Saya heran, setiap kali ada kasus plagiarisme di Indonesia yang mencuat ke permukaan, selalu saja ada debat kusir bertele-tele. Padahal faktanya sudah sangat jelas.
Konsep umum tentang plagiarisme adalah: mengakui karya orang lain sebagai karyanya sendiri.
Jadi, kalau anda melirik kertas jawaban milik teman dan menyalinnya sama persis, itu disebut menjiplak dan termasuk plagiat. Nggak mungkin orang bisa mengelak dan menyebutnya sebagai memanjat pohon.
Demikian juga kalau ada seseorang menulis naskah sama persis dengan karya orang lain, lalu diakui sebagai karyanya sendiri, itu sudah jelas plagiat. Masa mau dibilang dokumentasi? Dan yang model kayak begini, sudah tidak perlu diperdebatkan.
Namun nampaknya, kita perlu belajar membedakan mana yang disebut plagiat penuh, mana yang disebut sebagai pengembangan ide. Mana yang bisa diklaim, mana yang sulit. Mana kategori tindakan yang overlapping, mana yang sudah jelas-jelas plagiat.
Saya mengambil sebuah contoh. Thomas Edison membuat bola lampu dan itu diakui sebagai hasil karyanya. Tetapi dia tidak pernah mengakui bahwa kabel, cat, atau tiang listrik, sebagai hasil karya dia. Membuat bola lampu dengan berbagai komponen yang sudah tercipta sebelumnya, itu bukan plagiat. Lain halnya jika Thomas Edison meniru mentah-mentah desain sebuah telepon karya ilmuwan lain hingga sama persis, lalu dia akui sebagai karya dia. Barulah dia bisa dituntut dengan pasal pelanggaran Hak Cipta dan Plagiarisme.
Sama halnya dengan IDE, TEMA TULISAN, ILHAM. Misalnya ada penulis mendapat ide tentang kisah patah hati, dan mewujudkannya sebagai cerpen. Dia tidak bisa dicap sebagai plagiat ide, hanya karena orang lain merasa pernah patah hati seperti kisah dalam cerpennya. Paling-paling yang bisa dilakukan adalah bertanya, “Kamu nulis tentang aku, ya? Asem betul kamu ini!”
Sebab, orang yang patah hati di dunia ini banyak, mungkin hampir semuanya pernah mengalami. Itu sebabnya, IDE dan TEMA TULISAN dianggap bukan sesuatu yang dapat diklaim dalam ranah Hukum Hak Cipta.
Persoalannya menjadi berbeda ketika IDE tersebut diwujudkan dalam sebuah bentuk tulisan dengan gaya dan alur khusus. Pada tahap inilah Hukum Hak Cipta berpijak. Sebuah karya, pada dasarnya sudah dilindungi oleh hak cipta begitu karya tersebut dibuat. Mau selesai atau tidak, itu tetap ada aspek hak ciptanya.
Jadi, jika ada orang lain menyalin mentah-mentah sebuah karya, tanpa menyebutkan penulis aslinya atau menyebutkan sumbernya dengan jelas, maka sudah jelas itu plagiarisme. Tidak perlu memperdebatkan benar tidaknya lagi. Termasuk jika ada orang menerjemahkan sebuah artikel, lalu nama penulisnya diganti dengan nama dia sendiri.
Sebuah UNGKAPAN UMUM, KALIMAT KLISE, juga sulit dikenai pasal Plagiarisme. Misalnya, tetangga saya mengatakan pada pacarnya, “Senyummu seindah purnama.” Dia tidak bisa dituduh plagiat, hanya karena saya juga mengucapkan kalimat yang sama.
Sebab, yang merayu dengan ungkapan seperti itu ratusan juta jumlahnya di dunia ini, dan mungkin sejak Jaman Batu pun orang-orang purba sudah menggunakannya. Itu sudah jadi ungkapan umum. Kecuali, jika saya menulis kalimat tersebut sebagai bagian dari sebuah naskah yang utuh, lalu disalin mentah-mentah seluruhnya oleh orang lain. Baru saya bisa mengklaimnya sebagai pelanggaran.
Hal lain yang sulit dikategorikan sebagai plagiat adalah jika kita menulis untuk orang lain berdasarkan kesepakatan bersama. Misalnya, menulis artikel pesanan untuk seseorang, dan kita dibayar, lalu artikelnya diatasnamakan orang lain. Atau menulis sebuah dokumen project yang diminta oleh perusahaan tempat kita bekerja, dan perusahaan mencantumkan nama mereka sebagai penyusunnya.
Meskipun sebagian orang menganggap bahwa itu termasuk dalam kategori deliberate plagiarism, kita sulit menuntutnya secara hukum. Sebab, dari awal sudah ada kesepakatan bersama. Rela nggak rela, anda toh sudah setuju untuk dibayar, dan lingkup hak cipta bukan lagi ada di tangan anda secara pribadi. Lingkupnya sudah berada di tangan sang pembayar, atau atas nama perusahaan. Jadi kalau ada yang memplagiat, maka si pembayar atau perusahaanlah yang seharusnya turun tangan.
Kasus serupa pernah terjadi pada koki selebritis Rachel Ray. Seorang ghostwriternya menggugat dan mengatakan Rachel sebagai pembohong, karena mengakui semua resepnya ditulis sendiri oleh Rachel.
Lepas dari soal saya tidak simpati dengan Rachel, saya menganggap sang ghostwriter lupa, bahwa dia memang dibayar untuk itu. Masalah rela atau tidak, bukankah seharusnya sejak awal dia tahu bahwa itulah salah satu resikonya? Kalau nggak rela, sebaiknya jangan jadi ghostwriter. Tulislah sendiri resep tersebut, terbitkan atas nama sendiri, dan klaim kesuksesanmu sendiri. Tanpa perlu memplagiat karya orang lain.
*****
Jay
April 18, 2015
Terimakasih sharing artikelnya mbak.. sip, semoga bermanfaat.
Julie Nava
April 20, 2015
Sama-sama, Jay 🙂