Menanti Pelangi dan Matahari

Posted on Juli 28, 2014

0


620Shalat Ied tahun ini dinaungi mendung tebal. Angin terasa dingin masuk menembus pori-pori kulit, padahal belum lagi musim gugur tiba. Dua hari lalu, angin juga demikian. Aku menggigil saat menceburkan diri dalam kolam, menemani anakku yang tak sabar bermain air bersama temannya. Mama temannya berkata, bahwa tahun ini memang cuaca sangat berbeda. Lebih dingin. Sementara di belahan bumi lainnya lebih panas.

Sembari mendengarkan khutbah Ied, hampir saja hatiku berkata bahwa ini Ramadhan terburuk yang pernah kulalui. Kalau sebelumnya paling hanya tidak konsisten tarawih di minggu-minggu terakhir. Sekarang makin tercerai-berai karena momen pilpres, pesawat jatuh, genocide di Gaza, makam Nabi Yunus yang diledakkan, serta gonjang-ganjing aneka kasus kemanusiaan lain yang tak kunjung usai.

Tetapi aku lantas ingat tentang kisah seorang laki-laki yang sudah diseret menuju neraka. Ia tetap menoleh, dan menoleh lagi, hingga ditanya mengapa dia berbuat demikian. Jawabannya adalah, karena ia masih berharap Tuhan mau mengampuninya. Siapa tahu, siapa tahu…. Demikian ia terus berharap. Dan harapan itu akhirnya dikabulkan.

Kisah laki-laki itu adalah salah satu gambaran optimisme. Bahwa dalam keadaan apapun, jangan pernah berhenti untuk mengharapkan hal terbaik. Bahkan ketika kondisi sudah tak tertanggungkan sekalipun. Tetaplah bergerak, lakukan yang terbaik, dan panjatkan harapan serta doa yang terbaik pula.

Di balik setiap hujan, selalu ada pelangi dan matahari. Kita tetap menanti mereka, sekalipun mendung dan hujan tebal menggelayut. Sebab itulah yang dijanjikan pada kita.

Fa’innama’al ‘usri yusro. Innama’al ‘usri yusro. Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.