Tiap kali ada orang bertanya – gimana lebaran di negerinya Obama? Rame, nggak? – jawabanku selalu: Sepi. Nggak ada petasan, nggak ada makanan istimewa. Habis sholat, ya udah, pulang aja.
Memang demikianlah adanya. Untuk soal nuansa spiritual, jangan berharap di sini sama ramainya dengan di tanah air. Yang ramai hanya masjid, dengan orang-orang berbaju bagus serta wangi, namun tanpa hidangan berlebihan.
Selesai sholat, semua antri ke hall masjid untuk mengambil hidangan, yang dari tahun ke tahun sama saja. Samosa, cemilan manis terbuat dari kacang, dan cemilan manis berbentuk melingkar dengan siraman gula cair. Yang paling heboh mungkin orang-orang dari Indonesia atau Malaysia, karena ada kebiasaan open house, dan tentu saja karena kebiasaan untuk menghidangkan gulai dan aneka hidangan gurih yang padat lemak pada momen Lebaran.
Namun sepi bukan berarti tidak ada yang bisa dinikmati. Saat Lebaran, saya sengaja meninggalkan iPhone di rumah. Tanpa iPhone, dunia kembali seperti sediakala. Tidak ada keharusan untuk terburu-buru menulis update di Facebook atau Twitter. Bisa menyapa beberapa orang tanpa terganggu oleh ringtone, dan bisa mendengarkan ceramah sang Imam dengan tenang tanpa diselingi acara memencet tombol Newsfeed. Hidup terasa kembali normal, karena menyapa manusia yang dijumpai secara fisik, bukan secara maya.
Berada dalam masjid di pagi hari saat Lebaran, seperti berada dalam sebuah ruang yang tenang. Seperti memandang danau yang jernih, dengan pepohonan dan kabut. Air biru, dan matahari yang tak terik. Inilah oase yang tenang, yang menyediakan tempat untuk merefleksikan diri, untuk menggali makna tentang menjadi seorang muslim. Menjadi jiwa yang damai, bening, dan pemaaf.
Barangkali memang perlu, sesekali Lebaran dalam nuansa yang hening, tanpa belanja dan tanpa pesta. Agar proses kembali ke fitrah tak melulu tersandung gemerlap dunia.
*****
Sumber foto: http://healingintuitivegarden.com/services/spirit_releasement
Sarah
Agustus 28, 2012
Bagus mbak tulisannya. Kesannya “hening. bening”. Cuma kalau boleh pertanyaan di dalam pembuka “Bagaimana umumnya lebaran dinegerinya Obama ? atau di spesifik statenya “Bagaimana lebaran di daerah Ohio negerinya Obama ?
Alasannya, lebaran di DC rame mbak ngak “sepi”. Kita bahkan ada acara malam takbiran sebelum lebaran. Habis shalat (biasanya dari 1500-3000 orang Indonesia ikut shalat Ied dan kita IMAAM dan Musholla KBRI bikin acara langsung makanan lontong sayur, rendang, dll. Setelah salam-salaman seperti Halal Bil Halal rasanya, seharian muter open house dan biasanya Pak Dubes juga mengadakan open house yang umumnya masyarakat Indonesia numplek disana. Sampai dua atau tiga minggu berikutnya masih ada yang open house (DCM/wakil Dubes, Athan, masyarakat, dsb).
Anyway, mbak saya rencana mau menulis buku anak-anak bilingual atau parenting ngak jadi-jadi. Mohon masukan. Terumakasih untuk sharing storynya.
Julie Nava
Agustus 28, 2012
Makasih mbak udah drop cooment :)… Suasana jadi ramai kalau banyak orang Indonesianya, hehehehe… soalnya kultur kita merayakan hampir setiap hal, mulai dari awal Ramadhan sampai seminggu setelah Lebaran. Kalau di tempat yang populasinya umum, tidak banyak keramaian. Waktu diundang makan oleh kenaland ari Afsel, hidangannya sama seperti hidangan sehari-hari, hanya jumlahnya lebih banyak. Tidak seramai seperti di acara open house atau halal-bihalal ala Indonesia 🙂
Kalo mbak Sarah pengen ngobrol-ngobrol tentang nulis buku, monggo email-emailan atau inbox lewat Facebook 🙂 Insyaallah saya selalu ada waktu kalau ngobrolin soal buku, hehehehe….