Wills Memorial Park, Maryland, 22 Mei 2015. Musim semi mungkin masih menampakkan sisa-sisanya di taman itu, dengan guguran kelopak bunga yang melayang lembut terdampar, dan terserak di bumi. Jika di taman itu ada pohon maple, mungkin biji-bijinya yang bersayap tipis sedang luruh, terbang berputar seperti kincir, sekilas mirip laron yang beterbangan.
Beberapa orang melihat seorang perempuan muda, usia 20-an, menghabiskan waktu mengayun anaknya di ayunan, di sebuah tempat bermain di taman itu. Sebuah pemandangan yang biasa. Kecuali, bahwa si ibu muda itu mengayunnya lama sekali. Berjam-jam. Bahkan ada yang mengaku melihatnya sudah mengayun anak sejak kemarin. Itu sebabnya mereka memanggil polisi. Dan ketika polisi datang, barulah mereka tahu bahwa anak itu sudah meninggal.
Lepas dari apa penyebab kematian sang anak, inilah salah satu bentuk respon orang saat mereka kehilangan orang yang dicintainya. Semisal anak, orangtua, pasangan, kekasih, sahabat, saudara. Kehilangan bisa menimbulkan trauma mendalam yang jarang disadari, bahkan oleh yang mengalaminya. Tidak jarang trauma itu membuat orang bisa bertindak di luar nalar, berubah dari kebiasaan sebelumnya, demi mengisi kekosongan yang ada dalam dirinya.
Film Wild yang dibintangi Reese Witherspoon, adalah salah satu film yang menggambarkan perjalanan seseorang melewati tahapan-tahapan pemulihan diri dari duka cita. Ada sekitar lima (atau kadang disebut tujuh) Tahapan, yang biasanya dialami seseorang saat mereka merasa kehilangan; baik dalam bentuk kematian, perceraian, atau putus hubungan. Tahapan-tahapan tersebut adalah:
1. Pengingkaran (Denial) : pada tahap ini, kita mengingkari kenyataan, bahwa suatu hubungan telah berakhir, atau orang yang dekat dengan kita sudah pergi. Kita tidak ingin mengiyakan kenyataan, karena memang terasa menyakitkan. Kita seolah-olah masih melihat, atau berusaha menggapai secercah harapan, seberapapun redupnya, untuk menghindar dari rasa sakit itu. Pada kasus perceraian/putus hubungan, biasanya ini nampak pada bentuk usaha untuk membuat mantan pasangan mau kembali, dan berimajinasi tentang cinta atau perasaan istimewa yang pernah ada. Pada kasus ibu yang mengayun anaknya di atas, ia berada pada tahap Denial ini; mengingkari kenyataan bahwa anaknya sudah meninggal dan berbuat seolah-olah sang anak masih hidup.
2. Kemarahan (Anger) : Ketika harapan itu tidak terwujud, muncullah kemarahan dalam diri kita. Pada tahap ini, kita melemparkan kemarahan tersebut pada yang kita anggap sebagai penyebab rasa sakit. Misalnya pada mantan, kita seakan-akan ingin berteriak, “Mengapa kamu tega kepadaku? Mengapa kamu sampai hati membuatku begini?” … Atau pada orang yang wafat, kita mungkin melontarkan kemarahan dengan menyalahkan apa yang diperbuat orang itu semasa hidup. Mengingat-ingat kesalahan mereka, menyalahkan orang-orang yang dekat dengan mereka, melampiaskan rasa sakit hati dengan berbuat bodoh dengan melakukan tindakan berbahaya; semisal menyandera mantan pasangan. Pada tahap ini, kita tidak rela orang-orang yang kita anggap sebagai sumber penyebab rasa sakit itu pergi dengan tenang.
3. Tawar-Menawar (Bargaining) : Ketika masuk dalam tahap ini, kita berada pada tahap tawar-menawar, agar kondisi bisa pulih seperti semula. Tawar-menawar ini bisa terjadi dengan orang lain, atau dengan diri sendiri. Misalnya dengan melakukan rekonsiliasi, mengancam, menghiba, berupaya pergi konseling untuk terapi, berjanji akan menjadi orang yang lebih baik, dan kadang menoleh kepada sumber-sumber supranatural untuk membantu, semisal peramal atau dukun. Jadi kalau ada orang putus hubungan, lalu pergi ke dukun untuk mendapatkan harapannya kembali, besar kemungkinan ia sedang berada pada tahap Bargaining ini.
4. Depresi (Depression) : ini bentuk dari rasa tidak berdaya yang kita alami. Bentuknya bisa macam-macam; misalnya jadi tidak doyan makan, bolos kerja, mengurung diri, menarik diri dari pergaulan, pergi menyendiri untuk merenung. Bisa juga diiringi bentuk destruktif lain semisal menenggak alkohol, mengkonsumsi obat terlarang, dan lain-lain.
5. Penerimaan (Acceptance) : Pada akhirnya, ketika sudah berdamai dengan rasa kehilangan itu, kita belajar menerima kenyataan, apapun itu bentuknya. Mungkin di tahapan ini kita masih merasakan kesedihan, namun kita bisa bangkit dan berjalan kembali. Kalau dalam alur novel, ini bisa dimasukkan dalam momen Titik Balik, di mana sang tokoh utama belajar dari pengalaman yang dilaluinya untuk dapat melanjutkan kehidupan. Sesekali mungkin masih tersisa kemarahan, kesedihan, rasa tak berdaya, namun kadarnya sudah jauh berkurang; dan sudah diinternalisasi sebagai bagian dari perjalanan hidup.
Setiap orang berbeda masa tahapannya. Ada yang pendek, ada yang hingga bertahun-tahun tak juga mampu bangkit dari tahapan rasa marah atau depresi. Namun dengan memahami adanya tahapan duka cita seperti ini, kita bisa memahami orang lain atau membantu diri sendiri. Untuk yang sedang menulis naskah fiksi atau non fiksi mengenai patah hati dan duka cita, ini bisa membantu memahami kondisi orang lain yang sedang ditimpa rasa kehilangan, dan memperkaya naskah.
*****
Posted on Mei 24, 2015
0