Bagaimana mengajarkan kelahiran dan kematian kepada anak?
Jawabannya: melalui dongeng.
Bagaimana merubah sosok hantu yang mencekam dan menakutkan bagi anak?
Jawabannya sama: Melalui dongeng juga.
Maya’s Children adalah kisah tentang La Llorona, yang dikenal dalam khasanah dongeng Amerika Selatan sebagai seorang perempuan cantik yang membunuh anak-anaknya sendiri bersama dengan laki2 yang dicintainya tetapi mengkhianatinya. La Llorona artinya “The Crying Woman”, roh perempuan muda yang gentayangan karena dia tidak diperkenankan memasuki akhirat sebelum dia menemukan anak-anaknya. Dan roh La Llorona dikisahkan suka menculik anak-anak yang bermain sendirian atau anak-anak yang tidak patuh pada orangtuanya. Dongeng ini kerap dipakai oleh para orangtua untuk menakut-nakuti anak mereka, persis seperti saat kita kecil, orang dewasa kerap mendongengkan kisah menakutkan agar kita tidak bermain di luar terlalu lama.
Namun Rudolfo Anaya menulis kisah La Llorona dengan versi berbeda. Dia hendak menghapus imej buruk La Llorona dengan mengalihkan “status orang jahat” kepada Dewa Waktu. Dia ingin membuat sosok La Llorona tidak lagi menyeramkan bagi anak-anak, dan anak-anak bisa memahami makna kematian tanpa membuat mereka ketakutan. Dia menulis: this story teaches youngsters about mortality. I believe all myths or folktales can be adapted, especially for specific-age groups, to tell an interesting and valuable story. Dongeng atau legenda sah-sah saja direka ulang, terutama jika kita ingin menyampaikan pesan moral dari sudut pandang yang berbeda. Malin Kundang, misalnya, sah-sah saja direka ulang jika kita ingin menyampaikan pesan bahwa orangtua pun bisa “durhaka” kepada anak. Atau bahwa kemiskinan itu terlalu menyakitkan untuk dikenang, sehingga banyak orang memilih “durhaka” atau mengingkari masa lalunya dengan mengubah catatan sejarah hidupnya.
Dalam buku ini, La Llorona semasa kecil bernama Maya, yang dianugerahi umur panjang sehingga dia dibenci oleh Dewa Waktu yang tidak bisa menyentuhnya. Maya kemudian disembunyikan di sebuah pulau terpencil agar selamat dari incaran Dewa Waktu, dan agar tidak kesepian, dia diberi ilham untuk membuat anak-anak dengan cara membuat tembikar yang diisi tanah subur saat bulan purnama. Setiap kali dia mengisi tembikar tersebut dengan tanah, maka seorang pemuda datang kepadanya dan memberi biji tanaman untuk ditanam dalam tembikarnya. Selang beberapa bulan, biji tersebut berubah menjadi bayi mungil. Demikian seterusnya hingga dia memiliki beberapa anak yang cantik dan tampan. Anak-anak Maya juga terlindungi dari incaran Dewa Waktu selama Maya bisa menyimpan tembikarnya baik-baik.
Namun suatu saat, Dewa Waktu akhirnya bisa mengecoh Maya dan membuatnya memecahkan tembikar dan membuangnya ke sungai. Tembikar itu larut kembali menjadi tanah, dan anak-anak Maya lenyap dicuri oleh Dewa Waktu. Maya pun akhirnya merana dan rohnya tetap berkelana di muka bumi, menangis dan mencari anak-anaknya. Sejak itu orang-orang mengenalnya dengan sebutan La Llorona.
Dongeng La Llorona versi Rudolfo Anaya ini menekankan aspek manusiawi dari sosok hantu yang melegenda, juga sebuah koreksi atas gambaran sosok perempuan dalam khasanah folklore rakyat Meksiko. Tidak ada satu pun kalimat di dalamnya yang menggambarkan La Llorona sebagai penculik anak yang mengerikan. Sebaliknya, isi ceritanya mengesankan sebuah simpati kepada sosok Maya dan mengapa dia selalu ingin mendekati anak-anak.
Bandingkan dengan versi filmnya yang bergenre thriller horror penuh dengan visualisasi yang menakutkan tanpa memberi pengayaan yang memadai. Bandingkan pula dengan versi aslinya yang mengambarkan Maya sebagai perempuan sadis dan egois, yang menenggelamkan anak-anaknya ke sungai agar dia dapat menikahi pria idamannya. Ketika ditolak oleh pria itu, Maya memilih bunuh diri dan dia ditolak pula oleh malaikat penjaga langit sebelum bisa menemukan anak-anaknya kembali.
Karya Rudolfo Anaya ini menjadi penyeimbang yang manis. Jika anak-anak dibesarkan dengan dua versi dongeng ini, mereka akan tumbuh dengan kenangan yang berbeda. Mungkin kesan seram tidak mudah hilang dari benak mereka, karena legenda begitu kuat mengikat bawah sadar manusia. Namun setidaknya mereka tahu bahwa dalam sebuah karakter paling antagonis pun, masih ada setitik cahaya kemanusiaan.
syifa
Februari 13, 2015
SUKA
Julie Nava
Februari 14, 2015
Thanks ! 🙂