Antara Orangtua dan Anak

Posted on Juli 1, 2023

0


Photo by Vero Manrique on Unsplash

Belakangan ini konten channel Youtube dari ustadz Dhanu lebih banyak membahas tentang kaitan kesalahan dengan problem yang dihadapi seseorang. Misalnya kesalahan (dosa) yang menyebabkan orang terkena sakit diabetes, arthritis, sakit kepala, katarak, kanker, obesitas, anak susah diatur, sampai ke problem semisal KDRT dan LGBT.

Yang ini lebih ke arah tentang kesalahan pengelolaan batin. Saya lebih suka ini ketimbang konten-konten sebelumnya yang banyak mengeksploitasi soal genderuwo dan jin-jinan.

Kalau diperhatikan, hampir semua persoalan itu sebenarnya berakar dari hubungan interpersonal yang tidak harmonis. Misalnya antara suami dengan istri, atau antara anak dengan orangtua.

Di sini menariknya. Saat sampai pada bahasan persoalan antara anak dan orangtua, ustadz Dhanu tidak serta-merta menyalahkan anak. Dia justru menganjurkan agar orangtua yang bertobat dulu, mengubah sikap, dan minta maaf pada anak. Sebab, banyak masalah yang dihadapi anak itu sebenarnya berawal dari kesalahan orangtua sendiri yang tidak disadari.

Jujur saja, selama ini saya lelah membaca nasehat-nasehat agamis di mana anak seolah-olah menjadi pihak yang selalu salah jika berhadapan dengan ortunya. Dikit-dikit ada ancaman, dikit-dikit ada label tentang anak durhaka. Padahal tidak selalu demikian. Nggak fair jika anak yang selalu dianggap salah atau jika anak yang harus selalu minta maaf.

Come on, kita blak-blakan aja. Nyatanya memang tidak setiap orang bisa menjadi orangtua yang baik, bahkan sebagian tidak layak mendapat kehormatan disebut sebagai orangtua. Ortu itu tidak selalu benar. Seandainya iya, pasti nggak bakalan ada istilah inner child wounds, bukan? Nyatanya, nyaris pada setiap persoalan yang menyangkut tentang keseimbangan psikis, selalu saja ada unsur masa kecil dan komunikasi dengan orangtua yang kacau.

Makanya, ketika menonton beberapa episode terbaru dari ustadz Dhanu ini, saya lega. Ternyata yang saya yakini itu benar, bahwa sebagai orangtua, kita seharusnya juga mau rendah hati dan introspeksi diri. Kalau memang kita yang salah, ya kita yang minta maaf pada anak. Itu akan mengajarkan pada anak bahwa tidak ada satu pun orang yang imun terhadap kesalahan. Mau itu orangtua kek, anak kek, bos atau anak buah, pejabat atau rakyat, semua sama. Everyone is bound to make mistakes. Thus, everyone should learn to be humble enough to ask for forgiveness.

Dulunya saya juga hitam putih memandang relasi antara anak dan orangtua. Pokoknya anak harus begini dan begitu… harus nurut, harus mendahulukan ortu, dan sejenisnya. Namun perspektif saya itu banyak berubah setelah sempat mengobrol dengan Stephanie Hermawan, entrepreneur dan impact angel investor Indonesia. Dari dia saya mendapat konsep tentang bagaimana idealnya hubungan antara orangtua dan anak. Dia bilang bahwa yang ideal itu adalah orangtua mencurahkan cinta sepenuhnya, tanpa syarat, kepada anak-anaknya. Tanpa tendensi untuk menagih balas jasa di kemudian hari, atau untuk memanfaatkan privilege sebagai orangtua dengan ancaman kutukan atau sumpah serapah jika anak tidak menuruti keinginannya.

“Anak itu tugasnya ya menerima cinta sepenuhnya dari orangtua mereka. Bukan untuk membalas budi atau apa. Sebab mau balas budi sebanyak apapun, seorang anak tidak akan mampu melakukannya. Yang kita berikan pada mereka itu adalah kehidupan. Bagaimana anak diharuskan membalas budi sebesar itu? Tentu tidak akan mungkin. Satu-satunya yang mungkin adalah anak menerima cinta dari kita sepenuhnya, dan kita mencintai anak juga dengan sepenuh hati. No ulterior motive,” kata dia.

Saya setuju banget dengan pendapatnya, dan itu juga yang saya katakan pada anak. Saya bilang pada anak saya bahwa ia tidak perlu pusing memikirkan saya. Masa tua adalah tanggung jawab saya, dan untuk itulah saya mempersiapkan sebaik mungkin supaya kelak tidak membebani anak atau siapapun.

Saya meniru cara orang sini. Beberapa tetangga termasuk generasi Baby Boomers. Mereka menikmati kejayaan ekonomi Amerika di masanya, dan kebetulan mereka termasuk orang-orang yang cermat menjalani kehidupan. Sejak muda, mereka sudah mengalokasikan dana untuk pensiun, bahkan sampai ke soal mempersiapkan tanah makam segala. Mobil dan rumah ada, dan ketika sampai saatnya untuk pindah ke panti jompo atau menjalani perawatan tambahan, mereka tinggal menjual asetnya dan digunakan untuk membiayai kehidupan masa tua.

Panti jompo bukan tempat yang dianggap aib. Saat saya bekerja paruh waktu sebagai asisten perawat di beberapa rumah jompo (senior homes), saya justru melihat penghuninya riang gembira. Malah mereka sendiri yang minta pada anak-anaknya agar ditempatkan di panti jompo. Sebab, di situ mereka banyak teman dan banyak fasilitas.

Panti jompo beragam level kenyamanannya. Kebetulan di tempat saya bekerja dan yang ada di dekat rumah, panti jomponya termasuk mewah. Bangunannya seperti hotel bintang lima. Rapi, berkarpet bagus, dan bersih sekali. Ada perawat, dokter, sekuriti, salon, spa, restoran, fasilitas olahraga, toko suvenir, perpustakaan dan ruang musik, serta kegiatan spiritual dan jalan-jalan belanja setiap akhir pekan. Pendek kata, suasananya nyaman sekali. Jangankan mereka yang sudah tua, saya juga mau kalau tinggal di sana dan menikmati segala kenyamanan tersebut.

Saya mengagumi mindset yang meletakkan tanggung jawab pribadi ke diri sendiri seperti ini. Jujur saya jengah jika ada orang yang bilang bahwa anak-anaknya yang harus menanggung masa tua dia. Atau jika ada yang menganggap bahwa tinggal di panti jompo itu aib. Mengapa harus membebani anak seperti itu? Kita sendiri banyak yang sudah merasakan bagaimana beratnya menjadi generasi sandwich yang harus menghidupi tiga generasi. Masa yang seperti ini harus dipertahankan? Kenapa kita tidak membebaskan generasi berikutnya dari beban yang semestinya tidak perlu mereka tanggung, dan kita sendiri yang menjalankan tanggung jawab pribadi untuk menghadapi masa tua?

Itulah salah satu alasan saya untuk tetap produktif bekerja dan berusaha mewujudkan impian saya. Sebab, ini bukan cuma soal uang. Ini adalah soal mindset. Kita sendiri yang bertanggung jawab atas mimpi dan segala keinginan kita. Kalau punya cita-cita ingin jadi perawat, misalnya. Ya jalani itu. Usaha sendiri sampai berhasil. Atau kalau sudah berusaha maksimal dan belum terwujud, ya sudah. Mungkin itu bukan jalur kita. Ganti aja dengan hal lain dan move on.

Jangan sampai karena cita-cita kita tidak kesampaian, lalu anak yang harus mewujudkannya. Sering kan, yang kayak gitu? Lantaran gagal mencapai cita-cita, lalu anak yang jadi sasaran. Anak yang kita atur agar bisa mewujudkan mimpi kita. Bersekolah di jurusan yang dulu kita inginkan. Bekerja di bidang yang dulu kita impikan. Semua tentang kita, kita, dan kita. Sampai anak jadi tidak tahu bagaimana rasanya menjadi diri sendiri dan menjalani kehidupan sesuai dengan pilihan sendiri.

My point is, I think it is time for us to be fair and considerate to others, including to our children. And, we need to start it NOW. Tidak terus-menerus menggunakan taktik emotional blackmailing untuk mendapatkan apa yang kita mau.

Saya belajar banyak dari pengalaman orangtua, yang alhamdulillah tidak banyak menuntut. Meskipun beliau berdua lebih banyak hidup kekurangan, tapi seingat saya, tidak pernah muncul kalimat menuntut ini itu dari anaknya. Kalau butuh banget, ya bilang. Kalau ada, diterima. Kalau tidak, beliau berdua memilih diam. Itu yang saya kagumi dari mereka.

Saya juga banyak belajar dari pengalaman orang lain. Bahwa sangat mungkin kok, kita memiliki hubungan interpersonal yang sehat dengan anak, tanpa harus memanfaatkan privilege kita sebagai orangtua untuk tujuan yang tidak semestinya.