Ada teman yang bertanya, “Siapa sebenarnya gurumu? Yang sering kau sebut-sebut dalam tulisanmu itu?”
“Guruku adalah Sang Pilihan,” jawabku.
Ia bermula dari sebuah takdir yang terjadi nun jauh di masa lalu. Bagian dari perang abadi antara Tuhan dan Iblis. Ketika Loba diciptakan Tuhan untuk dikendalikan oleh manusia, namun sang manusia membiarkannya berkelindan menguasai pikiran dan hatinya. Hingga kemudian, ia sendiri yang memilih menukar esensi zatnya yang terbuat dari tanah yang penuh berkah, dengan ilusi keindahan dari api.
Perang abadi itu terlihat tak adil. Sebab Iblis adalah sang Loba itu sendiri. Ia selalu menginginkan lebih. Bahkan untuk hal yang sebenarnya tak diperuntukkan baginya, ia menginginkan itu. Persis seperti rentenir online, yang meminjamkan segelintir uang, dan kemudian menghisap habis darah dan sumsum peminjamnya.
Ketika sang manusia itu melihat akibat dari kesalahannya, ia tak berdaya. Satu demi satu orang yang dikasihinya, diambil semena-mena. Ia tak bisa melawan, karena perjanjian telah diikrarkan. Ia tak bisa membantu, karena jiwanya abadi dalam penjara yang diciptakan oleh Iblis. Jalan pun buntu baginya.
Sang Loba merasa menang. Namun seperti yang sudah-sudah, ia selalu lupa, bahwa ia bukan pemilik takdir. Juga bukan penguasa sebuah niskala yang bernama Pasand, alias Pilihan.
Seperti halnya Loba, Pilihan adalah ciptaan Tuhan untuk manusia dan djiin. Ia entitas yang netral. Ia menawarkan jalan bagi setiap jiwa yang berduka-cita, untuk kembali bahagia. Ia pun memberi sang Iblis kesempatan untuk melakukan haknya, yakni merayu manusia dan djiin agar mau menjadi pengikutnya.
Setiap kali masanya tiba, Sang Pilihan datang kepada keturunan sang manusia itu. Ia terlebih dulu akan bertanya, “Percayakah kamu pada Tuhanmu?” — dan barulah dua pintu ditawarkan. Satu pintu untuk bahagia dalam Bhakti. Satu pintu untuk bahagia dalam Loba.
Pilihan itu yang menyelamatkanku dari jerat Sang Loba, dan membantuku lepas dari jerat perjanjian berabad lampau itu. Aku bisa bebas, dan menempuh jalanku sendiri. Tidak lagi menjadi bagian dari tragedi.
Namun itu tentu saja tak mudah. Aku membayarnya dengan mahal, yakni dengan diriku sendiri. Aku berusaha mengalahkan rayuan Sang Loba. Aku berusaha mengatasi rasa takut yang luar biasa, ketika ia menampakkan wujud aslinya. Aku berusaha keras mengenali setiap detil dari jiwaku sendiri, dan mengenali Penciptaku yang sesungguhnya. Sebab inilah yang harus kulakukan, jika ingin terbebas dari fatamorgana yang ditiupkan oleh Loba.
Saat ini, aku berada di tempat yang menjadi pilihanku sendiri. Kadang-kadang dalam mimpi, aku terbang mengunjungi orang-orang yang kucintai. Ketika mereka masih muda, dan ketika mereka belum tahu tentang tragedi itu. Mereka semua bahagia.
Aku juga bertemu dengan orangtuaku. Saat mereka masih muda, masih merenda cinta dalam sebuah rumah yang sederhana. Aku berdiri di depan mereka. Bapak memandangku, dan tersenyum. Mungkin ia mengira bahwa aku adalah hantu baik penunggu rumah itu.
Kadang-kadang aku ingin mencari, siapa gerangan sosok yang dulu membuat perjanjian itu. Aku ingin tahu, seperti apa situasi yang dihadapinya, hingga ia terjatuh ke dalam jebakan Loba. Menurut Sang Pilihan, namanya tertera di lembar lontar, namun ia tak menunjukkan siapa tepatnya.
Akhirnya, aku biarkan saja keinginan itu menguap. Bukankah sudah lebih dari cukup baginya, berabad-abad hanya bisa menyaksikan keturunannya dirampas? Jadi kurasa, biarlah ia kini bisa tenang sejenak, karena melihatku bebas.
Sang Pilihan masih tetap bersamaku hingga kini. Mengawasiku dari sebuah jarak tertentu, dan menunjukkan dua pintu, setiap kali aku hendak melakukan sesuatu. Ia yang kemudian kuanggap sebagai guruku yang pertama, yang tetap kudengar pendapatnya, dan kutunggu kehadirannya.
Safrina Dewi
Februari 17, 2020
Hmm… nice story… keep your independence Ay…
Artha Julie Nava
Februari 18, 2020
Thank you ❤