Romantika Mudik 4: Stress, Riba, Klenik

Posted on Februari 9, 2012

0


Namun ironisnya, di kampung yang terlihat damai itu, penyakit jantung, darah tinggi, dan kolesterol tinggi justru kerap menghinggapi penduduknya. Bisa jadi ini karena makanannya yang cenderung berlebih garam, sebagaimana umumnya makanan di wilayah tepi pantai. Mungkin pula karena gaya hidup yang sudah bergeser; lebih memuja makanan buatan pabrik dan lebih suka jajan daripada makan di rumah. Atau bisa pula ini karena stress.

Stress. Ya.

Di kampung yang bersahaja itu, masalah sosial sebenarnya menumpuk. Kemiskinan adalah salah satunya. Masih banyak orang yang berpenghasilan kurang dari 100 ribu per bulan. Mereka tentu tidak sanggup membayar dokter jika sakit, dan sebagai gantinya, mereka datang ke mantri kesehatan untuk mendapatkan suntik dan obat generik. Entah suntik apa sebenarnya yang mereka dapatkan, tapi sepertinya manjur.

Banyak anak tidak sanggup sekolah. Kalaupun iya, maka orientasinya tidak terlalu tinggi. Untuk anak laki-laki, bekerja lebih penting daripada pendidikan. Untuk anak perempuan, cepat menikah lebih penting daripada ke sekolah. Semuanya berawal dan berakhir di urusan survival.

Pencurian lumrah terjadi, terutama menjelang bulan puasa dan Lebaran. Dua momen yang seharusnya menjadi pembersih diri, bisa berubah menjadi pemantik ego atau harga diri yang salah tempat. Dan jika ego yang tersentuh, terutama jika melihat tetangga kanan-kiri menyelenggarakan selamatan dan membeli baju baru, maka orang akan sanggup melakukan apapun demi mendapatkan hal yang sama.

Riba menjadi keseharian yang biasa. Bahkan untuk urusan buwuh, yakni membawa bahan makanan untuk tetangga yang kebetulan punya hajat. Buwuh yang semula adalah wujud kebersamaan, bisa menjadi sarana riba. Misalnya: jika saya berkunjung ke tempat si A yang sedang punya hajatan mantu dengan membawa satu kilo beras, maka kelak jika giliran saya yang mantu, maka A harus membawa barang buwuh untuk saya sebesar dua kilo beras. Kebiasaan ini dianggap sebagai cara “menabung”, yang celakanya, bisa membebani mereka yang terkena jatah dobel.

Klenik, mistik, sihir.

Itu topik yang nyaris tidak pernah absen dalam setiap perbincangan. Masih banyak orang yang memiliki kebiasaan ngalap berkah ke makam-makam kuno atau makam wali, dan percaya bahwa ada kekuatan gaib yang bisa mereka dapatkan di situ. Masjid tertentu pun dapat menjadi tempat ngalap berkah (bukan sekedar tempat ibadah), jika diyakini bahwa letaknya di lokasi yang mengandung kekuatan mistik.

Terkadang berhembus cerita tentang rahasia malam. Di saat penduduk terlelap, ada yang mengendap-endap memasuki pekarangan orang lain; menabur beras kuning atau bebungaan tertentu, dan berharap si empunya pekarangan terkena sial atau teluh.

Ada juga kisah tentang kyai yang termasyhur. Bukan karena kepiawaiannya, namun karena banyak pertanda yang bisa ditimba darinya. Orang-orang suka mengundang kyai tertentu bukan karena ilmunya, namun karena sang kyai terkenal memiliki “kelebihan” dalam soal tebak nomor judi buntut. Acara pernikahan akan ramai didatangi orang jika mereka mengundang sang kyai; dan orang-orang dengan cermat berusaha menangkap setiap “isyarat” dari kyai itu yang kemudian diterjemahkan sebagai kode nomor tertentu. Penafsiran selanjutnya bergulir seperti ini: jika nomor yang mereka pasang menang, maka itu karena linuwih-nya sang kyai. Jika kalah,ya itu lantaran sedang sial saja.

Nah, jika setiap hari penduduk kampung itu dihadapkan pada hal-hal seperti di atas, tidak mengherankan kalau mereka jadi stress dan terkena darah tinggi.