Satu lagi yang saya lupa tentang Indonesia adalah makanan dan berat badan. Saat mendarat di Surabaya, mata dan pikiran secara otomatis membandingkan tinggi dan berat badan orang Indonesia dan Amerika. Terasa sekali bedanya. Mata yang sudah terbiasa melihat obesitas di mana-mana, jadi takjub melihat betapa masih proporsionalnya orang kita. Bahkan yang kelebihan berat badan pun masih terbilang “normal” untuk ukuran sini.
Porsi makan yang kecil dan normal baru saya ingat lagi saat makan di kedai Ayam Goreng Lombok. Ini pertamakalinya sejak enam tahun lalu, saya kembali makan ayam kampung. Enaknya tak terkira. Bahkan suami pun mengakuinya. Dia bilang, “Ayamnya kurus, tapi gurih sekali. Very tasty.”
Menu standar di kedai itu adalah setangkup nasi putih, sepotong ayam goreng, seiris mentimun, beberapa tangkai kemangi, sambal pedas, tahu dan tempe goreng. Porsinya tergolong kecil, tapi entah mengapa perut terasa cepat kenyang. Rasa cepat kenyang dan puas itu juga saya rasakan selama tinggal di kampung. Padahal menunya sederhana saja. Semuanya terasa lebih fresh, orisinil, dan tidak ada rasa “kosong” seperti yang kerap saya rasakan saat menyantap buah atau sayur di sini.
Kata suami, mungkin penyebabnya adalah karena sayuran dan daging di kampung masih tergolong alami, tanpa hormon penggemuk maupun pestisida. Mentimun ditanam di sela-sela tanaman lain. Bayam tumbuh liar dan bisa dipetik kapan saja. Sapi masih makan rumput normal. Ayam masih diberi pakan bekatul serta jagung dan dibiarkan berkeliaran bebas di pekarangan. Bahkan ayam potong yang tergolong manja dan digemukkan dengan cara khusus pun, masih terasa lebih gurih dibanding ayam potong ala Amerika yang gemuk pucat serta hambar.
Pekarangan samping dan belakang rumah menjadi penyedia sayur dan buah gratis. Ada rumpun tanaman katuk, pohon pisang yang rajin berbuah, pohon mangga, pepaya, melinjo, kelapa, keluwih, jeruk purut, dan semak kesimbukan yang kerap dipakai sebagai campuran sayur bothok. Di lahan kosong, bapak menanam cabe, terung, kunyit putih, dan jahe. Kunyit putihnya sering berkurang karena diambil orang lain.
Itu kebiasaan di sini. Orang-orang di kampung cukup saling datang ke rumah orang lain, minta ijin untuk memetik sayuran atau rempah yang dibutuhkan. Kadang-kadang tanpa ijin juga, dan mereka hanya tertawa lebar kalau melihat si pemilik kebun kebingungan melihat tanamannya mendadak plontos tanpa tahu apa penyebabnya.
Pendeknya, semua ditanam dan dipelihara tanpa dipaksa berlebihan. Kalaupun ada yang demikian, biasanya adalah tanaman bernilai ekonomis tinggi seperti tembakau atau tebu. Namun dibandingkan pertanian modern yang menggunakan pupuk berlebihan serta monopoli benih, semua yang ditanam dan diolah di kampung ini masih tergolong manusiawi.
Mungkin itu sebabnya, makan jadi terasa lebih kenyang. Atau bisa pula perasaan itu muncul karena suasana hati yang berbeda.
Makan di kampung, bukan hanya makan untuk diri sendiri. Ada keluarga, teman, tetangga, dan anak-anak. Makan bukan pelarian dari depresi atau kesepian. Makan, ya makan saja, tidak perlu pusing dengan segala macam berita tentang gizi dan zat yang seringkali lebih memusingkan daripada mencerahkan.
ikatrina
Februari 8, 2012
ayam gureenggggg!!!
(upin ipin style)
Julie Nava
Februari 9, 2012
Hihihi 😀 Kamu lagi ngapain hari ini, Ka?
Froggy
Februari 9, 2012
Ayam goreeeeengggg….. nyam nyam….
Julie Nava
Februari 10, 2012
Makasih udah mampir, Froggy 🙂