Sebelum Lenyap Selamanya

Posted on Agustus 1, 2014

4


Berita terbaru yang sekali lagi membuat saya terhenyak adalah isu tentang rencana penghancuran Ka’bah oleh kelompok militan yang sekarang lagi moncer di Irak. Well, you know who. Siapa lagi kalau bukan ISIS. Setelah sebelumnya meledakkan makam Nabi Yunus, dan entah makam siapa lagi nanti yang akan diledakkan. Sayangnya, yah, seperti biasa, kelompok dengan urat leher yang selalu tegang macam begini, mudah sekali masuk dan “disambut ramah” di Indonesia. Beginilah kalau konsep jihad selalu diartikan dengan memanggul senjata.

Bicara soal penghancuran situs Islam bersejarah di kawasan Arab Saudi, sebenarnya bukan hal baru. Sejak tahun 1800-an, penghancuran sudah banyak dilakukan dengan dalih menghindarkan orang dari menyembah berhala (or whatever sh*t they believed). Apalagi sepuluh tahun belakangan ini, di mana penghancuran situs sedemikian gilanya, hingga boleh dibilang sudah 95% situs terkait dengan sejarah Islam di kawasan tersebut sudah lenyap.

Saya tidak pernah bisa memahami, mengapa untuk menghindari penyembahan pada berhala atau untuk menegakkan konsep Ketuhanan yang dianggap benar, harus dilakukan dengan menggerus habis peninggalan bersejarah? Tetapi sudahlah, tujuan tulisan kali ini adalah untuk mengabadikan secuil memori yang terkait dengan Mekkah di masa lampau. Setidaknya, sebelum semuanya benar-benar lenyap di sana, masih ada catatan yang bisa dibaca.

Kisah tentang Mekkah sudah saya dengar sejak kecil, ketika Bapak bercerita tentang riwayat kakek buyut kami. Semasa muda, beliau mengadu nasib dengan berdagang, tetapi selalu rugi. Sampai kemudian guru ngajinya berkata bahwa peruntungannya bukanlah di jalur perdagangan, melainkan di jalur agama. Maka berangkatlah beliau ke Mekkah untuk berhaji sekaligus menimba ilmu.

Pada masa itu, perjalanan ke Mekkah tentu tidak semudah sekarang. Harus berbulan-bulan naik kapal, dan berhaji dengan perangkat seadanya. Saat pulang, kapal yang beliau tumpangi terpaksa tertahan beberapa waktu di Singapura, karena perang Aceh meletus. Keluarganya di kampung sudah resah dan kehilangan harapan. Karena lama tak ada kabar, mereka menganggap beliau sudah wafat di tanah suci, dan bersiap mengadakan selamatan. Nyaris bertepatan dengan itu, beliau tiba dengan memanggul banyak kitab tebal, yang menjadi bekalnya saat menjalankan tugas. Selanjutnya beliau menjalankan fungsi sebagai pemimpin agama, meskipun nampaknya tidak melepaskan diri 100% dari lingkaran jejaringnya di jalur perdagangan. Sempat saya lihat secarik brosur tua bertuliskan Sarekat Islam di lemari, diantara lipatan kitab tebal yang sudah menguning dan beraroma debu.

Banyak cerita menarik dari Bapak tentang kakek buyut kami. Beliau dikenal dengan julukan Kyai Mardeh, alias Kyai Bara, karena kalau berjalan di malam hari, untaian tasbih yang ditaruh di atas gelungan sorbannya memancarkan cahaya. Dan sebagaimana layaknya para pemimpin agama masa lalu (bahkan sampai masa kini pun ada), terdapat sejumlah kisah misterius yang mengelilinginya. Termasuk soal kepekaannya membaca pertanda alam. Ada cerita tentang barisan ulat yang berjalan dari pohon kedondong ke pohon lainnya, yang beliau sentuh salah satunya sembari menangis. Orang-orang menerjemahkannya sebagai pertanda bakal terjadi bencana. Kemudian kisah serdadu Belanda yang terperangah ketika hendak masuk dalam lingkungan kampung. Sebab yang dia lihat adalah gunung besar, dan air yang tak mungkin diseberangi. Menurut cerita, beliau saat itu sedang memagari kampung dengan doanya. Ada lagi kisah seorang santrinya yang jadi gila, setelah mencuri Alqur’an yang disalin dengan tangan oleh beliau. Kata orang-orang, dia keneng tola, alias ketulah, alias kena musibah karena makhluk halus penjaga kitab itu berang. Tapi menurut saya, gilanya itu mungkin karena rasa takut luar biasa yang disandangnya. Dengan segudang mitos tentang penjaga kitab yang membuat jantung berdebar, rasa bersalah karena telah mencuri, dan ketakutan bakal kena kutuk, sangat masuk akal kalau kemudian si mantan santri itu jadi stress dan akhirnya hilang ingatan.

Dari sejumlah kisah itu, yang paling dalam tertanam di benak saya adalah kisah perantauannya ke Mekkah. Seperti apakah gerangan rasanya, berbulan-bulan naik kapal kayu, merapat di sejumlah pelabuhan, sebelum akhirnya tiba di tanah suci? Seperti apakah bentuk sandal kulit yang dipakainya? Seperti apa rasanya menapak daratan tandus berdebu, dengan sinar matahari demikian menyengat, tanpa fasilitas AC maupun bangunan peneduh yang megah? Apa saja makanan yang beliau persiapkan dan disantap di sana? Siapa saja yang ditemui dan dikenalnya? Siapa nama gurunya? Apakah beliau juga sempat mengunjungi tempat-tempat bersejarah, seperti rumah Nabi, rumah Halimatus Sa’diyah, atau rumah orang-orang mulia lainnya di jaman Rasul?

Seandainya diberi kesempatan, saya ingin napak tilas, menghirup aroma kebersahajaan pada masa itu. Saat naik haji belum menjadi simbol status sosial yang lekat dengan mata uang. Saat orang menempuh perjalanan panjang penuh marabahaya dan keterbatasan, demi untuk belajar tentang Islam.

Ini beberapa foto dari internet, yang menampakkan wajah Mekkah di masa lalu. Orang-orang yang berkemah sembari membuat perapian untuk memasak. Mereka yang tetap mengelilingi Ka’bah meskipun banjir. Rumah Halimatus Sa’diyah, yang menyusui Rasul semasa kecil. Serta tempat melempar jumroh yang masih sederhana.

haleemah-copy1images1images2images3