Mengapa Kita Perlu Memperhitungkan Waktu, Skill, dan Hasil dalam Setiap Pekerjaan (1)

Posted on Mei 12, 2023

0


Salah satu problem yang sering saya lihat dialami oleh penulis (atau siapapun) yang memutuskan bekerja secara mandiri (self-employed) adalah godaan untuk mengambil semua kesempatan yang disodorkan di depan mata. Mau itu hasilnya besar, kecil, yang penting semua pekerjaan diterima dulu.

Alasannya macam-macam. Ada yang bilang, “Rejeki sekecil apapun harus disyukuri dan diterima.” Ada juga yang bilang, “Soalnya saya butuh uang.” Ada juga yang bilang, “Ini amal. Saya mengerjakan ini dengan tujuan untuk berbagi kebaikan, bukan untuk uang semata.”

Apakah alasan-alasan tersebut di atas keliru?

Sebenarnya sih, enggak juga. Kita berhak untuk punya alasan apapun sebagai landasan kita dalam memutuskan sesuatu. Cuma, masalahnya adalah bahwa keputusan itu tidak selalu berdampak positif terhadap tingkat income dan kepuasan kerja. Bahkan, seringkali itu hanya menguras tenaga tanpa hasil seimbang.

Saya menulis ini sebagai sharing saja. Disclaimer dulu ya, ini opini pribadi yang datangnya dari pengalaman pribadi juga. Jadi siapapun boleh setuju, boleh juga tidak setuju.

Setiap kali kita mengerjakan sesuatu dengan tujuan mendapatkan income, ada sejumlah variabel yang musti dipertimbangkan. Yakni:

  1. Berapa jumlah minimal income yang kita perlukan untuk kebutuhan keluarga? Misalnya sebulan kita butuh 5 juta minimal untuk belanja harian, biaya anak, biaya pendidikan, biaya rekreasi, biaya perawatan ortu, tabungan, dan asuransi. Ini dulu yang kita pikirkan. Sebab, nanti yang akan kena efek dari setiap pilihan kita adalah keluarga dulu. Tak iye? Jadi, frame berpikirnya dari ini dulu. Kita mikirnya yang logis dan realistis juga, bukan cuma mendahulukan mimpi dan angan-angan.
  2. Pikirkan apakah kita bisa memenuhi jumlah minimal itu dari kerja kantoran atau wirausaha, alias self-employed? Saya sih sudah merasakan dua sisi dunia itu, kerja kantoran dan entrepreneurship. So, I don’t care which one you choose. Sak karepmu. Masing-masing pilihan ada plus-minusnya. Saya nggak akan membela entrepreneurship habis-habisan karena saya sudah ngerti dan tahu rasanya jatuh bangun di sektor itu. Saya juga nggak akan membela kerja kantoran, karena saya juga sudah kenyang dengan asam -manis berkarir di dunia kantoran sejak tahun 1998. Sudah hapal banget dengan seluk-beluk dan segala intriknya. Yang penting adalah, kita bisa memenuhi kebutuhan keluarga dulu dari hasil kerja ngantor ataupun wirausaha itu, atau enggak.
  3. Tiba gilirannya soal kebutuhan dan eksistensi. Setelah beberapa tahun bekerja, mulailah kita merasa tidak puas. Yang kerja kantoran merasa, wah kayaknya lebih enak kerja sendiri. Jadi bos sendiri. Tidak diperintah-perintah oleh orang lain. Bebas mau kerja pake seragam atau singlet doang. Bebas kerja pake sepatu ataupun nyeker. Nggak ada yang ngatur. Wis, saya mau jadi entrepreneur saja. — Kemudian yang kerja entrepreneur mulai resah. Wah, udah sekian lama dagang, nggak ada hasil. Makin lama makin mencekik saja. Pembeli nawar keterlaluan. Klien nawar keterlaluan. Saingan makin banyak yang gila-gilaan perang harga. Aku nggak sanggup. Wis, mending cari kerja kantoran dulu sementara waktu. — Nah, disaat seperti ini, kita mulai melirik alternatif lain, dan itu sangat boleh karena alasannya valid. Kalau di tempat lama atau di bisnis lama tidak lagi bisa memenuhi kebutuhan kita, baik kebutuhan minimum ataupun sekunder dan tersier, kita boleh mendapatkan tambahannya dengan cara lain. Yang kerja kantoran, bisa mulai menerima side-jobs atau pekerjaan sampingan. Yang entrepreneur, boleh juga mulai melirik pekerjaan tetap dulu sebagai sandaran, sembari memperbaiki bisnisnya.
  4. Menentukan berapa value kita dihargai, termasuk soal skill dan waktu yang kita curahkan. Kita pindah pekerjaan, tentunya karena ingin mendapatkan hasil dan kepuasan kerja yang lebih besar, bukan? Juga karena kita ingin segala jerih payah kita itu ada harga dan hasil yang minimal seimbang. Kalau enggak, ya ngapain pindah haluan? Ngapain juga ribet pindah kerja segala kalau hasilnya ternyata lebih minim? Nggak masuk akal kan, kalau ada orang menukar gaji 25 juta sebulan dengan pekerjaan yang nilainya 25 juta juga tapi uangnya baru bisa diterima 3-4 bulan kemudian dan itupun harus kerja siang-malam banting tulang? Itu namanya downgrade, bukan upgrade. Saya mah, nggak peduli soal mau jadi bos sendiri atau apa, kalau hasilnya tidak sepadan dengan kerjanya, maka saya akan cari yang lain.
  5. Menentukan batas waktu. Saat kita mulai pekerjaan baru, bisa jadi kita memutuskan menerima yang nilainya lebih kecil dari tempat semula. Itu oke, sebagai batu loncatan. Tetapi, kita harus punya goal. Berapa lama nilai kecil itu bisa kita toleransi? Kapan kita bisa naik ke level berikutnya? Dan seterusnya.

Nah, di point nomor 4 dan 5 inilah yang seringkali jadi trouble. Terutama untuk yang self-employed, karena memang batasan penghargaan terhadap value, waktu dan skill itu lebih cair ketimbang kerja kantoran yang alokasinya lebih pasti. Kalau kita self-employed, maka semua hal ditentukan oleh kita sendiri. Termasuk soal jualan skill dan jasa, cari klien, menentukan berapa banyak kita ingin digaji, apakah kita perlu staf atau sendiri saja, mengawasi kompetitor dan mengawasi sekecil apapun setiap pemasukan dan pengeluaran.

Self-employed itu stressnya memang lebih tinggi. Makanya, buat yang sering tergoda dengan omongan motivator semisal: “Resign dong, resign… langsung jalan jadi entrepreneur… jadilah bos bagi dirimu sendiri… milikilah bisnismu sendiri… beranjaklah ke kwadran keempat… bla bla bla…” – Haishh… itu bullshit, kawan. Kenyataan yang sebenarnya tidak seindah cocote para motivator itu. Kenyataan bisa jauh lebih pahit dan prosesnya lebih panjang. Kita musti siap mental menerima itu dan menjalaninya. Lu siap, ya jalani. Lu nggak siap, ya rem dulu hasratnya.

Makanya, ada anjuran bagi yang ingin banting setir dari kantoran ke wirausaha, akan lebih baik jika mempersiapkan jaring pengaman terlebih dahulu. Saya belajar dari beberapa entrepreneur di sini. Mereka awalnya mempersiapkan sebagian gaji untuk ditabung atau diinvestasikan, hingga minimal jumlahnya setara dengan biaya hidup selama 6 bulan atau satu tahun penuh. Jadi, mereka nggak grusa-grusu main resign begitu aja. Mereka mempersiapkan dulu jaringnya. Sehingga, ketika mereka mulai membangun bisnis dan belum mendapatkan hasil, mereka tidak panik.

Kemudian, mereka juga menjaga lifestyle. Gaya hidup tidak berubah. Mau dapat untung besar sekalipun, mereka tetap hidup dengan biaya sama seperti sebelumnya. Dengan cara itulah, mereka bisa mengembangkan bisnis lebih besar dan mendapatkan hasil yang lebih besar pula.

Yang terakhir, mereka belajar untuk menentukan bagaimana memberi penghargaan terhadap value dari jasa yang mereka berikan. Bagaimana caranya agar tidak terjebak perang harga, dan sebagainya. Nah, ini lumayan complicated juga, tapi harus dilakukan. Saya akan menjelaskannya di postingan berikutnya. Sementara ini saja dulu. Semoga bermanfaat.