Cinta, Bukan Neraka

Posted on April 1, 2015

4


happy-kid-clipart-kid_rowSubuh tadi, mataku terpaku pada selembar kertas yang kutempelkan di dinding kamar anakku. Kertas itu bertuliskan tentang hukuman bagi orang-orang yang meninggalkan shalat. Misalnya, yang meninggalkan shalat Subuh sekali, akan dihukum masuk neraka selama 30 tahun, di mana 1 tahun neraka = 60.000 tahun di dunia. Yang meninggalkan shalat Dhuhur sekali, hukumannya sama dengan membunuh 1000 orang Muslim. Yang meninggalkan shalat Ashar barang sekali, dianggap setara dengan menutup Ka’bah. Dan seterusnya, dan seterusnya…. yang intinya, semua bermuara pada Neraka.

Tadinya lembaran kertas itu kutulis untuk mengingatkan diri sendiri. Karena tempat shalat ada di kamar anak, maka kutempelkan di sana. Namun pagi hari tadi, pikiranku tersentuh. Mengapa aku harus menempelkan kertas semacam ini? Tidakkah ini justru membuatku semakin terseret jauh dalam ketakutan akan hukuman? Padahal pendekatan sistem reward-punishment berupa surga-neraka, sudah lama kujauhi. Sejak aku menyadari bahwa pendidikan agama yang kuterima sejak kecil, tidak pernah bisa memuaskan rasa ingin tahuku tentang Tuhan. Yang terjadi malah pengkerdilan, ketakutan untuk bertanya, ketakutan terhadap gambaran neraka yang dipenuhi orang-orang yang dituangi timah panas, dan sejenisnya. Juga yang tumbuh, justru sikap mudah emosi ketika mendengar orang lain mempertanyakan agama yang kuanut. Karena memang aku jarang dilatih untuk bisa menjawab dan riset. Yang dilatih oleh lingkunganku justru hanya mengiyakan, tanpa boleh berpikir sebaliknya.

Dalam rumah, sebisa mungkin aku tidak pernah bercerita tentang neraka atau surga kepada anakku. Dan sampai sekarang, dia memang tidak pernah bertanya. Pertanyaannya masih seputar tentang ketakjubannya pada eksistensi Tuhan. “Gimana caranya Tuhan bisa dengar doa kita? Kan tempatnya jauh.”…. “Apa kalau aku minta baju baru sekarang juga, Tuhan akan kirim baju itu?”….. “Rumahnya Tuhan di luar angkasa ya, Mom? Kalau kita jadi astronot, kita bisa main ke rumahnya.”…. “Kenapa Tuhan tidak mau dilihat oleh manusia?”…. dan sejenisnya.

Dan nampaknya, di sekolah dia, ide tentang surga neraka juga tidak pernah diperkenalkan. Aku tahu itu, karena memang tidak ada pelajaran agama di sekolah. Juga karena anakku tidak pernah heboh membawa kabar tentang hal itu ke rumah.

Tapi aku yakin, suatu saat kelak, dia pasti akan tahu juga konsep reward-punishment dalam agama ini. Dan aku tidak mau itu dia dapatkan dari rumah. Aku ingin di rumah, anakku mengenal Tuhan dengan cinta, bukan dengan hukuman atau ketakutan. Juga bukan dengan hitung-hitungan jumlah pahala dan dosa, yang terkesan demikian sangat beratnya, sehingga memikirkan itu saja sudah membuat hati jadi penat. Boro-boro mau belajar mencintai, bisa-bisa nanti malah jadi paranoid.

Jadi kuputuskan, pagi tadi, untuk merobek kertas itu dan membuangnya. Akan kugantikan semua kesan menghukum itu dengan sisi yang sebaliknya, yakni CINTA. Kuharap dengan itu, ia akan tumbuh sebagai insan yang mencintai Tuhannya, dan akan beribadah terus biarpun tanpa iming-iming surga dan ancaman neraka. Karena kalau orang sudah bisa mencintai sesuatu, ia akan menempuh jalannya dengan senang hati tanpa perlu dipaksa atau ditakut-takuti. Seperti kemarin, dia heboh mengejar waktu dan shalat sendirian, karena terlambat bangun. Bukan karena kupaksa, tapi karena keinginannya sendiri.

Kalaupun kelak dia kenal juga dengan soal surga neraka, kuharap dampak dari Cinta akan lebih kuat melekat padanya. Sehingga dia bisa terus membawa pesan perdamaian, ketentraman, dan harapan. Bukan sebaliknya.

Doakan aku bisa.