Kasus Oscar Pistorius yang menembak pasangannya, memenuhi semua channel berita. Sukar untuk percaya rasanya, bahwa orang seperti dia akan sanggup melakukan kekerasan separah itu (jika dugaan bahwa dia membunuh pasangannya dengan sengaja itu terbukti benar).
Namun apa boleh buat, inilah fakta. Banyak figur ternama tersandung kasus kekerasan terhadap pasangan. Dan fakta bahwa Afrika Selatan adalah negara dengan tingkat kekerasan terhadap perempuan yang tertinggi di dunia, tidak banyak membantu upaya Pistorius untuk membersihkan dirinya.
Di sini saya tidak akan membahas soal benar tidaknya Pistorius dengan sengaja membunuh Reeva. Yang akan saya tulis adalah aspek kekerasan terhadap perempuan. Sebab, kasus ini mengingatkan saya, betapa riskannya berada dalam sebuah hubungan dengan pasangan yang abusif.
Setiap kali mendapat pertanyaan dari sesama perempuan tentang bagaimana memilih jodoh, poin yang pasti saya katakan adalah, lihat sikapnya. Jika lelaki itu sering merendahkan pasangannya, baik terang-terangan atau bercanda, sebaiknya tidak dipilih. Jika ia mudah main tangan, gampang marah, tidak menimbang perasaan, suka bermain api dengan perempuan lain, kecanduan alkohol atau obat terlarang, lebih baik dihindari. Jika ia meninggalkan anak istrinya demi “cinta” pada perempuan lain, sebaiknya pikir beribu kali sebelum mengiyakan.
Menerangkan mengapa sebaiknya kita menghindari orang yang seperti ini, sebenarnya mudah. Yang sulit itu ternyata adalah membuka mata pasangannya.
Sebagian dari mereka menganggap wajar kalau lelaki main tangan untuk “meluruskan” perempuan. Sebagian dihinggapi ilusi, bahwa mereka pasti bisa merubah watak pasangannya, dan yakin seiring berjalannya waktu si lelaki akan menjadi baik. Yang lainnya, bersimpati dengan “kisah malang si lelaki di masa lalu”, dan berusaha bertahan walaupun jelas-jelas mereka hanya menjadi sasaran sikap buruknya.
Kalau sudah berkalang cinta seperti ini, tidak banyak yang bisa dilakukan. Paling-paling saya cuma bisa bilang, “Up to you. Aku cuma ngasih masukan. Selanjutnya tergantung kamu sendiri.” Atau ikut berempati kalau terjadi sesuatu yang menyedihkan. Itu pun sembari menahan diri, karena hampir sulit untuk tidak berkomentar, “Tuh, kan? Aku dulu udah bilang ke kamu…”
Baru-baru ini saya menemukan metode yang nampaknya jitu, setelah melihat kehidupan sebuah keluarga yang damai. Resepnya sederhana saja: “Pilih yang wataknya bagus. Kalau ada lelaki baik, jangan keburu ditolak. Sebab yang seperti itu jarang datang dua kali.”
Kalimat seperti itu ternyata ampuh. Seperti sabun cuci piring paling mutakhir yang membuat segalanya menjadi “tringgg..!” bersih cemerlang dalam sekejap. Tidak ada ratapan cinta yang mendayu-dayu, tidak ada tangisan patah hati.
Saya tidak tahu persis kenapa bisa begitu. Tetapi mungkin karena kalimat itu langsung menohok bagian paling dasar dalam pikiran kita, yakni rasa aman. Atau bisa juga karena ada bubuhan unsur kompetisi.
Jujur saja, sebagian dari kita tertarik dengan “bad boy“, salah satunya karena faktor kompetisi. Lelaki seperti itu terlihat “hot” karena dikerumuni banyak perempuan. Ada rasa puas yang timbul pada diri sebagian dari kita, kalau bisa “memenangkan piala”, walaupun harus rela menjadi bulan-bulanan.
Nampaknya rumus yang sama berlaku juga pada lelaki baik. Kalau ada unsur kompetisi, nilai tawarnya jadi bertambah.
“Lelaki baik jarang datang dua kali…. Lelaki baik banyak yang ngantri…”
Sounds super hot, doesn’t it?
*******
ayuavenue
Maret 14, 2013
how about: “lelaki baik itu rata2 beristri..”
lols
Julie Nava
Maret 15, 2013
Status: taken, hehehehe. makanya kudu buruan… 😀