Mengapa Saya Ikut Merasa Tertikam oleh Kasus PKS

Posted on Februari 2, 2013

38


Selama ini saya cenderung menghindari penggunaan atribut agama untuk hal-hal tertentu; seperti masalah pekerjaan, politik, keberpihakan saya terhadap isu perempuan, dan sebagainya.

Sebab sering saya menemui kasus, penggunaan atribut itu menjadi sumber matinya sikap kritis. Shut down the logic, begitu yang sering saya katakan. Orang mudah sekali mengamini sesuatu hanya karena ada embel-embel kutipan ayat suci tanpa menelaah konteksnya lebih lanjut, tanpa riset sumber asli. Sudah sering bukan, terima forward aneh-aneh yang ditempeli kutipan ayat?

Alasan lainnya adalah karena tidak sedikit orang menggunakan atribut untuk mengecoh khalayak. Hitung saja berapa banyak koruptor dan politikus bermasalah, artis bermasalah, rame-rame pakai kostum agamis dan mendadak alim.

Tidak sedikit juga kasus ketidakprofesionalan dibungkus dengan baju agama, dan bikin jengah orang yang hendak menuntaskan sebuah masalah secara profesional. Seperti pengalaman seorang teman saat dia menerbitkan buku di sebuah penerbitan yang juga bergerak di bidang dakwah/sosial. Ketika hasilnya acak-acakan dan diprotes oleh teman saya itu, mereka malah balik menuduh teman saya tidak ikhlas membantu gerakan amal mereka. Ini menyebalkan, sebab mereka menggunakan aspek keyakinan sebagai alat untuk membungkam customernya dan berkelit dari tanggung jawab.

Masih banyak pengalaman lain, yang intinya semakin memperkokoh pilihan saya untuk menggunakan perspektif yang sering dicap orang sebagai “liberal”, “westernized”, “sekuler”, atau apalah itu namanya. Sebab justru dengan perspektif itu, saya bebas melontarkan pemikiran, tanpa harus digelayuti oleh rasa bersalah ketika pandangan saya berbeda dengan komunitas. Saya tidak harus terlibat secara emosional dalam memandang sebuah hal. Bisa menempatkan mana profesionalitas dan mana yang tidak, tanpa dikeruhi oleh sebutan ‘Tuhan”, “surga neraka”, “dosa”, dan sejenisnya. I’m free, liberated, merdeka dalam hal berpikir dan memilih.

Namun ini anehnya. Seharusnya dengan pola pikir demikian, saya tidak ambil pusing dengan kasus yang menimpa PKS. Toh saya sudah tahu, dimana-mana, yang namanya politik pasti rawan dengan penyelewengan, siapapun itu yang terlibat. Mau orang alim kek, orang brengsek kek, nggak bakal ada yang imun 100% . Apalagi di Indonesia, yang semua nyaris bisa dilakukan hanya berdasarkan kedekatan dengan orang penting.

Seharusnya saya tidak peduli. Namun kenyataannya, saya merasa sakit bukan main, seperti ditikam telak di ulu hati, biarpun bibir saya tetap melontarkan ledekan. Sampai-sampai saya demam dua hari. Ini aneh. Lalu saya mencoba mengurai apa sumber perasaan ini.

Ternyata baru saya sadari, bahwa sekalipun berbeda perspektif, saya termasuk yang diam-diam menaruh harapan pada partai ini. Konyol, tapi itulah yang terjadi. Saya berharap suatu saat akan ada calon alternatif, tidak yang itu-itu saja, yang bisa muncul dan memberi warna baru di Indonesia. Seperti Jokowi-Ahok, itu warna baru, dan segar. Saya berharap, dari partai ini pun akan muncul yang seperti itu, mengingat track recordnya terbilang lumayan baik dibandingkan partai lain.

Mungkin tidak hanya orang seperti saya, yang notabene masih sama-sama muslim. Siapa tahu yang lain, yang non-muslim pun, ikut menaruh harapan diam-diam. Sebab setiap orang pada dasarnya sama, mereka menginginkan pemimpin yang bisa mengayomi. Bisa diandalkan. Siapapun itu orangnya, apapun latar belakangnya.

Saya yakin banyak yang merasa tertikam oleh kasus ini, terkecoh, dan akhirnya kecewa. Tetapi mudah-mudahan, setelah masa demam berlalu, semuanya akan menjadi lebih baik.