Shawnee Cakes: Menguak Sejarah di Balik Sepotong Roti

Posted on November 17, 2011

3


Hari ini saya mencoba membuat Shawnee Cakes. Nama itu mungkin tidak sepopuler nama lainnya, yakni Johnny Cakes atau Hoe Cakes, salah satu masakan khas di wilayah Southern-AS.  Roti pipih dari jagung berbentuk serupa pancakes ini saya kenal pertamakali melalui novel karya James Alexander Thom, “Panther in The Sky“; yang kemudian difilmkan dengan judul Tecumseh: The Last Warrior.

Ada beberapa versi dari roti ini yang umum dibuat orang. Ada yang menggunakan air, susu, telur, dan bahan pengembang seperti soda kue. Bahan pemasaknya bisa menggunakan minyak, mentega, atau lemak hewan. Alat untuk memasak biasanya adalah wajan datar yang disebut skillet atau griddle. Namun bahan tambahan seperti susu, telur, dan bahan pengembang itu adalah percampuran dengan tradisi pendatang kulit putih/Eropa. Versi aslinya hanya dibuat dari tepung jagung, air panas, dan (mungkin) sedikit garam; kemudian dipanggang di atas papan kayu yang diletakkan di depan perapian. Lemak yang digunakan untuk membantu mematangkan roti adalah lemak hewan; mungkin dari bison, rusa, atau beruang.

Dalam perkembangannya, jika papan tidak tersedia, orang memanggangnya dengan hoe (cangkul) yang diolesi lemak. Dari situlah istilah Hoe Cakes berawal. Sedangkan sebutan Johnny Cakes sendiri, menurut catatan James Alexander Thom dalam novelnya, berasal dari nama Shawnee yang disalahlafalkan oleh pendatang kulit putih. Ini sebagian kutipan dari novelnya, ketika Tecumseh (pemimpin suku Shawnee yang termasyhur) dijamu oleh keluarga Galloway (hal. 358):

The meal had been of venison and squash and a kind of cornmeal bread very familiar to Tecumseh. To turn the talk away from Harrison, Tecumseh began telling Mrs. Galloway how good the food had been and asked her what the white people called the kind of bread.

“Why, sir,” she replied, “we just call it johnnycake.”

“Aha,” he said, raising a brown forefinger, “you say wrong!”

She touched her throat. “Sir?”

“Not say it right. Shawnee cake! My people teach your people to make this, but you forget our name! Ha, ha!”

Everyone laughed at this welcome levity. “Shawnee, Johnny! They sound the same!” The yellow-haired girl Rebekah piped up.

(picture copied from: http://www.myspace.com/500817415)

*****

Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Shawnee Cakes?

Makanan adalah salah satu jalan untuk memahami sejarah sebuah peradaban atau komunitas. Melalui Shawnee Cakes, saya mencoba untuk memahami dan merekonstruksi bagaimana cara Native Americans hidup. Untuk itu, saya memasaknya sebisa mungkin serupa dengan cara mereka: memakai tepung jagung polos tanpa bahan pengembang, susu, atau telur; dan memanggangnya dengan sedikit lemak. Tentu tidak semuanya bisa serupa, karena jenis jagung yang tersedia sekarang ini sudah jauh berkembang dari versi semasa Tecumseh hidup. Lemak yang digunakan tidak mungkin lagi berasal dari bison maupun beruang, melainkan berupa mentega tawar. Alat untuk memanggang bukan lagi papan datar dan perapian dengan kayu bakar; melainkan wajan datar dan kompor listrik. Tetapi setidaknya itu cukup untuk sebuah rekonstruksi sederhana. Gambar di sebelah ini adalah hasil akhirnya. Roti jagung bernama Shawnee cakes.Rasanya cukup enak, meskipun ada sedikit rasa pahit di lidah bagian belakang ketika menelannya. Mungkin rasa pahit itu berasal dari tepung jagungnya atau dari wajan yang saya gunakan.

Lalu apa yang bisa kita gali lebih lanjut dari sepotong roti jagung ini?

Makanan, sekali lagi, menyimpan catatan panjang tentang sejarah kehidupan manusia. Selagi memasak roti ini, di benak saya berloncatan beberapa catatan tentang bagaimana penduduk asli benua Amerika ini membudidayakan jagung, yang awalnya berasal dari rumput liar bernama Teosinte. Melalui seleksi benih serta perbaikan cara tanam, Native Americans berhasil membudidayakan jagung; yang semula bulirnya berjumlah beberapa butir, kemudian berkembang lebih banyak, dan setelah melalui masa ribuan tahun akhirnya jagung menjadi tanaman pangan yang produktif dengan masa tanam lebih pendek.

Jagung ditanam bersamaan dengan kacang-kacangan (beans) dan labu (squash). Tiga tumbuhan ini adalah sumber makanan utama bagi Native Americans, dan termasuk tumbuhan pertama yang didomestikasi oleh Native Americans. Ketiganya bahkan hidup dalam khasanah legenda dan dongeng mereka, berupa “Tiga Bersaudari (Three Sisters)” yang tidak bisa dipisahkan dan dirayakan keberadaannya melalui ritual tertentu.

Lalu lemak. Suku Shawnee saat itu, seperti halnya kebanyakan suku asli Amerika, menggantungkan hidup dari berburu dan bercocok-tanam. Di masa Tecumseh hidup, mereka belum memelihara hewan untuk diperah susunya atau untuk diambil dagingnya. Untuk memenuhi kebutuhan protein, mereka berburu hewan liar; dan menggunakan setiap bagian dari hewan itu untuk keperluan mereka, termasuk lemaknya. Namun perlu kita telusuri juga bagaimana cara mereka menyimpan lemak; apakah gumpalan lemak itu digantung dan diangin-anginkan hingga kering kemudian dipotong sesuai keperluan? Ataukah gumpalan lemak dipanaskan hingga mencair dan disimpan dalam bentuk minyak di sebuah wadah? Jika iya, seperti apakah wadah yang digunakan?

Garam. Saya sedikit berhati-hati untuk mencantumkan penggunaan garam dalam roti ini, karena belum yakin apakah semasa Tecumseh garam sudah dikenal. Jika iya, dari mana mereka mendapatkannya? Apakah dari alam, melalui barter dengan suku lainnya, atau dari pertukaran dengan pendatang kulit putih? Itu adalah rentetan sejarah tersendiri yang perlu ditelusuri; karena dari proses tersebut kita bisa melihat bagaimana interaksi mereka dengan sesama suku asli maupun pendatang kulit putih, konflik maupun peperangan, tahun dan tanggal penting, serta siapa saja tokoh utama yang terlibat.

Detil tentang peralatan dan bahan lain yang digunakan. Bagaimana peralatan dapur dibuat? Dimana perapian diletakkan? Tanaman apa saja yang digunakan sebagai rempah penyedap untuk makanan pendamping roti jagung ini? Bagaimana cara mereka berburu? Bagaimana rasa makanan mereka; rebusan daging bison dan rebusan biji kacang merah, misalnya? Serta bagaimana mereka berbagi makanan dengan sesama kaumnya? Native Americans, sebagaimana suku-suku asli lainnya, menjalani pola hidup secara komunal dimana tanggung jawab dipikul bersama, hasil buruan dibagi bersama, dan tidak ada istilah orang mati kelaparan selama mereka masih ada dalam lindungan kelompok dan tidak ada masalah berat seperti krisis pangan.

Ini sebagian dari detil-detil sejarah yang bisa kita gali dari makanan asli bernama Shawnee Cakes. Jadi jika kita sedang menulis naskah novel sejarah ataupun naskah non-fiksi tentang kehidupan mereka, misalnya, jangan lupa untuk mencatat setiap detil seperti ini. Riset yang detil akan memperkaya nuansa, dan semakin banyak detil yang kita ketahui, semakin hidup jiwa dalam tulisan kita.