Beberapa hari ini di kompleks perumahanku sedang ada pengecatan. Setiap masuk musim semi, selalu ada proyek maintenance (perawatan) condominium. Entah itu berupa pengecatan dinding, ganti jendela, memperbaiki driveway, melabur jalan dengan lapisan aspal cair agar terlihat baru kembali, dan kadang perbaikan genteng.
Pemuda usia 22 tahun yang kebagian mengecat pintu rumahku adalah John, imigran dari Yugoslavia. John datang ke Amerika pada usia 15 tahun, mengikuti sepupunya yang sudah lebih dulu tinggal di negara ini. Kutanya, sudah berapa rumah yang selesai mereka cat hari ini. Dia bilang, ada tiga, dan ada enam orang yang bekerja di blok tempatku.
“Jadi lebih cepat,” komentarku.
“Ya. Harus cepat selesai, supaya bisa mengerjakan lainnya. Ini Amerika. Kalau nggak kerja, nggak dapat duit,” katanya. Aku tertawa mendengarnya.
“Kamu kerasan di sini?” tanya dia, begitu tahu aku juga berasal dari negeri lain.
“Kerasan, soalnya jauh lebih enak daripada tempat tinggalku dulu,” ujarku. “Gimana dengan kamu? Kerasan juga?”
“Asalkan tidak punya hutang, aku lebih suka di Amerika. Hidup di sini jauh lebih enak.”
Kemudian tanpa diminta, ia bercerita tentang negara asalnya. Di lingkungannya, rata-rata orang mendapat gaji 500 Euro per bulan. Sementara harga-harga melangit tinggi. Sewa mobil sudah 50 Euro, sementara di Amerika ia bisa mendapatkan sewa mobil seharga 30 dollar. Harga burger antara 6-7 Euro, sementara di Amerika ia bisa mendapatkan burger cukup dengan harga 2-3 dollar.
“Semua dihitung dengan Euro. Keluargaku tidak banyak makan daging. Sesekali saja mereka menyembelih domba peliharaan, dan menyimpan dagingnya untuk persediaan. Buah dan sayuran yang lebih banyak kami santap. Keluargaku masih banyak di sana. Tiap dua tahun aku ke Yugoslavia, dan bertemu dengan sepupu-sepupuku,” ujarnya.
Ia diam sejenak, melanjutkan pekerjaannya mengecat, sebelum kemudian bercerita lagi, “Yeah, they are my cousins. Kalau aku datang, yang mereka pedulikan adalah uangku. Mungkin mereka pikir di Amerika, uang tumbuh di pohon, tinggal ambil. Mereka tidak tahu kalau di sini aku bekerja keras.”
Aku tertawa. “Ya, hampir sama. Di tempatku juga demikian. Bayangannya, kalau orang Amrik pasti banyak duit. Padahal tidak juga.”
“Ayah sudah membangun rumah untukku di sana. Katanya, ia berharap aku kembali. Aku bilang ya, ya saja. Tapi yeah… good luck with that. Aku tidak mau tinggal di sana lagi. Kalau sekedar mengunjungi, oke. No problem. Tapi tidak untuk tinggal. Aku lebih merasa betah di sini. Aku datang sewaktu masih remaja, dan punya kesempatan untuk belajar bahasa, berbaur dengan orang sini. Ini bukan tempat yang asing bagiku. Bagi keluargaku, mungkin iya. Tapi bagiku tidak.”
“Betul, kalau datang ke sini sewaktu masih kecil, ada kesempatan lebih panjang untuk beradaptasi. Beda kalau datang di usia yang sudah matang, prosesnya lebih sulit. Mereka juga cenderung ingin kembali ke negara asalnya,” kataku.
John mengangguk membenarkan. “I’m young,” ujarnya sambil nyengir. “I enjoy my life here.”
Ia kembali meneruskan sisa pekerjaannya, lantas menggulung kain alas cat dan mengemasi peralatannya. “Jangan lupa, biarkan pintu terbuka, paling tidak 45 menit. Kalau catnya sudah kering, baru boleh ditutup,” ujarnya, sebelum melambaikan tangan berpamitan.
Kutatap kepergiannya, dan kubayangkan, mungkin pemuda imigran lain seusianya juga punya pikiran sama. Tak hendak kembali lagi ke negara asalnya, karena di sini hati mereka sudah berakar kuat.
Posted on April 24, 2015
0