Di sebuah stasiun kereta, masih berkilau sisa-sisa hujan di sulur rerimbunan ivy tua.
Seorang lelaki renta mendekapkan bungkusan ke dada. Dingin masih menetes juga.
Orang-orang duduk bersideku. Pekerja malam mengangkat kepala dengan cemas ke arah langit, gugup menghirup sisa kopi dari termos tua.
Ia menanti. Dan dingin masih menetes juga.
Kaki para pejalan menyibak genangan di aspal hitam licin. Dua gelandangan, mesra mendekap mimpi.
Dengan kuku memucat kuning. Berbalut kata-kata yang tertelan kembali.
Ah, bahkan sepi pun enggan beranjak pergi.
Di sebuah stasiun kereta, pernah terlahir yang bernama cinta, dari tetesan hujan dan sayap-sayap burung gereja. Yang terhempas di jalanan basah, dan langit kelabu yang menyembunyikan purnama.
Di tempat itu, kubungkus sisa-sisa perjalanan purba, kurengkuh hempasan air dari roda-roda taksi, dan derit panjang yang mengiris malam.
********
Safrina Dewi
Februari 9, 2014
Nglangut bacanya Ay… 😦
Julie Nava
Februari 11, 2014
Ngantuk nggak bacanya? wkwkwkwk