Sentuhan dengan dimensi lain, bukan monopoli orang Indigo saja. Orang biasa pun bisa mengalaminya. Mereka mendapatkan pengalaman itu, berdasarkan memori dalam darah mereka, yang diturunkan dari nenek moyangnya.
Pengalaman hidup tertentu, bisa terpatri lama dalam sel otak maupun sel lain di badan, yang kemudian nanti akan diwariskan. Contoh paling klasik adalah memori kita tentang Ular, yang banyak disebut dalam khasanah Bibel. Ia diwariskan dari pengalaman buruk nenek moyang kita, yakni Nabi Adam, semasa di Surga, saat ia berurusan dengan Iblis yang memilih melepas kewaskitaannya demi kesombongan. Ular yang menanggalkan kulitnya, adalah simbol dari Iblis yang menanggalkan kewaskitaannya tersebut dan memperdaya Adam dan Hawa untuk memakan buah khuldi.
Bedanya antara orang Indigo dengan orang biasa yang mendapatkan pengalaman spiritual seperti ini adalah: orang Indigo biasanya sudah memiliki kemampuan tertentu untuk bersentuhan dengan dimensi lain sejak mereka lahir, tanpa ada rekayasa atau belajar ilmu apapun. Sedangkan orang biasa, mendapatkan kemampuan itu karena imbas dari unsur lain yang menempel di dirinya. Umumnya itu berbentuk jin warisan/Saka, yang turun-temurun mendampingi manusia tertentu yang mengamalkan sejumlah ilmu atau mantra kuno yang sifatnya warisan. Atau bisa juga berasal dari ilmu atau mantra yang dipelajari dan diamalkan.
Bagi orang biasa yang diwarisi jin Saka, persinggungan dengan dimensi lain bisa berkurang atau hilang, kalau keterikatan dengan jinnya diputus. Umumnya itu dilakukan melalui proses rukyah. Namun demikian, bukan berarti yang bersangkutan lupa dengan pengalaman itu. Sebab tubuh manusia, memiliki sistem rekaman yang canggih. Terutama di otak.
Sistem rekaman itu menyimpan detil pengalaman yang dilaluinya, yang makin kuat jika terus diceritakan, dan bahkan bisa diwariskan ke generasi berikutnya. Persis seperti cara kerja sel darah putih dalam sistem kekebalan tubuh kita. Sekali berhasil mengalahkan kuman atau bakteri tertentu, maka mereka akan menyimpan memori tersebut selamanya. Sehingga, ketika datang kuman atau bakteri yang sama, para sel darah putih itu langsung bisa mengatasinya, karena mereka sudah punya data.
Pengalaman bersinggungan dengan dimensi lain itu bisa mempengaruhi tubuh dan pikiran seseorang secara signifikan. Orang akan mengalami heightened senses, alias sensitifitas yang meningkat. Termasuk energi, yang bisa melonjak atau surut seenaknya. Mirip cuaca di Michigan di musim dingin, di mana kadang suhu naik, lalu turun tiba-tiba menjadi dingin tak terkira.
Kalau sudah begini, rasanya seperti jadi wild beast, binatang liar yang sukar ditundukkan, dan sangat potensial menciptakan kerusuhan. Ini sebabnya, saya menyebut pengalaman spiritual seperti ini, seperti pedang bermata dua yang tajamnya bukan main, dan bisa mencelakakan jika kita tidak tahu bagaimana mengendalikannya. Apalagi jika hati dan mental belum siap.
Kesiapan mental dan hati jadi penting, karena efek dari sensitifitas yang meningkat itu bisa membingungkan. Bayangkan jika kita bisa melihat atau merasakan apa yang dipikirkan orang lain, bisa mengetahui rahasia orang lain yang dipendam rapat, bisa melihat apa yang tidak bisa dilihat oleh orang umum. Itu sudah pasti membingungkan, atau justru disalahgunakan.
Namun yang paling krusial menurut saya, adalah menemukan keselarasan pengalaman spiritual tersebut dengan Misi Hidup yang dijalani seseorang. Bisa melihat hantu, setan, jin, dewa-dewa, penunggu hutan, dan aneka genderuwo atau makhluk gaib, hanyalah asesoris, menurut saya. Bukan esensi. Jika hanya sebatas itu yang dimengerti atau dikejar, maka hidup tak ubahnya seperti mengejar sensasi murahan. Seperti orang yang menikmati konten gosip atau sinetron tak bermutu. Atau seperti orang yang menikmati junkfood tiap hari. Sama sekali tak ada gizinya, dan hanya merangsang bagian otak reptil, atau justru malah menumpulkannya.
Saya mengalami kegamangan tersebut. Tidak mudah untuk menggandengkan Misi Hidup dengan pengalaman spiritual tersebut. Awalnya, memang menyenangkan bertemu dengan hal-hal baru di dimensi lain. Bisa kenalan dengan Kuntilanak, arwah penasaran, hantu penunggu hutan, humanoids, aliens, monster penunggu Kutub Utara, dan lain-lain.
Namun lama-kelamaan, itu berkurang daya tariknya. Oke, udah kenalan ama Kuntilanak — Hai jeng Kunti, apa kabar? — Oh, kabar saya baik. Gimana kabarmu? — Saya baik-baik saja…. And then what? Apa yang harus dilakukan selanjutnya? Apakah akan bikin sinetron tentang mereka? Bikin film semacam Beranak dalam Kubur? Lalu apa manfaatnya sinetron seperti itu buat orang banyak? Apa manfaatnya untuk profesi yang kita jalani? Untuk misi dan visi hidup kita sebelumnya?
Mengetahui sesuatu, tapi tanpa tahu apa yang harus dilakukan dengan itu, benar-benar membingungkan. Terutama buat orang seperti saya, yang terbiasa menerapkan pengalaman atau pengetahuan yang diperoleh, untuk keperluan praktis yang bermanfaat. Jika yang saya peroleh tujuannya hanya untuk sensasi, itu tak memuaskan. Saya butuh lebih dari sekedar itu. Lebih dari sekedar bercerita tentang yang seram-seram, atau bikin postingan viral tentangnya.
Sampai sekarang, saya masih belum sepenuhnya menemukan keselarasan pengalaman dengan misi hidup. Tapi saya jalani saja, dan cara terbaik menjalaninya adalah dengan terus melakukan misi hidup sebelumnya sembari menikmati aneka pengalaman baru itu. Sampai suatu saat, saya bisa memadukan hidup dan pengalaman spiritual ini dalam bentuk yang lebih solid, lebih jelas, dan bisa digunakan untuk menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi keluarga dan orang banyak.
*******
Posted on Februari 24, 2020
0