keinginannya sendiri.
Kalaupun kelak dia kenal juga dengan soal surga neraka, kuharap dampak dari Cinta akan lebih kuat melekat padanya. Sehingga dia bisa terus membawa pesan perdamaian, ketentraman, dan harapan. Bukan sebaliknya.
Doakan aku bisa.
Safrina Dewi
April 7, 2015
Lalu, bagaimana mengenalkan konsep surga dan neraka pada anak? Mengikuti saja, belum saatnya, atau tidak perlu? Atau dibuat pendekatan ‘untuk orang-orang yang…’?
Aku jadi ingat di jaman kita kecil dulu ada buku stensilan bergambar tentang surga dan neraka. Yang ilustrasinya bisa bikin tidak bisa tidur 3 hari 3 malam. Tentu saja buku-buku semacam itu harus dijauhkan dari anak-anak.
Btw, karena penasaran, tadi sempat cek indeks Alquran. Ayat yang menyebutkan tentang surga dan neraka jumlahnya masing-masing sama, 50 ayat. Sama dengan jumlah ayat yang menyebut kata ‘shalat’ (50 ayat) dan ‘sabar’ (50 ayat), tapi masih lebih sedikit daripada total jumlah ayat yang menyebut kata ‘ilmu’ dan ‘berpikir’ (61 ayat). Ya, mungkin tidak ada artinya, karena ajaran hidup yang holistik dengan tauhid sebagai dasar utamanya. Dan Alquran diajarkan secara sistematis dengan pendekatan cinta. Cinta Tuhan pada manusia. Wallahu’alam.
Julie Nava
April 13, 2015
Kalau aku mikirnya tidak dengan mengenalkan surga neraka, tapi konsekuensi terhadap sebuah perbuatan.
Misalnya kalau orang berbuat jahat, maka konsekuensinya dia akan dihukum. Kalau orang berbuat baik, maka dia akan mendapat kebaikan juga.
Aku nggak terlalu antusias mengenalkan konsep surga neraka, karena entah kenapa ya, justru banyak sekali literatur yang mengenalkan konsep hukuman itu malah kesannya violent banget. Misalnya nanti kalau nggak pake jilbab, di neraka akan dituangi timah, ditusuk pake besi panas, dsb…. ya persis kayak buku komik yang dulu kita baca, Nonk. Penuh dengan gambar-gambar seram. Malah kesannya itu Tuhan begitu pemarah dan pendendam.
Lalu setelah dewasa, literatur yang banyak membahas ancaman itu justru bikin aku mudah paranoid dan judgemental. Kalo lihat orang nggak pake jilbab, pikirannya langsung, “wah, calon penghuni neraka, nih.” Kayak gitu. Padahal urusan setelah mati kan bukan di tangan kita. Terserah Allah mau taruh orang di neraka atau surga. Kita belum tentu tahu mana amalan seseorang yang bisa mengantar mereka ke surga. Ya, nggak?
Dan ya, aku sepakat, seharusnya konsep sabar, mencari ilmu, berpikir, bersikap sederhana, justru lebih ditonjolkan daripada ayat-ayat perang dan hukuman.
Safrina Dewi
April 13, 2015
Huehehehe… bener, bisa jadi parno dan judgemental, mudah menghakimi orang lain dan melihat dari luarnya saja. Semoga saja kita tidak terjebak dalam pola pikir demikian 🙂
Julie Nava
April 20, 2015
Ya, nggak terlalu baik sebenarnya jika memiliki cara pandang yang terbentuk karena ketakutan dan ancaman 🙂
Sebenarnya aku mau nyari referensi tentang ketakutan yang ditanamkan pada anak terhadap perkembangan jaringan otak mereka, tapi belum sempat saat ini.