Menyikapi Kritik Terhadap Naskah Kita

Posted on Juli 28, 2012

0


Beberapa waktu lalu saya menulis tentang Mengapa Kita Perlu Jasa Pembaca Pertama (First Readers). Para penulis dianjurkan untuk mencari first reader, untuk membaca naskah dan memberi masukan. Dari mereka, kita akan mendapat banyak input maupun kritik tentang kualitas tulisan serta bagaimana kesan mereka sebagai pembaca. First readers ibarat editor pertama, sebelum naskah masuk dalam medan yang sesungguhnya.

Mudahkah menghadapi reaksi first reader? Jawabannya: Bisa mudah, jika dia hanya berbasa-basi dan enggan mengatakan pendapatnya, karena tidak ingin membuat sang penulis patah semangat. Bisa pula sulit, jika dia blak-blakan mengupas semua sisi dari naskah kita. Jujur saja, tidak semua penulis tahan menghadapi kritik. Bahkan untuk beberapa orang, masukan sehalus apapun bisa membuatnya runtuh seperti sekeping biskuit yang diremas bocah.

Lalu apa yang sebaiknya dilakukan, jika kebetulan bertemu dengan first reader yang seteliti professor? Bagaimana untuk mengurangi dampak psikologis yang timbul setelah mendengar kritikan mereka?

Tips pertama, don’t take it personal. Jangan dimasukkan ke hati. Tetaplah fokus pada tujuan untuk menjadikan kualitas naskah lebih baik. First readers masih belum apa-apa dibandingkan editor. Kalau menghadapi satu pembaca awal saja kita sudah pingsan, bagaimana nanti kalau menghadapi editor yang seringkali tidak berbasa-basi, langsung membuang naskah ke tong sampah jika lima lembar halaman pertama tidak menarik minatnya?

Tips kedua, ambillah jarak dengan naskah kita sementara waktu. Endapkan semua masukan, lalu baca kembali naskah. Dengan mengambil jarak, kita memberi kesempatan pada diri sendiri untuk melihat sesuatu dengan lebih tenang, tanpa terganggu oleh faktor perasaan atau ego yang tersentil. Ibarat batu yang dilempar ke danau. Lemparan pertama pasti membuat air bergejolak atau keruh. Setelah beberapa menit berlalu, permukaannya akan kembali tenang dan lumpur mengendap kembali. Kita pun bisa melihat lebih jelas.

Tips ketiga, tahu apa yang kita mau. Jika kita “kenal baik” dengan naskah sendiri, kita pasti tahu apa yang kita inginkan untuk perbaikannya. Misalnya kita merasa kurang pas dengan plot, maka kita bisa meminta masukan kepada first readers mengenai plot. Atau jika kita ingin naskah cocok untuk segmen tertentu, misalnya pembaca usia remaja, kita bisa memusatkan diskusi dengan first reader mengenai aspek itu. Kalau kita tidak tahu apa yang kita mau, sulit untuk memilah antara pikiran logis dengan emosi saat menerima kritik atau diskusi.

Mengetahui apa yang kita mau juga membantu menangkap detil tersembunyi dari respon first reader. Ketika saya meminta bantuan seorang teman dekat saya untuk membaca draft naskah calon novel kedua, kalimat dia berkisar — hmm, beda ya gayanya, dari tulisanmu yang dulu?…. agak pusing nih bacanya…. waduh, bikin sesak napas….. — dia tidak menjelaskan dengan runtut apa yang dia maksud dengan “pusing”, “beda”, atau “sesak napas”. Tidak semua first reader dapat menjabarkan. Namun dari beberapa kosakata inti itu, saya bisa meraba mana yang harus dibenahi dan poin apa yang ingin saya gali lebih lanjut darinya.

Tips keempat, kita tidak harus memuaskan semua first readers. Setiap orang punya kesukaan tersendiri terhadap jenis naskah. Ada yang suka fiksi teenlit, ada yang suka roman. Ada yang gemar fiksi sejarah, ada yang suka horror. Ada yang gemas dengan karakter lemah, ada yang justru bersimpati. Pengalaman dan latar belakang first readers juga beragam, dan berpengaruh pada selera dan penilaian mereka. Sama seperti pembaca lainnya, sekalipun buku kita bagus dan top, kita tidak bisa memaksa semua orang untuk suka dan membelinya. Setiap jenis buku punya segmen penggemarnya sendiri.

Tips kelima, perhatikan input yang menyangkut tentang konsistensi. Ini berlaku untuk semua jenis naskah, baik fiksi maupun non-fiksi. Sekalipun sudah berpengalaman menulis, adakalanya kita masih jatuh ke dalam soal inkonsistensi ini. Misalnya, kita membuat karakter A sebagai orang yang tegas, namun dalam cerita justru terlihat sebagai orang yang plin-plan dan cengeng. Atau kita menulis buku tentang insomnia, namun isinya justru lebih banyak tentang soal gizi. Inkonsistensi dan info yang tidak berimbang dapat mengganggu logika cerita dan keasyikan membaca. Kita tentu tidak ingin pembaca jadi bingung, bukan? Maka perhatikanlah input dari first reader yang menyangkut ini.

Tips keenam, pertahankan hubungan baik dengan first readers, terutama yang fair dan mau berkata jujur. First readers yang baik tidak pernah menyenggol kita secara personal. Mereka akan fokus pada naskah, bukan pada kepribadian kita. Jadi tidak perlu takut saat menerima kritik, karena itu yang kita butuhkan demi membuat naskah menjadi lebih baik. Bahkan sekalipun ada unsur personal atau pengalaman pribadi yang ditulis, tidak perlu merasa diserang, karena yang mereka review adalah naskah. Sekali lagi, naskah. Bukan diri kita.

Semoga tips ini cukup membantu.

********

sumber foto: http://www.shutterstock.com/pic-1613694/stock-photo-wise-owl-wearing-reading-glasses.html

Posted in: Writing Tips