Memoir: Sejujur Apakah Kita Menulis Kisah Hidup Sendiri?

Posted on Maret 4, 2013

5


Seorang dokter menulis memoir, tentang masa di mana kehadirannya tidak diinginkan. Ketika sebagian besar temannya mendapatkan limpahan cinta, dia dianggap sebagai pembawa sial. Ibunya meninggal sewaktu melahirkannya, dan sejak saat itu, dunia kelabu baginya. Hingga kemudian dia berhasil memenangkan beasiswa untuk studi ke Inggris, dan akhirnya memiliki keluarga bahagia.

Nama dokter itu Adeline Yen Mah, yang karyanya memenangkan beberapa penghargaan, sekaligus menuai kepahitan. Sebab yang dia tulis adalah kejujuran. Tentang apa yang dia rasakan sewaktu bocah, terutama dalam keluarganya.

Menulis memoir memang membutuhkan keberanian tersendiri. Berbeda dengan menulis fiksi,di mana kita bisa menyembunyikan jati diri melalui tokoh-tokoh rekaan. Juga bisa mengganti nama, agar tak ada orang yang merasa terluka, marah, atau kehilangan muka. Bahkan orang paling jahanam pun, saya yakin pasti tetap ingin dikenal sebagai malaikat. Mereka akan marah jika disebut keji, sekalipun demikianlah kenyataannya.

Namun itulah memoir. Memoir adalah kejujuran. Tempat di mana seorang penulis akhirnya bersedia mengurai luka demi luka, menggali pedih yang lama dipendam, menelusuri rekahan hati yang pernah tercerai, dan menguntainya dalam kalimat.

Sulit ? Tentu saja. Siapa yang ingin diingatkan pada kepedihan ? Semua orang pasti ingin bahagia, ingin menampilkan wajah manis, ingin membuat orang lain bergumam betapa beruntung dirinya. Tidak ada yang ingin membuka rahasia, tentang malam-malam penuh cacian, kesakitan dan darah karena tamparan, mata dan hati yang mengering karena terlalu lama menitikkan air mata. Tanpa seorang pun tahu.

Menulis memoir membutuhkan ketahanan hati dan emosi, sebab ketidaksempurnaan jarang bisa diterima. Sang penulis bisa saja dicaci, mengapa membuka aib orang lain, mengapa membuka aib sendiri. Tidakkah itu dilarang oleh norma ? Tidakkah itu mencoreng nama baik keluarga ? Tidakkah itu melangkahi sabda Tuhan ?

Namun sekali lagi, itulah memoir. Ia ditulis bukan untuk menyenangkan atau menghibur pembacanya. Ia ditulis sebagai pernyataan jujur dari sang penulis sendiri. It’s me. Inilah aku apa adanya. Tanpa selubung maupun topeng.

Jangan dikira menulis memoir menyenangkan bagi penulisnya. Perlu perjuangan tersendiri untuk melawan rasa malu, takut, sedih, seraya tetap menegakkan kepala.

Saya sendiri tidak akan sanggup seperti itu. Seperti halnya banyak orang, saya pun punya bejana retak. Yang saya simpan jauh di tempat rahasia, dan saya jenguk sendirian. Belum berani saya membawanya keluar, sebab ketakutan saya demikian besar.

Karena itulah, saya menghargai para penulis memoir. Sebab setidaknya mereka sudah dapat mengenyahkan segala ketakutan itu, dan menghadapi dunia tanpa kepura-puraan.