Jalan Panjang untuk Percaya

Posted on Februari 4, 2011

0


Hari Minggu kemarin adalah hari yang istimewa, karena suami salah seorang teman saya (sebut saja namanya Nina) mengucapkan syahadat dan menyatakan diri masuk Islam. Makanya, saya berusaha banget supaya bisa hadir di masjid untuk menyaksikan momen tersebut, sekaligus turut mengucapkan selamat pada Nina.

Mengapa momen tersebut istimewa? Bukan hanya karena James (nama samaran – suami Nina) akhirnya masuk Islam, tapi karena momen itu punya dua arti penting. Yang pertama, momen itu saya anggap sebagai momen tuntasnya satu tahap perjalanan rohani bagi James untuk masuk ke tahap perjalanan rohani berikutnya. Yang kedua, momen itu saya pandang sebagai buah manis bagi kawan-kawan muslim di sini yang begitu intens berupaya mengenalkan Islam yang berwajah ramah ditengah-tengah kentalnya image negatif tentang agama ini di masyarakat Barat. Sementara buat saya pribadi, momen itu membuat saya belajar dari para muallaf itu bahwa memeluk Islam barulah titik awal untuk menjadi muslim yang kaffah.

Proses untuk bisa percaya dengan Islam tentu tidak mudah. Karena disini banyak muslim yang menikah dengan muallaf atau non-muslim, saya jadi akrab dengan isu-isu semisal bagaimana perjuangan teman-teman saya untuk meyakinkan pasangannya tentang Islam, pro-kontra yang tajam mengenai pernikahan lintas agama, proses dialog yang panjang dan terkadang melelahkan dengan pasangan sendiri, menghadapi berita-berita negatif tentang Islam, serta menghadapi kenyataan bagaimana agama dipandang sebagai sesuatu yang tidak penting.

James, sama halnya dengan mayoritas masyarakat Barat, memandang agama secara skeptis, tidak saja terhadap agama Islam tetapi juga terhadap agamanya sendiri dan agama yang lain. Maka tidak heran kalau dia menyatakan percaya dengan konsep adanya Tuhan tetapi ogah memeluk agama tertentu. Dan sebagaimana yang umum terjadi (termasuk suami saya juga melakukannya sebelum dia menjadi muallaf dulu), mereka juga “menguji habis-habisan” agama ini dengan cara mengumpulkan banyak informasi, berdiskusi, melihat langsung perilaku komunitas muslim, berdebat, dan bertanya banyak hal, bahkan sampai bisa membuat telinga jadi merah padam.

Proses “menguji” inilah yang memakan banyak energi dan menuntut ketabahan luar biasa dari pasangan muslim mereka. Demikian pula halnya dengan Nina. Dua setengah tahun dia lalui dengan terus-menerus berusaha memberi pemahaman tentang Islam kepada suaminya, menerapkan konsep Islam dalam keseharian secara konsisten semampu dia, berdialog, mengajak suaminya ikut pengajian, hingga berdebat hebat. Sampai-sampai Nina menggambarkannya pada saya dengan berkata,”Yul, gue nih sampai gak bisa lagi ngeluarin air mata. Sudah kering mata gue Yul, lantaran kebanyakan nangis.”

Untungnya, James bukan termasuk orang yang mudah termakan berita negatif tentang Islam, bahkan tentang terorisme yang selalu dikait-kaitkan dengan Islam. Buat James, terorisme tidak ada kaitannya sama sekali dengan apa yang diajarkan dalam Islam, dan dia melihat hal itu lebih sebagai kepentingan politik dan kesalah-kaprahan yang radikal. Untungnya, Nina juga termasuk perempuan yang tidak mudah patah arang sekalipun dia mengaku merasa terganggu dengan cap-cap negatif tentang dirinya yang menikah dengan non-muslim. “Lha gue dikasih jodoh ama Tuhan dengan dia dan gue juga dipermudah prosesnya dengan dia. Masa mau gue sesali. Yang penting gue tetap berupaya mengenalkan bagaimana Islam sebaik-baiknya ke suami gue,” demikian kata Nina, tetap dengan senyumnya. Untungnya lagi, banyak teman muslim yang mendukungnya dengan cara positif, dan James bisa berkumpul dengan komunitas muslim untuk berdiskusi, bertanya, hingga belajar sholat.

Akhirnya, setelah dua setengah tahun, James menyatakan niatnya untuk masuk Islam. Saya terharu saat Nina bercerita apa yang dikatakan James saat itu padanya, “I want you to help me to be a moslem.(aku ingin engkau membantuku untuk jadi seorang muslim)” Dan kali ini Nina kembali menangis, menyaksikan James mengucapkan syahadat dengan dibimbing imam, disaksikan oleh kami teman-temannya. Melihatnya dalam keadaan khusyuk dan terharu, membuat saya menyadari betapa saya diberi proses yang jauh lebih mudah. Saya menikahi seorang muallaf yang memeluk Islam atas pilihannya sendiri, dan begitupun proses dialog dan debat masih terus berlanjut. Namun saya beruntung tidak melewati proses berat seperti yang dijalani Nina. Benar apa yang dikatakan Nina pada saya, “Ini baru permulaan, Yul. Jalan yang harus kami tempuh masih panjang.”

Jam lima sore, kami meninggalkan pelataran masjid. Sepanjang perjalanan tanpa terasa saya tersenyum, sampai ditegur oleh suami, “Hey, why you smile?(kenapa senyum-senyum?)” Saya memandangnya sambil berkata, “I just feel lucky that I marry you when you’re already converted into Islam.(Aku beruntung bahwa aku menikah denganmu saat kamu sudah masuk Islam)”. Suami saya mengangkat kedua alisnya dengan jenaka, “Honey, remember, I never converted into Islam. You said that in Islam every people actually was born as moslem, right? So it means that I was already born as moslem. I just spent some years outside to play, and now I come back home”(Sayang, ingat, aku tidak pernah masuk Islam. Kamu pernah bilang kalau di Islam setiap orang sebenarnya terlahir sebagai muslim, bukan? Jadi artinya aku juga lahir sebagai muslim. Aku cuma menghabiskan beberapa tahun bermain di luar, dan sekarang aku balik kembali ke rumah– maksudnya kembali ke Islam). Ohya, saya lupa. Dan saya tertawa.

Satu hal yang tetap teringat dari ucapan Nina, bahwa ini barulah permulaan, bukan tahap akhir. Saya merasa, semakin banyak hal yang perlu saya pelajari dan benahi. Terutama kalau sedang berhadapan dengan orang-orang yang banyak bertanya tentang penerapan hal-hal yang “katanya Islami” tetapi sebenarnya berbenturan dengan nilai Islam yang hakiki. Dan ini menuntut jawaban gamblang dan jelas, bukan jawaban semacam “pokoknya harus demikian”.

(Pernah dimuat di majalah Sabili, ditulis tanggal 7 Juni 2006)