Dari Sebuah Jendela

Posted on Februari 18, 2011

2


Lihatlah dari jendela yang bersih dan yang kacanya terang – begitu kalimat yang sering saya coretkan dalam puisi-puisi spontan semasa remaja. Jendela adalah sesuatu, atau sebuah ide, yang tumbuh begitu kuat dalam ingatan saya. Banyak hal yang terjadi dalam hidup berkaitan dengan jendela; ada yang lucu, ada juga yang ironis dan memaksa saya untuk merenung.

Sewaktu masih berumur empat-lima tahun, orangtua saya mengontrak sebuah rumah petak di sebuah pemukiman padat di tengah sebuah kota di Jawa Timur. Rumah itu berdinding bambu, berlantai tanah, dua kamar, dan sebuah kamar mandi sederhana dengan kerikil sebagai dasarnya. Rumah itu memiliki sebuah jendela lebar dengan daunnya yang terbuat dari kayu bercat hijau tua.  Di jendela itulah saya biasa duduk sambil mengamati kesibukan orang-orang di sekitar.

Dari jendela itu saya melihat orang-orang yang berjalan ke pasar, ke kantor, ke sekolah. Saya melihat tetangga depan rumah yang selalu terlihat sibuk membetulkan sesuatu di teras rumahnya, penjual kue keliling yang sesekali berhenti dan membujuk saya untuk membeli beberapa potong kue darinya, kucing liar, orang gila yang berjalan modar-mandir dengan bajunya yang compang-camping, pencuri yang berlari kencang sembari mengepit ayam curian di ketiaknya, dan gemuruh orang-orang yang berusaha menangkapnya.

Hari-hari saya juga dimulai dengan rutinitas dari sebuah jendela. Setiap pagi sebelum berangkat sekolah, saya diberi tugas untuk membeli sarapan berupa seporsi rawon bening. Rawon itu berkuah bening kekuningan karena keluwaknya tidak dihaluskan, dan aromanya sungguh membangkitkan rasa lapar. Sepotong kerupuk udang lebar, beberapa iris daging dan lemak sapi, separoh telur rebus, dan seporsi nasi sebagai pelengkap. Si penjual rawon meladeni pembelinya dari jendela dapurnya, dan orang-orang menunggu di bawah jendela dengan tenang. Satu demi satu mereka mendapat seporsi rawon dalam wadah daun pisang berbentuk kerucut, dan mereka mengulurkan sejumlah uang kepada si ibu penjual. Jika tiba giliran saya, kadang ibu itu memberi tambahan seiris lemak sapi, dan dengan sukacita saya membawanya pulang.

Saat liburan di kampung nenekpun, jendela masih tetap menjadi tempat favorit saya untuk duduk sambil memandangi gerimis, juntaian kembang pohon mangga, jejak ludah berwarna merah dari nenek yang masih mengikuti tradisi mengunyah sirih, genting rumah yang kehitaman, dan masjid tua depan rumah yang ubinnya begitu mengkilap hingga nyaris bisa dipakai bercermin; tanda bahwa masjid itu sudah dikunjungi banyak pendoa yang dengan takzim ikut mengelap dan mengepelnya.

Ketika dewasa, jendela bukan lagi semata tentang sebuah pelengkap bangunan rumah. Jendela sudah berubah menjadi layar elektronik, tempat saya bisa memandang ke banyak tempat; bahkan ke tempat-tempat yang belum pernah saya kunjungi. Dari jendela bernama internet itu saya menemukan banyak kejutan, salah satunya tentang seorang gadis kecil di balik sebuah jendela. Gadis kecil bertubuh ringkih, berwajah pucat, dan tak bisa bicara karena tak seorangpun yang mengajarinya. Tidak juga orangtuanya. Gadis kecil yang menatap dunia dari sebuah jendela yang retak dan buram.

Itulah Danielle, gadis kecil usia tujuh tahun di balik jendela sebuah rumah di Florida. 46 pounds, kotor, dengan tubuh penuh bekas gigitan serangga. Dan dia hidup, menatap tak berkedip dengan kedua mata hitamnya yang kosong. Itulah pertamakali saya tak tahan melihat dari jendela yang bersih dan terang. Karena semuanya menjadi terlalu jelas. Melihat sorot matanya dari layar komputer, membuat airmata saya nyaris tumpah dan hati terasa pecah.

*picture was taken from: http://subtletyinexcess.blogspot.com/2009/08/dark-place.html

Ditandai:
Posted in: Memoir Writing