Detox Media Sosial: Letting Go of The Past

Posted on Desember 2, 2014

2


Psychology-of-Internet-CommentingKadang memang ada hikmahnya anjuran untuk tidak menceritakan mimpi, kecuali pada orang yang dipercaya. Sebab satu mimpi yang sama bisa ditafsirkan berbeda dalam kebudayaan lain, dan kalau yang mendengar mimpi itu punya konteks budaya berbeda, maka tafsirannya bisa membingungkan. Contoh: di Indonesia, mimpi digigit ular sering jadi bahan candaan bakal dapat jodoh. Sementara di tempat lain, itu artinya peringatan bagi kita untuk memperhatikan hal-hal kecil namun sebenarnya penting, yang selama ini kita abaikan. Mimpi tentang burung hantu putih, kalau di Indonesia, artinya pertanda buruk. Sementara kalau di sini, menurut salah satu tradisi suku asli Amerika, itu artinya ruh/spirit penjaga Bumi sedang mampir ke tempat kita. Entah untuk mengingatkan guna mempertajam intuisi dan ilmu pengetahuan, atau untuk memberi tanda bahwa ia sedang menjaga kita dari mara bahaya.

Anyway, salah satu mimpi yang saya alami memberi tanda untuk melepaskan masa lalu (dalam konteks tradisi suku asli Amerika). Masa lalu itu bisa bermacam-macam bentuknya. Pertama, kenangan yang menimbulkan rasa negatif. Kedua, kebiasaan buruk yang masih belum kita lepaskan. Ketiga, hubungan interpersonal yang tidak sehat. Keempat, karena mimpi itu ada kaitannya dengan kedatangan Sang Penjaga Bumi, maka itu ditafsirkan oleh seseorang sebagai permintaan untuk melepaskan perilaku yang selama ini menganggu keseimbangan alam. Entah itu berupa pertikaian, perang, pencemaran, pengurasan sumber daya alam yang berlebihan, perburuan hewan langka, atau dalam skala kecil seperti membuang-buang makanan/air dengan percuma.

“Permintaan” itu saya penuhi, salah satunya dalam bentuk membuang kebiasaan buruk di Media Sosial. Selama tahun 2014, salah satu cobaan terbesar yang banyak dialami orang adalah Media Sosial. Facebook, Twitter, dan lain-lain, menjadi sarana untuk menyebarkan kekerasan, ancaman, mempertajam perbedaan, dan menganiaya orang lain. Tidak terhitung berapa banyak kasus bully dan balik membully yang dilakukan orang secara online. Media Sosial seolah sudah terjun bebas fungsinya. Dari yang semula menyambung networking, menjadi sarana untuk melakukan kebrutalan massal.

Namun seperti halnya setiap hal di semesta ini yang selalu beriringan, kita punya pilihan untuk tidak ikut-ikutan. Kita bisa memilih untuk melakukan yang sebaliknya; yakni menghindari perilaku brutal di media sosial, dan menggantikannya dengan perilaku yang konstruktif. Setelah beberapa kali terpancing dan terbawa ikut melakukan “kekerasan”, akhirnya saya memutuskan untuk melakukan Detox Media Sosial.

Detox pertama yang dilakukan adalah dengan menambah jumlah kontak yang punya “isi”, alias menawarkan sesuatu yang lebih daripada sekedar bikin status. Mereka yang analitis, punya basis keilmuan, memiliki pengalaman kuat dalam bidang tertentu, dan sejenisnya. Itu untuk mengimbangi populasi kontak yang gemar sharing link heboh tanpa mikir panjang. Persis seperti kalau kita membasmi hama atau serangga tertentu dengan cara introduksi predatornya (Biological Control).

Selanjutnya, karena kebetulan media sosial yang saya pakai lebih sering adalah Facebook, maka populasi heboh itu dikurangi frekuensinya dengan cara Unfollow atau Hide, sehingga mereka tidak tampil di Newsfeed. Untuk yang dekat dan diikuti timelinenya, dimasukkan dalam kategori Close Friends. Sedangkan untuk yang benar-benar sudah keterlaluan dan sering jadi sumber pertikaian, tidak ada jalan lain kecuali dipotong, alias delete. Itu termasuk da’i dadakan, tukang sebar kebencian, kelompok fanatik tanpa logika, dan sejenisnya.

Di Twitter juga demikian. Karena banyak sekali yang Follow dan Unfollow dalam hitungan menit, hanya untuk membuat kesan bahwa mereka populer serta banyak followers, maka yang jenis itu langsung saya cut. Sebab, apa artinya sebuah networking kalau hanya untuk memuaskan ego satu pihak saja? Tujuan menjalin networking untuk memantapkan kontak dan menjalin komunikasi, bukan untuk menjadikan kita sebagai Diva atau selebriti medsos. Dalam networking, menurut saya, harus berlandaskan pada prinsip mutual relationship atau win-win. Saling mendapat manfaat, dan sama-sama berada dalam posisi seimbang. Kalaupun tidak bisa terus saling menyapa dalam medsos (sebab memang tidak semua orang punya waktu lebih untuk menyapa satu-persatu kontaknya), paling tidak ada mutual benefits dengan sama-sama Follow.

Langkah ketiga, mulai dengan membenahi konten. Karena status atau kontak yang memancing emosi sudah jauh berkurang, maka pikiran lebih tenang saat memikirkan konten. Percaya atau tidak, dengan delete satu-dua kontak negatif saja, sudah sangat besar efeknya pada ketenangan pikiran. Tidak lagi ada serangan sakit kepala setiap kali buka Newsfeed. Bisa lebih menikmati status-status berisi informasi penting dan kaya nuansa. Pikiran pun lebih dimanjakan dengan informasi sehat ketimbang informasi sampah.

So, itulah salah satu versi Letting Go of The Past yang saya terapkan. Membuang perilaku tidak sehat di Media Sosial, dan menggantikannya dengan yang lebih konstruktif. Move on :). Pilihan untuk move on dari masa lalu atau perilaku sebelumnya yang negatif, sepenuhnya ada di tangan kita. Take back the control, and focus on what we can do best. Biarpun ini termasuk langkah kecil, paling tidak kita sudah membantu untuk menjadikan dunia sebagai tempat yang lebih baik.