Seandainya pertanyaan seperti ini dilontarkan pada kita:
Seperti apakah orang yang anda inginkan sebagai pembaca pertama (first reader) naskah anda?
Pilih salah satu jawaban yang paling benar:
a)Yang nggak pake basa-basi, alias langsung tembak sasaran jika mengkritik tulisan kita.
b)Yang menyampaikan kritikannya dengan takaran kepedasan medium, nggak pedas2 amat tapi juga nggak tawar2 amat.
c)Yang menyampaikan komentarnya dengan bahasa yang sangat manis, seringkali hanya bilang: “oh tulisannya bagus banget ya, saya suka membacanya”…. Itu membuat kita senang, tetapi seringkali membuat kita perlu menyambungnya dengan pertanyaan: lalu menurutmu mana bagian yang tidak masuk akal dari naskah ini, titik lemahnya, dan bagaimana prospeknya? Dan dibilang bagus, itu dari sisi mana? Kalau jelek, jeleknya di bagian mana?
Istilah first reader pertama kali saya kenal ketika mengikuti pelatihan menulis novel bersama Tasaro Gk. Waktu itu mas Tasaro bilang, “kirim draft naskahmu ke beberapa first reader, kalau bisa cari lima orang first reader.” First reader bisa terdiri dari saudara, sahabat, kenalan, professional, dll. First reader itu akan mengkritisi draft tulisan pertama kita, memberi masukan, dan bisa memberi gambaran kepada kita bagaimana kira-kira prospek naskah tersebut jika dikirim ke penerbit.
Pertama kali mendengar keharusan mencari first reader ini, saya sempat panik. Waduh, mengirim draft tulisan ke orang lain? Menunggu kritikan dari orang lain? Itu berattt…!! Bagaimana kalau draft itu dibantai habis? Dikritik dengan keras sampai dedhel dhuwel? Saya nggak berani…!! Tolooongg…!!
Tapi itulah kewajiban yang harus saya lakukan jika ingin menjadi penulis yang sesungguhnya. Saya tidak bisa hanya diam, menyimpan tulisan itu dengan rapi di file, atau menimang-nimang dan mengaguminya sendiri. Setiap penulis suatu saat pasti harus berani keluar sarang, menunjukkan karyanya pada dunia, dan bersiap menghadapi konsekuensi dari tulisannya. Mengirimkan naskah ke first readers serta menerima kritikan dari mereka, adalah langkah pertama sebelum melangkah ke tahap ujian berikutnya: deal dengan penerbit (diterima atau ditolak), deal dengan pembaca (dicaci atau dicinta), deal dengan nurani (tentang uang semata atau tentang misi yang lebih tinggi), deal dengan kreatifitas (berpuas diri atau melecut diri untuk berkarya lebih baik), dan seterusnya.
Akhirnya, saya memberanikan diri mengirim draft naskah hasil pelatihan itu ke beberapa orang yang saya kenal baik. Dan ternyata, dikritik itu tidak selalu terasa mengerikan. Semua kritikan yang masuk, menambah perbendaharaan untuk melakukan perbaikan naskah. Ternyata banyak sekali (bukan banyak, tetapi buanyaaaakkkk….) bolong-bolong pada naskah pertama itu. Padahal saya sudah merasa draft itu “sempurna”, tidak habis-habisnya saya baca sendiri dengan penuh kekaguman (ih, segitunya…hehehe…), dan sudah siap saya kirim ke penerbit. Betul itu, selain saya kirim ke first readers, naskah pertama itu langsung saya kirim ke penerbit. Dan nasibnya sudah bisa diduga, naskah itu ngendon setahun di penerbit dan kembali dengan status “rejected”. Untungnya, karena saya tahu bahwa naskah itu memang membutuhkan banyak sekali perbaikan, status “rejected” itu tidak membuat saya patah semangat karena sekarang saya tahu betul memang kualitasnya belum layak untuk diterbitkan. Ini manfaat utama dari first readers: kritik dan masukan dari mereka sangat berharga dalam proses pematangan tulisan kita.
Untuk naskah kedua, saya mendapatkan seorang first reader dengan kriteria pilihan:
a) Nggak pake basa-basi, langsung merujuk di setiap bagian yang menurutnya nggak oke dan nggak nyambung, dan teliti di hampir setiap lini: mulai dari ide, karakter tokoh, plot, dan seterusnya.
First reader istimewa ini juga membaca draft naskah pertama saya, dan luar biasa, masukannya yang langsung dan terus-terang membuat saya bisa memperbaiki dan mengembangkan naskah pertama itu jauh lebih baik daripada sebelumnya (meskipun sampai sekarang proses revisinya belum kelar juga). Dan karena dia suka sekali dengan tema di naskah pertama, saya jadi pede mengirimi dia draft naskah kedua yang saya tulis lebih baik (menurut standar saya). Saya begitu percaya diri bahwa dia akan suka dengan naskah kedua, jadi saya tenang-tenang saja menunggu masukan darinya.
Ternyata dugaan saya meleset total. Dia gusar bukan main dengan draft naskah kedua itu, dan segera mengajak saya untuk chat via Skype dengan kalimat pembuka yang kadar kejutnya setara dengan, “What are you doing??!!”
Dia bilang, saking pentingnya untuk memberitahu saya tentang segala sesuatu yang membuatnya geregetan, dia memilih untuk chatting ketimbang menuliskan dengan detail apa saja poin-poin lemah yang ada dalam naskah kedua tersebut. Saya hanya bisa tertawa kecut, mengangguk-angguk, berkeringat dingin, dan terus mencatat semua kalimat yang meluncur dari bibirnya. Dan setelah usai kira-kira sejam lamanya, saya membaca kembali draft naskah kedua itu dengan lemas sembari bergumam, “Gosh… saya harus membabat habis separoh dari naskah ini dan menulis ulang!”
Bayangkan, menulis ulang separoh dari naskah yang panjangnya lebih dari dua ratus halaman! Itu berarti saya harus berkutat kembali dengan karakter, dengan pilihan “takdir” para tokohnya, dan menimbang-nimbang ending mana yang paling sesuai. Itu bukan pekerjaan mudah. Belum lagi saya harus deal dengan diri saya sendiri: deal dengan gengsi, dengan ketidaknyamanan menerima kritik, dan dengan sakit perut yang sama dengan yang saya rasakan setiap kali menghadapi masa ujian.
Tetapi semua perjuangan itu terbayar lunas ketika saya melihat anggukan kepalanya. Dalam banyak hal dia berbeda pendapat dengan saya, tetapi dia cukup jujur dan lugas ketika mengatakan bahwa, “Naskahmu yang kedua udah oke untuk pangsa pasar yang kamu bidik sekarang ini, sedangkan naskah pertamamu harus kamu fokuskan ke pangsa pasar yang berbeda. Naskah pertamamu cocok untuk konsumen seperti aku, jadi harus dikirim ke penerbit yang membidik pangsa pasar jenis ini. Kalo naskah keduamu, harus kamu kirim ke penerbit dengan misi seperti ini…”
Sangat jarang kita menemukan seorang partner atau first reader yang mau memberi kritik dan masukan sampai sedemikian rupa. Dia adalah partner menulis saya yang paling berharga, karena dengannya saya bisa mendengar komentar yang jujur, tidak ditutup-tutupi atau dibalut rasa manis yang membingungkan, dan dia fokus mengingatkan saya untuk menjadi diri sendiri: Menulis dengan jujur tanpa berusaha menjadi orang lain.
Dan sekarang alhamdulillah saya merasakan buah manisnya. Naskah kedua itu bernasib lebih baik daripada naskah pertama, dan saya harap untuk selanjutnya saya bisa menemukan lebih banyak first readers kritis yang akan membantu saya berkarya lebih baik. Inilah manfaat yang paling berharga dari seorang first readers terutama yang bisa lugas dan kritis seperti dia. Tentu saja, sangat manusiawi ketika kita merasa tidak nyaman menerima kritikan, tetapi layaknya sebuah masakan, tulisan kita baru akan terasa lezat dan mudah dicerna setelah mengalami proses pemasakan yang bisa jadi berlangsung lama dan menantang.
eni setiati
Mei 16, 2011
seorang penulis mmg hrs mau dikritisi saat naskahnya dibabat habis orang lain .. first reader .. sangat sulit mendptkan yg objectif di luar diri kita.. semangat mba
Julie Nava
Mei 16, 2011
Thanks mbak Eni 🙂 Iya, saya beruntung banget tuh dapet first reader yang ini 😀
santi d
Juni 6, 2011
Are you talking about me? *GR abis*
Gw lagi kesambet bikin sequel. Ntar gw kirim ke elo ya kalau udah kelar :D.
Julie Nava
Juni 6, 2011
Who else? Lo baru baca hari ini? Kemane aje lo? Hehehehe…..
santi d
Juni 6, 2011
Gw jarang banget blogwalking, Yul. Kagak ada energi (gaya bener ..). Tapi sekalinya follow up, akan ngedig.. nih kayak sekarng gw lagi gali2 postingan elo.
Julie Nava
Juni 6, 2011
sama, gw juga jarang blogwalking kecuali waktu-waktu tertentu 🙂