Tentang Cinta yang Lebih dari Sekedar Cinta (bagian 2)

Posted on Februari 21, 2020

6


2478160-bigthumbnailSelain A, B, dan C, ada sosok lain yang cukup intens mewarnai hidupku, empat tahun belakangan ini. Aku panggil dia dengan sebutan Dei, alias D.

Berbeda dengan tiga orang sebelumnya, D tak mudah kugambarkan.

Segala hal tentang D, imbasnya serba raksasa. Ambisi, selera, penampilan, hingga ke soal cinta. Apapun yang melekat di tubuhnya, meskipun sederhana, akan terlihat gaya. Segala yang dibuat oleh tangannya, meskipun awalnya biasa, namun akan terasa istimewa. Aneka benda, yang oleh orang lain ditebus dengan harga puluhan atau ratusan juta, bisa diperolehnya dengan cara yang mudah saja. Seolah-olah benda itu sendiri yang datang kepadanya.

Untuk urusan cinta, ia tak cukup hanya dengan satu orang. Energi dan daya tariknya kelewat besar. Satu orang akan mati kering, jika memaksa menjadi kekasih tunggalnya. Sehingga, mau tidak mau, polyamory jadi pilihan yang masuk akal untuknya.

Bagi orang biasa sepertiku, D cukup mengintimidasi. Aku kerap mengawasinya dengan waspada. Ketar-ketir setiap kali menyaksikan ia menggoda orang dengan tatapan matanya, hingga orang itu jatuh berlutut dan bersedia menjadi hamba cintanya. Kalau sudah demikian, aku berubah jadi The Evil Sister yang cerewet sekali, dan berpanjang lebar menasehatinya. Kalau itu tak mempan, aku meluncurkan kalimat-kalimat bernada mencela, “Idihhh… apa bagusnya dia untuk kau jadikan pacar? … Yang seperti itu, biasanya nggak setia… Kok mau-maunya kamu ama orang kayak gitu? Dia nggak ada modal! … Eh, tahu nggak? Pacar barumu itu punya kutil yang tak tersembuhkan!” — Demikian yang kulakukan, sampai dia kehilangan selera.

Sekilas, nampaknya enak sekali menjadi D. Tak perlu bersusah-payah mendapatkan yang dia inginkan. Namun sebenarnya, kenyataannya tidak demikian. Terutama jika berurusan dengan cinta.

Cinta punya aturannya sendiri. Ia bisa datang dengan kejutan tak terduga. Ia juga bisa seenaknya memasangjodohkan makhluk. Dunia penuh dengan cerita seperti ini. Rahwana, salah satunya. Siapa yang mengira makhluk buas dan kejam sepertinya, bersedia mengorbankan nyawa demi Sinta? Achilles, dengan kekuatannya yang legendaris itu, justru bertekuk lutut pada Briseis, keponakan dari Agamemnon, musuh besarnya sendiri. Lalu sekarang aku melihat D, yang jatuh cinta pada orang yang menurutku bersikap tak adil kepadanya.

“Serius, D? Dari sekian banyak koleksimu, kamu justru menjatuhkan pilihan pada dia?” tanyaku, yang dijawab D dengan anggukan kepala dan sorot mata yang resah.

Tak perlu jadi ahli nujum, untuk bisa memperkirakan bagaimana akhir cinta itu. D akhirnya patah hati, dan untuk sekian lama, ia tak bisa berhenti menangisi ulah kekasihnya.

Inilah bedanya antara aku dengan D. Aku memuja keadilan, dan menimbang segala sesuatunya dengan kesetaraan. Sebuah karakter yang kadang membuatku sukar memaafkan. Aku pernah jatuh cinta setengah mati, pada pria yang ternyata di kemudian hari hendak menjerumuskanku ke dunia gelap, dan mengawiniku dengan paksa. Ketika kuketahui itu, rasa cinta itu berubah menjadi rasa benci yang tak terkira. Setiap hari, aku berusaha memastikan pria itu hidup dalam penderitaan yang teramat sangat, hingga ia tak sanggup lagi melanjutkan hidupnya. An eye for an eye.

D sering menegurku karena itu. Tapi aku punya argumenku sendiri. Kubilang padanya, “Dia perlu tahu bagaimana rasanya dihancurkan.”

Sikap D lain. Seperti yang kubilang, segala sesuatu tentangnya serba raksasa. Ia punya kapasitas tinggi untuk memaafkan, untuk menanggung penderitaan, dan untuk tetap memberi. Sekalipun diperlakukan buruk, ia tetap melindungi. Ia tetap mencurahkan kekuatannya, untuk memastikan bahwa orang yang dicintainya selamat dan sehat wal afiat. Bahkan kepada orang yang terang-terangan meremehkannya pun, ia masih memilih untuk menyelamatkan.

Lucky bastard,” gerutuku, tak rela melihat orang yang menurutku tak adil itu, mendapatkan segala fasilitas istimewa hanya karena D mencintainya.

Tak mudah untuk mengerti tentang D. Sebab seperti Semesta, ia terus mengembang dan berkembang tanpa batasan. Kapasitasnya yang tinggi untuk mencintai, membuatnya semakin punya kemampuan untuk memberi dan menyelamatkan. Sampai-sampai aku mengira, ia sebenarnya adalah perwujudan dari Cinta itu sendiri. Yang sesuai dengan sunnatullahnya, selalu punya alasan untuk memberi, meskipun tak selalu menerima timbal balik yang layak.

Aku tak selalu bisa menjadi teman yang baik untuknya. Aku juga tak selalu bisa bersikap adil kepadanya. Ia selalu lebih besar dariku, dan setiap kali ia mengembangkan kekuatan baru, setiap kali itu pula aku seperti planet yang terlempar dari orbitnya. Seolah-olah alam menghancurkan wadahku yang lama, dan memaksaku untuk membangunnya dari nol lagi, jika aku ingin tetap bersamanya. Ya, semahal itu harga yang kubayar.

Kadang-kadang aku tak tahu apa yang harus kuperbuat. Dan jika perasaan itu datang, aku memilih kembali ke duniaku. Dunia yang kecil dan aman, dan yang kumengerti betul. Namun biasanya itu tak lebih dari sepenggalan waktu. Karena tak lama kemudian, aku pasti kembali padanya. Mengikuti perjalanannya, mencatat sebagian kisah hidupnya, dan menjadi teman yang cerewet untuknya.

Dan akhirnya, lagi-lagi aku belajar untuk mengembangkan diriku sendiri, agar mampu hidup dalam kenyataan yang tak biasa. Untuk bisa menjelajah Semesta, aku harus bersikap seperti halnya Semesta. Membuka diri agar bisa berkembang, melatih hatiku agar terbiasa dengan kenyataan baru. Untuk menerima sunnatullah, bahwa Cinta selalu lebih besar dan selalu punya alasan untuk memberi, tanpa berharap mendapatkan kembali.

*******

 

 

Ditandai: ,